Empat

33 0 0
                                    

Memang hukum alam yang tak pernah bisa dibantah bahwa roda kehidupan akan terus berputar selama waktu masih bisa berjalan kedepan dan tak pernah ke belakang. Lelaki perantauan dari Padjajaran kini mencium pagi dengan wangi yang berbeda. Seorang wanita yang jauh lebih muda kini mengisi harinya. David tak ingin gegabah, sebab ia tahu konsekuensi jatuh cinta adalah sakit yang berkepanjangan.

Bukan sekali dua kali dadanya terasa tertusuk samurai tajam. Sakit yang mengakar. Wanita tinggi semampai bak model papan atas, cantik dan proporsional. Nadila mampu menghancurkan kepercayaan yang telah dibuatnya. Waktunya lebih dari setahun harus terbuang sia-sia untuk menyayangi wanita seperti Nadila. Tak munafik memang, walau seribu kali logika berkata bahwa ia membenci Nadila, tapi mau tidak mau ia harus menerima bahwa hatinya masih saja tersimpan beberapa potongan hati untuk Nadila. 

***

Malam itu, menjadi saksi bisu puncak dari kekecewaan David. Tak semua omongan orang itu tidak perlu didengarkan ada kalanya bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik untuk kita. RIbuan kabar entah kabar burung atau kabar apapun itu, David tak peduli. Tapi, sesuatu telah mengusik hatinya. Sebuah foto dikirimkan oleh seorang sahabat sekaligus tetangganya di kampung halamannya, Ika membuat langkahnya semakin ringan menuju Jalan Nias, menyaksikan adegan perselingkuhan, sebut saja begitu. Wanita yang memiliki status sebagai pacarnya, memilih berdua dengan sahabat dekatnya, Reza. 

Ada sesak yang mencoba keluar dari seluruh aliran darahnya. Tak disangka memang, Reza yang sebegitu dekat dengan David ternyata musuh dalam selimutnya. Mencoba meredam amarah dan menahan air mata. Ia lelaki, bukan wanita melankolis yang akan menjabrak mangsanya dan akan ada adu mulut berkepajangan. Kali ini David terdiam di pintu masuk restoran. Menata alur nafasnya yang terengah-engah. Menyimpan dalam goresan luka yang ternyata meradang hingga detik ini. 

"Dil? Begini? oke fine! kita usai disini," David mengatur intonasi dan volume yang akan dikeluarkan dari mulutnya, ia tak ingin membuat kacau. Berawal dari baik-baik  saja dan ia ingin mengakhirinya baik-baik saja. 

Nadila hanya diam, mencoba untuk menjadi pihak yang tidak merasa bersalah. Menatap David dengan tatapan kosong. Ia sadar ia baru saja melukai hati seorang pria yang menyerahkan segenap hatinya hanya untuk dirinya. Lelaki setia dan romantis. Dua sifat yang tak bisa dipisahkan ketika mendengar nama David Najmi Pratama. Terpaku, tak ada jawaban untuk kalimat yang dilontarkan David. Nadila, memilih untuk membungkam mulutnya. Tak patut ia membela dirinya, sebab David tak sepenuhnya salah. 

Didepan David,  lelaki tanpa kaca mata. Mengenal David sejak awal memasuki era bangku perkuliahan. Dibilang pihak ketiga, Reza mengakuinya. Tetapi, bagaimanapun cinta tak bisa disalahkan. Bukannya cinta bisa jatuh pada hati yang tak tahu siapa dan dimana. Entah itu pada kekasih sahabatnya sendiri, Reza tak peduli. 

Tidak ada adegan tampar menampar ataupun teriakan yang membuat semua mata tertuju pada ketiga orang diatas meja bundar dengan riasan romantis. Lilin yang masih menyala dengan aroma bunga kamboja yang khas. David memilih berbalik badan ketika dua insan hanya menatapnya dan tak sedikit pun mengeluarkan kata-kata. Di bangku ujung dekat pintu Ika menatap iba sahabatnya, ia mengenal betul bagaimana seorang David. Pria yang selalu setia dan memberikan segenap jiwanya hanya untuk wanita pilihannya. Tak mudah jatuh cinta dan tak mudah melepas begitulah David. Ika tahu betapa hancurnya David kali ini. Nadila adalah cinta pertama David. 

David melangkahkan kakinya, menarik Ika dari tempat duduknya dan lekas meninggalkan restoran iga bakar itu. Menaiki motor dan mengajak Ika untuk berada di boncengannya. Ika tak berucap, takut menambah luka yang diderita David. Membelah jalanan kota. Merasakan tiap hembusan angin malam yang menambah tusukan tajam dalam relung hatinya. Prinsip yang selalu saja ia genggam, bahwa lelaki tak boleh menangis apapun kondisinya. David menanamkan prinsip yang diberikan oleh mamanya menjelang mamanya menghadap Yang Maha Kuasa. 

Tak ada percakapan hingga gela tawa yang tercurah malam ini. Sepanjang perjalanan menuju kos Ika, David hanya diam. "Makasih ya Ka, luh emang sahabat terbaik guwe," rumah besar bercat kuning yang dihuni Ika sejak ia menapakkan kakinya di kota pahlawan masih berdiri dengan gagah. David mempersilahkan Ika masuk. Ika hanya tersenyum, lalu memutar badan dan menuju kamar.

***

Begitu cepat waktu berlalu, semua hanya kenangan. Seperti kopi, walau rasanya pahit tetap saja ribuan bibir ingin selalu menyeduhnya. 

drrrrrtttttt

Bang Dap! dimana? jadi gak joggingnya? keburu panas nih.

Pesan singkat dari Devi membuyarkan lamunannya. Entah setan mana yang merasukinya, membuat semangat paginya menjadi sedikit luntur karena mengingat cinta pertama nya yang berakhir kandas ditengah jalan. 

Jadi dong Dep! lima menit lagi guwe sampek kos luh

Memastikan bahwa ia tetap terlihat lebih tampan sangat perlu. David berdiri di depan kaca dan menatap bayangan dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Nilai sembilan untuk penampilannya kali ini. 

Langkah kaki yang terasa lebih ringan dari biasanya, memacu motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Maklum hari ini akhir pekan dan masih pukul dibawah enam pagi, jalanan hanya dihuni segelintir kendaraan bermotor. 

Seperti gaya gravitasi yang selalu menarik seluruh beda ke arah bumi, bagi David, Devi pun begitu. Seperti selalu ada yang menarik ujung bibirnya untuk selalu tersenyum ketika menatap bola mata Devi yang besar dan bulu matanya yang lentik. Langkah kaki Devi pun  tak pernah berhenti untuk selalu membuat gigi putih nya berderet rapi menampakkannya ke semesta. 

Mungkin ini yang dimaksud Raisa, bukan jatuh cinta namun jatuh hati.

Rambut ikal Devi diikat menjadi satu. Poni yang masih  sangat baru, baru dipotong tadi pagi. Jaket merah jambu menambah kesan cantik pada diri Devi, entah apa pula yang merasuki Devi hingga ia sedikit terlihat lebih segar dari biasanya. 

Udara segar pagi memenuhi paru-paru bagi siapapun yang ingin hidupnya lebih sehat. Udara bebas polusi, semua pasti mengidam-idamkan itu. David dan Devi menuju lapangan tepat di tengah universitasnya. Lapangan yang dikelilingi pohon-pohon besar dan rimbun. Tak sesekali nyanyian burung dan arakan awan mengiringi langkah kaki kedua orang tersebut. 

Sejuk. Tempat ini adalah tempat yang paling ramai ketika akhir pekan telah tiba. Bukan hanya mahasiswa dan mahasiswi kampus ini saja yang bisa menikmati betapa rindangnya pepohonan di lapangan ini, masyarakat sekitar pun diperbolehkan bersantai ria di lapangan yang luasnya kurang lebih satu hektar dan hanya ditempat ini tidak diperbolehkan kendaraan bermotor melintasi jalanan di sekitar lapangan, tempat yang sangat asri. 

Devi ingin melepas sepatunya, menginjak rumput yang masih basah oleh air. Entah itu air hujuan ataupun embun yang masih belum menguap. Sinar mentari pun masih malu-malu bersinar dibalik awan seputih kapas.

Dep!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang