Aku pikir hanya selembar formulir saja yang harus aku isi, ternyata masih ada beberapa lembar lainnya yang harus aku isi. Tidak. Lebih tepatnya 'harus aku kerjakan'. Itu merupakan tes psikologi yang banyak. Bahkan, Mbak Fitri memberiku waktu untuk mengerjakan tiga tes psikologi itu.
Maghrib sudah datang. Aku menumpang sholat di kantor itu. Mushola ada di lantai satu, dekat dengan toilet dan tempat wudhu-nya. Selesai sholat, aku pergi ke lantai dua.
Panji, mungkin dia satu-satunya orang di ruang kerja yang amat luas di lantai dua ini. Sama sekali tidak ada pintu ruangan di lantai dua. Di sini, hanya ada meja-meja dengan kursinya. Jumlah meja pun hanya ada belasan, tidak lebih dari 15 buah. Tapi, hanya sedikit yang mejanya tampak penuh dengan barang. Satu-satunya meja yang paling penuh mungkin punya Kak Panji itu.
"Um. Permisi, Kak," sapaku.
Laki-laki berkaca mata tebal itu tidak menatapku. Dia menunjuk kursi meja sebelah. Aku sempat bingung, tapi aku rasa aku mengerti. Aku menarik kursi itu ke samping mejanya, lalu duduk di sana.
Dia menggeser sebuah kamera yang menggantung dalam sebuah tiang pendek di samping laptop-nya, mengarahkan lensanya pada wajahku. Aku belum siap, dan aku juga tidak mengerti apa yang ingin dia lakukan. Tahu-tahu wajahku ada di layar laptop. Wajahku yang terlihat seperti orang bingung. Aku merasa malu, seperti dibodohi.
Aku kesal, tapi aku tak berkomentar. Aku terpana oleh teknologi yang sedang dijalankan Kak Panji. Fotoku dipindai dengan detil, mulai dari struktur, ukuran, ukuran mata, hidung, mulut, bahkan pindaian itu segera menyesuaikan dengan kerudung yang menutupi sebagian kepalaku.
Muncul sebuah jendela dengan banyak kolom di sana. "Nama?"
"Alicia Azizia."
"TTL?"
"Jakarta, 13 September 19xx."
"Sekolah?"
"SMA Nusantara."
Tangan kurus itu sempat berhenti mengetik sejenak. Dia bahkan terdiam beberapa saat. Dia berdeham. "Bakat khusus?"
"Mind-Reader."
Dia sempat menatapku sampai memicingkan mata. Lalu, dia kembali menatap layar di depannya. "Warna?"
"Um. Hitam."
"Hewan?"
"Um. Kucing."
Jari telunjuk ramping itu menekan enter dengan cukup kuat. Aku mendengar sebuah mesin cetak berbunyi aktif. Tidak sampai semenit, mesin itu berhenti berbunyi. Kak Panji beranjak dari kursinya, pergi ke ujung ruangan dekat jendela. Dia mengambil sesuatu dari mesin cetak di sana, lalu kembali ke mejanya.
Dia memberikanku sebuah kartu berbahan plastik yang cukup tebal dan kokoh. Itu seperti sebuah KTP. Di sana ada foto topeng kucing hitam. Namun, identitasku dirahasiakan. Namaku bulan Alicia Azizia, melainkan Zee Alya, entah dapat dari mana. Ada nomor anggota Sena di bawah nama itu, ZA13091308SENA. Di sana tidak ada tanda tanganku, melainkan sebuah kode QR. Entah kode itu untuk apa.
Dia mengambil selembar kertas dari lacinya, lalu dia menulis sesuatu dengan sebuah pena biru. Tulisannya terlalu rapi untuk seorang lelaki cuek sepertinya. Bahkan, aku akui tulisannya lebih baik dariku.
"Pergi ke tempat itu besok. Tunjukkan kartu ini pada perempuan di kursi roda. Dia akan memberikan topengmu."
Setelah itu, dia kembali sibuk dengan laptop-nya, entah melakukan apa. Dia sama sekali tidak berbicara banyak, dan dia selalu to the point. Dia tipe orang yang rasanya lebih membosankan dibanding Kak Charles.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garuda Emas Indonesia (GEMS) [COMPLETED] (Wattys2020)
Science FictionWattys2020 Winners - Sci-Fi Part 6> Baca di Dreame ya 😆 Setiap anak lahir dengan sebuah bakat, namun hanya sebagian dari mereka yang memiliki bakat khusus. Mereka disebut sebagai Manusia Super. Masalah terkait Manusia Super telah menjadi topik utam...