[Charles' POV]
Anak itu benar-benar aneh. Dia terlalu nekat untuk mengungkapkan rahasia seseorang yang hanya diketahui dari pengamatan. Dia bahkan tidak mengenalku, tapi dia tahu tentang itu. Aku akui dia anak yang cerdas.
Kalau tidak salah, dia satu-satunya penerima beasiswa di kelas 10. Siapa namanya? Aku lupa. Dia tidak terkenal. Tapi, beberapa kali aku melihatnya berkeliaran sendirian. Dia tidak pernah ke kantin. Aku lebih sering melihatnya di kran air minun atau di masjid. Apa dia tidak punya teman? Sifatnya yang percaya diri dan banyak bicara itu seharusnya membuatnya menjadi orang yang ramah dan disukai teman-teman.
Ah, aku tak peduli. Untuk apa aku memikirkan hal itu?
"Hoi, Char." Itu panggilan dari Fauzan. Tapi, aku terlalu malas untuk menoleh. "Tadi gue lihat lo bicara sama anak beasiswa itu. Tumben banget."
"Maksud lo apa?"
"Dia memang akrab dengan semua orang, tapi tidak ada yang benar-benar mau berteman dengannya. Gue dengar, sih, karena teman-teman seangkatannya menganggap dia miskin dan tidak pantas di sini. Lo tahu kalau sekolah kita kayak apa. Dan anak-anak baru tahun ini emang sengak semua. Lo tahu kayak gimana mereka pas MOS, 'kan?"
Ucapannya benar. Mungkin karena itu anak itu terasa selalu sendirian. Tapi, aku tidak menyangka dia berani memanggilku lebih dulu. Bisa-bisanya dia tidak punya rasa takut. Jadi, dia benar-benar punya bakat?
"Btw, anak itu sudah nggak punya ortu. Apa dia nemuin lo untuk masalah itu? Ortu lo, 'kan, punya panti asuhan besar," katanya lagi.
Aku menggeleng. "Bukan. Dia membicarakan hal lain."
"Wuih! Apa, tuh? Jarang banget ada cewek deketin lo. Apa dia nembak lo?" Dia terdengar semangat dan antusias.
Aku berdecak. "Bukan."
"Terus? Cewek-cewek deketin lo, 'kan, buat nembak lo," ungkapnya, tapi aku tidak berkomentar. "Dia itu cerdas, jago olah raga, periang, murah senyum, dan disukai guru-guru. Bahkan, kalau gue berani, gue bakal PDKT dan nembak dia."
"Yaudah, sana," ucapku dingin.
Dia tertawa, dan aku tidak tahu kenapa. "Mustahil, mustahil," gumamnya. "Banyak cowok-cowok angkatan kita dan angkatan atas yang nembak dia. Tapi, semua ditolak. Yang gue denger, dia nolak karena dia nggak punya waktu buat mikirin hal kayak gitu. Oh, iya. Gue juga lihat dia kerja di restoran cukup jauh dari sini."
Ucapannya membuatku sedikit berpikir. Jadi, dia sungguh-sungguh mencari kerja? Apa dia yakin mau bekerja sebagai Sena? Apa dia cukup layak untuk jadi Sena? Pekerjaan itu benar-benar tidak mudah dan berbahaya. Apa yang dia pikirkan?
Eh, tunggu. Buat apa mikirin masalah orang? Kenal juga tidak.
[Alice's POV]
Aku menuruti apa yang Kak Charles katakan. Kami memang tidak saking kenal, bahkan itu kali pertamanya aku bicara dengannya. Tapi, aku percaya dia tidak membohongiku. Aku bisa membedakan orang yang sedang berbohong dengan tidak hanya dari ekspresinya.
Aku mengambil libur bekerja di restoran hari ini, meski mendadak, dan Bu Lina tidak memarahiku. Aku pergi dari sekolah dengan busway, kemudian turun di halte dan berjalan kaki sedikit. Aku menggunakan GPS untuk menemukan lokasinya.
Gedung itu cukup mencolok di antara gedung-gedung lainnya. Gedung itu seperti sebuah ruko, minimalis, dan berada di sebuah jalan sepi selebar dua mobil. Terdapan papan besar di bangunan itu, bertuliskan "Garuda Emas Indonesia". Pada papan itu juga menjelaskan bahwa mereka menerima permintaan macam apapun, mulai dari pencarian orang hilang, kasus perceraian, sampai permintaan dari instansi pertahanan negara terkait kasus-kasus rahasia. Di antara bangunan di sekitarnya, tempat itu sepi. Parkirannya hanya berisi sebuah mobil dan sebuah sepeda motor.
Aku masuk ke sana tanpa ragu. Aku menemukan seorang perempuan duduk di belakang meja di samping kanan dari pintu ini. Aku menghampirinya. "Um. Permisi."
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
Aku menatapnya sesaat. "Saya ingin melamar kerja di sini."
"Eh?" Perempuan itu terlihat bingung. "Um. Ta-Tapi -"
"Saya tahu pekerjaan seperti apa di sini," kataku, seraya menyinggung senyum. "Boleh saya bertemu dengan yang punya?"
Perempuan itu sempat ragu untuk mengangguk. Dia berdiri, lalu membawaku ke ruangan dengan pintu kayu hitam yang ada di lantai satu, ruangan satu-satunya yang memiliki pintu kayu hitam. Dia mengetuk pintu itu, lalu masuk dan berbicara dengan seorang lelaki di sana. Dia kembali keluar dan mempersilahkanku masuk, kemudian meninggalkanku berdua dengan laki-laki berperawakan awal 40-an.
"Silahkan duduk." Aku duduk di kursi yang ada di hadapannya. "Jadi, kamu ingin melamar kerja di sini?"
"Ya."
"Kamu tahu pekerjaan seperti apa di sini?"
Aku mengangguk. "Saya tahu dari salah seorang Sena di sini, namanya Charles." Ekspresi wajah pria itu terlihat sedikit terkejut. "Kalian mencari orang dengan bakat khusus, 'kan? Oh, atau kalian menyebutnya Manusia Super. Benar?"
Dia melipat kedua tangannya di atas meja. "Jika boleh tahu, bakat apa yang kamu punya? Apakah kamu bisa menunjukkannya pada saya?"
Aku mengangguk. "Bapak belum memperkenalkan diri. Di sini, juga tidak ada tanda pengenal milik Bapak," ungkapku. "Nama Bapak adalah Syaiful Mizzan, umur 43 tahun. Lahir di Bandung, 15 Juni 19xx. Istri bernama Sarah Nur Layli, umur 40 tahun. Anak pertama adalah Fadhli Eko Purnama, mahasiswa UNJ jurusan Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa tingkat kedua. Anak kedua adalah Farah Dwi Ramadhani, kelas 12 di SMA 8." Aku menghela napas berat sambil memijit pelipisku. "Itu saja dulu."
Dia menyodorkan kotak tisu ke hadapanku dengan cepat. "Cepat, seka darah dari hidungmu!"
Aku mengambil beberapa helai dan menyumbat lubang hidung kiri. "Maaf," kataku, lalu terkekeh lembut.
"Apa ini batasanmu?"
"Ya. Saya sudah menggunakannya seminggu belakangan ini. Butuh waktu satu hari untuk istirahat. Ah, tapi, tidak masalah, kok, kalau saya dipekerjakan setiap hari. Saya tidak seberapa bergantung pada bakat ini. Saya bisa bela diri, menggunakan senjata tajam, dan akurasi saya juga baik untuk hal membidik. Saya sehat wal afiat," jelasku.
Dia menatapku dalam. "Siapa namamu?"
"Ah, benar. Maaf, saya belum memperkenalkan diri," kataku dengan sedikit malu. "Saya Alicia Azizia, kelas 10 di SMA Nusantara."
"Bagaimana dengan orang tuamu? Kamu harus dapat izin dari mereka, karena ini menyangkut ketenagakerjaan."
Aku menggeleng. "Saya tidak punya orang tua lagi. Sekarang saya tinggal di kosan tidak jauh dari sekolah," jelasku. "Tapi, saya tidak minta untuk dikasihani. Hanya saja, pekerjaan ini satu-satunya peluang besar yang saya punya untuk dapat uang banyak." Aku menyengir lebar.
Pak Syaiful menarik tubuhnya, bersandar pada kursi besarnya. "Kami membutuhkan tenaga kerja dengan bakat sepertimu. Sudah lama kami mencari bakat milikmu. Ini menjadi suatu kesempatan besar untukmu, dan kami akan menerimamu dengan senang hati." Dia tersenyum.
"Wah! Benarkah? Jadi, saya diterima?"
"Iya," jawabnya. Dia menegakkan dirinya. "Kita akan atur jadwalmu. Kami juga akan menyesuaikannya dengan kesibukanmu di sekolah, seperti yang kami lakukan pada Charles. Lalu, untuk satu bulan ke depan, kami akan memasangkanmu dengan anggota Sena lainnya secara bergantian. Kami akan menilai kesungguhanmu."
Aku mengangguk dengan semangat. "Terima kasih banyak, Pak. Saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan siapapun."
"Semangat yang bagus," sanjungnya. "Setelah ini, temui Mbak Fitri di depan. Isi formulir pendaftaran di sana, lalu temui Panji di lantai dua. Kami harus segera membuatkan topeng untukmu."
Aku mengangguk paham. "Kalau begitu, saya permisi." Aku berdiri, lalu mengulurkan tangan padanya, salim dengan mencium punggung tangannya layaknya anak pada orang tua.
Jangan lupa vomment yaaa..
Thx 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Garuda Emas Indonesia (GEMS) [COMPLETED] (Wattys2020)
Ciencia FicciónWattys2020 Winners - Sci-Fi Part 6> Baca di Dreame ya 😆 Setiap anak lahir dengan sebuah bakat, namun hanya sebagian dari mereka yang memiliki bakat khusus. Mereka disebut sebagai Manusia Super. Masalah terkait Manusia Super telah menjadi topik utam...