Keadaan bandara Adi Sucipto tampak ramai sore itu. Orang-orang berseliweran sambil menyeret koper-koper dan mendorong trolley. Suara pemberitahuan dari speaker yang di pasang pada setiap sudut terdengar silih berganti, bersamaan dengan deru pesawat yang lepas landas maupun mendarat.
Dari arah pintu kedatangan terlihat segerombolan orang yang berjalan keluar, beberapa bahkan ada yang setengah berlari karena tidak sabar menemui orang-orang yang sudah menunggu di balik pembatas. Bandara memang sudah begitu akrab menjadi saksi atas datang dan perginya seseorang.
Begitu keramaian mulai berkurang, dua orang laki-laki muncul sambil masing-masing menggendong ransel mereka.
Rafi merogoh-rogoh kantung di sekitar tasnya, mencari-cari ponsel yang sejak pesawat take-off tak ia sentuh samasekali. Sementara Gilang berjalan di depan sambil melihat ke sekitar jalanan. Mereka sudah memesan taksi online untuk menjemput.
"Halo?"
Rafi menempelkan ponselnya ke telinga setelah menggeser tombol hijau pada layar. Bertepatan ketika tadi ia menyalakan ponsel, satu panggilan tiba-tiba masuk.
"Iya, Fi. Udah nyampe Jogja?"
Suara Adel langsung didengarnya bersamaan dengan samar-samar suara kendaraan. Sepertinya perempuan itu sedang dalam perjalanan.
"Udah, baru aja. Ini lagi nunggu taksi sama Gilang."
Rafi melirik Gilang yang masih berdiri di pinggiran trotoar sambil celingukan.
"Pak! Saya Gilang!" seru laki-laki berjaket denim itu sambil mengangkat tangannya ke udara begitu melihat seorang pria yang membawa kertas bertuliskan namanya dan Rafi. Pria itu menoleh tampak lega lalu mengangguk dan segera menghampiri keduanya dengan taksi. "Fi, ayo!" kata Gilang seraya menoleh sekilas.
Barang bawaan mereka yang lain diletakkan ke bagasi agar tidak terlalu makan tempat. Gilang meletakkan ranselnya di dekat kaki lalu merapatkan punggungnya pada sandaran kursi. Perjalanan lebih dari satu jam yang ditempuhnya lumayan membuat badan pegal. Ia menoleh pada Rafi yang baru saja menurunkan ponselnya dari telinga, tanda selesai menelepon.
"Adel?" tanya Gilang.
Rafi mengangguk. Lalu satu senyum yang tak bisa ditahannya terbit. Gilang geleng-geleng kepala.
"Gila dah, makin lengket aje lo berdua."
"Ya bagus lah."
"Alah. Dulu juga lo nggak mau ngakuin."
"Ya kan dulu." Rafi mengedip-ngedipkan mata sambil nyengir sebelum mengalihkan pandangannya menuju lampu yang sedang menyala merah. Tangan kirinya bertopang pada jendela yang tertutup.
Keadaan kota Jogja sore ini tampak ramai. Mungkin karena malam ini malam Minggu jadi orang-orang banyak yang menghabiskan waktu di luar. Suasana Jogja sangat amat berbeda dengan Jakarta. Di sini, Rafi dan Gilang tidak bisa seenaknya berbicara dengan kata-kata kasar karena adat dan tata krama yang masih begitu kental. Tak jarang juga mereka kebingungan dengan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Tapi untungnya, keduanya sudah lumayan bisa beradaptasi.
"Ngomong-ngomong, Fi." Gilang kembali berbicara. "Lo udah itu belom?"
Kedua alis Gilang bergerak-gerak dan bibirnya menyunggingkan senyum, membuat Rafi mengeryit.
"Hah?"
"Ya elah belgi."
"Apanya?"
Laki-laki berkemeja flannel itu menatap Gilang bingung.
"Udah ya pasti?"
"Apaan, anjing?"
"Masa lo nggak paham?" Gilang menepuk-nepuk paha Rafi sambil nyengir. "Jedor-jedor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragically Beautiful
Cerita Pendek"Kita sadar ingin bersama. Tapi tak bisa apa-apa." -Tulus Cr. sadieculb © ammoniac-2017