Satu

102 3 5
                                    

Deburan ombak menghantam karang dengan sekuat tenaga. Keras. Angin berhembus di sela-sela dedaunan kelapa yang batangnya tak kunjung bercabang. Entah untuk keberapa kalinya, kaki berukuran sepatu tiga puluh delapan ini menginjak pasir putih dan melukai kerikil-kerikil yang tersepak kesana kemari. 

Kali ini tangannya bisa bergerak bebas tanpa ada yang menggenggam. Ia bukan bocah yang harus dituntun kemana-mana. Ia butuh kebebasan, seperti sekarang ini. 

Lembayung jingga di ufuk cakrawala. Entah harus bahagia atau merana, baru saja ia kehilangan. Sebut saja kehilangan seseorang yang mengubah harinya. Mencoba melukis warna baru dalam kanvas hidupnya. Tiga tahun begitusingkat sebatas dipertemukan lalu dipisahkan tanpa sempat di persatukan. 

Rambut hitam berkilau wanita berumur sembilan belas tahun melambai seolah mengajak angin untuk lebih lama menemani gadis ini mencurahkan segenap isi hatinya. Tidak hancur yang terlalu sakit, hanya kecewa yang meradang.

Duduk sendiri di pantai dan juga dermaga, bermain pasir dan melihat anak-anak kecil riang gembira membuat istana pasir dan merobohkannya lagi. Mereka tertawa riang. Ah, andai waktu bisa diputar ke belakang. Devi ingin kembali ke masa dimana ia membangun sesuatu untuk dirobohkan lalu ditertawakan tanpa ada air mata yang tumpah setelahnya.

Tampaknya lari dari kenyataan tidak akan pernah menyelesaikan masalah, hanya sedikit memberikan ketenangan sekejap. Tak diperdulikan handphone yang ada pada genggamannya bergetar untuk keberapa kalinya. Ia telah muak dengan segala hal manis di dunia ini, termasuk janji.

Dilangkahkan kakinya menuju deretan sepeda motor yang terparkir rapi. Seolah melihat para pasukan pembela negara yang sedang berbaris rapi, lurus. Seorang pria berbaju merah membantu sepedanya untuk keluar dari parkiran. Tangannya lusuh, wajahnya mulai terlukis kerutan dibawah kelopak mata, sunggingan senyumnya seolah mengajarkan ketulusan yang mendalam. Devi merogoh kantongnya, mengambil lembar berwarna coklat bergambarkan Tuanku Imam Bonjol dan mengulurkan pada bapak yang usianya bisa ditaksir diatas lima puluh tahunan.

"Ini mbak kembaliannya, biaya parkirnya hanya dua ribu" Ucap bapak penjaga parkiran itu.

"Gapapa pak, kembaliannya buat bapak saja" Sahut Devi seraya membenarkan posisi spion dan mulai menghidupkan mesin sepeda motor untuk ia lajukan.

Ah, rasanya rindu rumah. Ingin pulang memeluk Ayah dan Bunda. Berada di tanah rantau membuatku mengerti arti rindu yang sesungguhnya. Rindu yang tak ditemukan obat mujarabnya selain bertemu. Hati Devi getir, saat jarak membentang ia selalu ingin pulang dan berada di rumah. Padahal saat masih masa mengenakan seragam putih abu-abu, Devi lebih suka berada di luar rumah. Berada di sekolah lebih lama, toko buku, cafe, perpustakaan, mall, dan di taman alun-alun.

Devi seorang mahasiswi semester dua dari fakultas hukum sebuah universitas negri di ibu kota provinsinya yang terletak 384 KM dari daerah asalnya. Hidup dalam ranah beasiswa, ia tidak berasal dari keluarga kalangan atas apalagi seorang bangsawan.

Langit ufuk timur mulai menggelap, tanda senja akan segera tergantikan gelap gulita. Ternyata hampir genap satu tahun ia melewati jalan Kenanga setiap harinya. Memakirkan motor di halaman rumah bercat kuning. Bertemu dengan kaum hawa para perantau yang mengejar ilmunya kemari. Menanggalkan sekejap jiwa manja dan menyongsong hidup yang dituntut jauh lebih mandiri. Dipertemukan dari berbagai suku, ras, agama, hingga budaya yang tadinya saling malu tapi sekarang sering malu-maluin.

"Dari mana Pi? Pantai yaa? Yakali guwe gak diajak, sendirian aja nih kesana? atau ada gebetan baru nih? anak mana Pi?" Sudah dapat dipastikan siapa yang akan memberondong pertanyaan ketika tiba di halaman kos, Mbak Ika.

Devi masih mengetuk-ketuk alas kakinya yang penuh dengan pasir. "Gak dari pantai kok mbak"

"Alah gak usah bohong deh luh Pi" Ucap Mbak Ika, mahasiswi Biologi asal tanah sunda yang hobi mengubah huruf f atau v menjadi p. "Tuh di sepeda motor luh banyak pasir"

"Yee sapa bilang banyak pasir berarti habis dari pantai wong akunya habis nguli di perumahan depan yang lagi dibangun" Ucap Devi santai sambil meninggalkan teras menuju kamar.

Tak luas dan tak sempit, sedang. Ruangan bercat biru laut setidaknya nyaris bisa menggantikan kamarnya di rumah yang sebenarnya takkan bisa tergantikan kenyamanannya. Dipandangi dinding kamar kos yang mulai dipenuhi kertas dan foto. Kertas berisi tulisan yang sanggup menyuntikkan semangat pada dirinya. Foto yang setidaknya mampu menurunkan kadar rindunya sepersekian persen.

Berkalung handuk tidak lekas membuat kaki Devi berjalan menuju kamar mandi. Ia masih asik menatapi langit-langit kamar kos yang warna catnya mulai memudar. Terlintas secara tiba-tiba sesosok lelaki bermata teduh seakan sedang tersenyum dengan bibir tipis yang menawan. Digusrahnya dengan jahat bayangan yang mengusik hidupnya. Tidak, aku harus melupakannya sekarang. 

Dipandanginya lekat-lekat sebuah foto yang satu-satunya tak ditempel di tembok melainkan berada pada pigura yang dibuat oleh jari jemari Devi sendiri. Seorang lelaki bertubuh tinggi  mengenakan jas putih dan seorang wanita mengenakan dress merah muda berdiri berdampingan, hanya berdiri. Tak berpegangan tangan atapun hal-hal yang dilukiskan dengan keromantisan. 

Pikiran Devi semakin melayang, seolah memutar garis waktu yang terbelakang. Saat awal ia mengenali lelaki tambatan hatinya yang tak kunjung menjadi kekasihnya. Lelaki dengan tekad kuat ingin mengucapkan sumpah dokternya di usia 22 tahun. Tak terasa tiga tahun lebih berlalu begitu saja, lelaki yang jauh lebih tua dua tahun dari umurnya mengisi hari-harinya.

Masih terbayang betul bagaimana seseorang periang seperti Devi berubah melankolis ketika mengenal nama Prama. Hingga menjadi sebuah alasan Devi untuk memperjuangkan kota yang sama dengan sang anak pertama itu. Berharap kan lebih sering menatap kelopak matanya yang teduh, nyatanya kenyataan pahit harus ditelan Devi. Berada dalam kota yang sama tapi tak pernah bertemu melepas rindu.

"Deviiiiiii!!! Mandi gak luh? cepet gih keburu larut malem ntar alergi dingin luh kumat baru tau rasa!" wanita bersuara cempreng ini sering disebut sebagai Mak kos. Tika, mahasiswi perikanan semester akhir yang sedang bertempur dengan naskah skripsinya. 

Diseka air mata Devi dengan ujung ibu jarinya. Tak terasa ada buliran air bening membasahi pipinya. Ia segera membuat badannya bangkit dan melawan gaya gravitasi kasur yang terkenal daya tariknya sangat tinggi.

Dep!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang