Aku ingat betul foto-foto yang ditunjukkan Pak Syaiful dan Kak Panji. Aku bisa mengingat banyak hal dengan sangat jelas dan detil. Karena itulah, aku amat sangat yakin dengan apa yang kulihat, meski melalui penglihatan malam dan perbesaran besar dari fitur topeng ini.
Topeng ini juga merupakan alat komunikasi. Aku tidak begitu mengerti bagaimana proses pembuatannya, tapi intinya ini seperti topeng Iron-Man. Sungguh keren. Topeng ini bahkan tidak terasa berat dengan segala fitur yang dipasang.
"Pak Yuda," panggilku.
"Apa? Aku baru sampai di mobil. Kamu tidak melakukan hal aneh, 'kan?"
"Aku tidak sebodoh itu, Pak," ucapku kesal. "Aku melihat si Tengil. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi. Jadi, aku akan kembali ke mobil."
"Ya, cepatlah, sebelum dia menyadarimu."
Aku tidak lagi melihat si Tengil dan beberapa Extreme yang mengikutinya di belakang. Ada dua Manusia Super selain si Tengil, tapi mereka bukan salah satu dari orang-orang yang dikenalkan oleh Pak Syaiful untuk diwaspadai. Sepertinya mereka tengah pergi melakukan transaksi di tempat yang tidak dapat terlihat dari tempatku bersembunyi.
Beberapa informasi penting sudah kudapatkan. Sejujurnya, aku masih ingin tahu lebih banyak. Tapi, aku tidak mau ambil resiko dengan berurusan dengan Manusia Super lain, rasanya mentalku belum cukup kuat. Meski aku sudah melewati berbagai latihan dan pelajaran selama seminggu ini, aku tak yakin bisa melawan Manusia Super. Pasalnya, kekuatanku tidak begitu banyak berguna dalam pertarungan adu bakat khusus.
Aku berbalik hendak pergi. Namun, secepatnya aku menghentikan tubuhku dan langkahku. Seorang laki-laki berambut hitam tebal yang berantakan dengan tubuh kurus dan tinggi, tampak seumuran denganku dan Kak Charles, tengah berdiri menghalangi jalanku. Pakaian khasnya yang serba hitam-merah itu membuatnya menakutkan seperti vampir. Ketika dia menyengir, aku bisa melihat sepasang taring runcingnya yang menakutkan. Dia adalah si Tengil, salah satu petinggi Extreme Kelas 1. Bakat khusus yang dimilikinya adalah Extreme Blood, bakat untuk mengendalikan darah layaknya mengendalikan air.
"Kau Sena baru, ya? Aku tidak pernah melihatmu selama ini. Tapi, apakah kau tidak terlalu kecil untuk bekerja sebagai Sena?" katanya dengan tenang.
Aku mengangguk. "Salam kenal."
"'Salam kenal' katamu?" Dia tertawa menghina. "Apa kau terlalu naif? Sepertinya, kau tidak cocok bekerja sebagai Sena. Kau terlalu sopan dan baik hati."
Aku tidak menanggapi ucapannya. "Kata para senior, aku harus menghindar darimu. Jadi, sebaiknya aku pergi saja."
Ketika aku bergerak ke samping untuk menjauh, sesuatu melesat cepat dari arah depan ke sisi kiri tubuhku. Aku bisa mendengar sepersekian detik isi pikiran si Tengil. Aku menarik kembali tubuhku untuk menghindar. Nyaris saja aku terluka. Kalau sampai aku terluka dan mengeluarkan darah, dia akan jadi pemenangnya, dan mungkin aku akan terbunuh di sini.
"Kau punya refleks yang baik. Tapi, kau tidak bisa pergi," ujarnya.
Aku menatapnya. "Jangan begitu, dong. Aku, 'kan, tidak melakukan apa-apa. Aku hanya ditugaskan untuk mengamati."
"Apa kau baru saja menggunakan bakatmu padaku? Apa bakat yang kamu miliki?"
Aku menggeleng. "Waduh. Itu informasi yang rahasia, loh. Maaf, ya," ucapku santai. "By the way, bagaimana kalau kita buat perjanjian?"
"Apa maksudmu?" Dia terlihat waspada.
"Kalau aku menang suit denganmu, kamu harus membiarkanku pergi. Kalau aku kalah, kita bertarung. Bagaimana?"
Dia menatapku sampai memicingkan mata. Terlihat berpikir dengan serius. "Apa tujuanmu sebenarnya?"
"Aku hanya ingin pulang," jawabku. "Ayolah. Hanya suit, loh. Apa kamu tidak pernah bermain suit?"
Dia menatapku dengan kesal. Aku tahu dia punya temperamen buruk dan tidak suka direndahkan. Kalau ada yang menghinanya, dia akan gelap mata dan hati, dan akhirnya menjadi orang yang ceroboh. Itu adalah kelemahan pertamanya yang tidak diketahui Sena.
"Itu permainan anak kecil," tukasnya.
Aku mengangguk. "Memang. Tapi, ini mudah, kok. Hanya suit, 'kan? Aku pikir ini cukup adil. Kita sama-sama diuntungkan. Aku menang, aku bisa mendapatkan yang aku mau. Kamu menang, kamu bisa bertarung denganku. Aku bahkan sebenarnya tidak yakin bisa menang darimu. Kamu bisa membawaku pada kawananmu atau membunuhku di sini."
Sekali lagi dia menatapku dengan serius. Dia terlihat seperti sedang berpikir. "Baiklah. Aku rasa itu cukup adil."
"Oke. Aturan permainannya terserah kamu. Mau suit biasa atau suit Jepang, mau satu atau tiga kali, mau lima kali juga boleh."
"Lima kali. Suit Jepang."
Aku mengangguk, lalu aku bergerak menghampirinya. Kami bersiap dengan tangan kami. "Satu... dua... tiga." Kami mengeluarkan satu bentuk. Dia mengeluarkan bentuk kertas, dan aku mengeluarkan bentuk gunting.
Dia terlihat kesal, tapi dia tidak berkomentar. Kami pun mulai lagi. "Satu... dua... tiga." Dia mengeluarkan batu, aku mengeluarkan gunting. Aku bisa melihat seringai menakutkannya. Dia terlihat senang karena bisa menang dariku kali ini.
Kami melakukan yang ketiga. Dia mengeluarkan batu, aku mengeluarkan kertas. Dia terlihat kesal, dia sadar bahwa aku sudah punya dua kemenangan. Kami melakukan yang keempat. Dia mengeluarkan gunting, dan aku mengeluarkan kertas. Dia terlihat semakin bersemangat. Dia yakin bahwa dirinya akan menang oleh permainan anak kecil ini.
Aku menghela napas berat, menunjukkan sedikit sikap panikku. Dia menyadari itu, dan dia semakin terlihat yakin bahwa dirinya akan menang. Kami pun melakukan yang kelima. Dia mengeluarkan kertas, dan aku mengeluarkan gunting.
Dia terlihat tidak suka. "Aku ingin dua sesi lagi," ucapnya.
"Kok 'gitu? Apa kamu tidak percaya dengan hasilnya?" ungkapku dengan sedikit berseru.
"Itu hanya keberuntunganmu," katanya.
Aku berdecak kesal. "Ish. Tidak sportif banget," ledekku kesal.
"Setelah dua ini, apapun hasilnya, akan aku terima," ucapnya.
Aku diam menatapnya, pura-pura sedang berpikir. "Oke, deh."
Kami melakukan sesi keenam. Dia mengeluarkan kertas, aku mengeluarkan batu. Dia terlihat kembali percaya diri. Dia pun menunjukkan antusias yang mengejutkanku. Kami melakukan yang ketujuh. Dia mengeluarkan gunting, aku mengeluarkan batu. Akulah yang menang.
"Um. Kamu tidak akan mengajak sesi tambahan lagi, 'kan?" tanyaku, memperdengarkan kecemasan dan keraguanku.
Dia berdecak kesal. "Kali ini aku akan membiarkanmu bebas. Tapi, pada pertemuan kita yang kedua nanti, jangan harap kau bisa mendapatkan keuntungan."
Aku melompat ke hadapannya dan memeluknya. "Terima kasih, Kak."
Dia mendorongku dengan cepat dan kuat, tapi tidak cukup kuat untuk menjatuhkanku. "Apa-apaan kamu?" Meski gelap, aku tahu dia terkejut dan malu.
"Ah, maaf. Aku terlalu senang," kataku, lalu tertawa terkekeh-kekeh. "Sampai jumpa lain waktu, Kak."
Aku melangkah pergi dan berlari dengan riang. Sebisa mungkin aku menunjukkan suasana yang riang layaknya anak kecil. Dia menilaiku seperti anak kecil, maka aku memperlihatkan itu padanya. Tentu saja itu hanya akting. Saat SMP, aku ikut ekstrakulikuler teater, jadi aku cukup pandai berakting. Semua yang aku lakukan adalah akting di hadapannya. Aku pun berhasil mengelabuinya dengan permainan suit yang kekanakkan. Dia tidak tahu kekuatanku. Dia juga tidak sadar aku menggunakan kekuatanku. Meski dia bisa melihat aura seseorang dengan bakat khusus, dia tidak akan sadar karena aku menggunakan kekuatanku dengan sangat kecil. Dia benar-benar mudah dikerjai.
Maaf kalau garing. Wkwk..😅
Jangan lupa vomment-nya ya...
Thx 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Garuda Emas Indonesia (GEMS) [COMPLETED] (Wattys2020)
Science FictionWattys2020 Winners - Sci-Fi Part 6> Baca di Dreame ya 😆 Setiap anak lahir dengan sebuah bakat, namun hanya sebagian dari mereka yang memiliki bakat khusus. Mereka disebut sebagai Manusia Super. Masalah terkait Manusia Super telah menjadi topik utam...