PROLOG

26 1 0
                                    

Bulan penuh di malam sendu, berhias kilau menyapa malam. Kerat-kerat dinginnya menyentuh kulit, menghantar embun ke permukaan daun. Angin berhembus kian lembut menyapa gaung telinga.

Beranda cantik rumah kayu putih klasik itu menjadi saksi bisu, sebisu heningnya suara Cinta Annabil Khoir. Kecelakaan dua tahun lalu menghilangkan suara merdunya. Tak itu saja, kedua orang tuanya turut terampas di malam naas itu.

Malam ini Cinta duduk di sofa hangat berlapis bulu poliester yang lembutnya tak kalah bak asli, dan terletak di beranda yang terhubung ke kamar tidurnya. Alunan irama lagu mengalun melalui headphone yang tersambung pada ipod putih miliknya, melarutkan ia bersama malam. Rutinitas yang kini ia lakukan dalam dua tahun terakhir.

Cinta kesepian, Yah....

Sehangat apapun pagi, bagi Cinta tetap dingin sedingin musim dingin maupun penghujan yang membanjiri seantero kota. Hangatnya susu dan roti panggang yang siap saji di meja makan, tak meningkatkan selera makan Cinta di pagi hari. Baginya kini, makan hanya sebatas formalitas untuk menghilangkan rasa lapar, bukan untuk mengenyangkan. Hanya Oma satu-satunya alasan Cinta tetap bertahan di dunia yang menyiksanya.

"Cinta..aa?" sapa Oma dari balik pintu kamar cucu jelitanya, "Sudah bangun belum sayang??" sambungnya.

Cinta yang sudah bersiap mengawali hari membuka pintu dan menjawab pertanyaan Oma Yuni dengan sebuah anggukan kecil. Oma menyambutnya dengan rangkulan hangat dan mengantarkan cucu malangnya menuju meja makan.

"Kita sarapan dulu, ya? Oma sudah buatkan nasi goreng kesukaan Cinta," tutur Oma Yuni. Cinta mengangguk setuju.

Setelah sarapan dan membereskan perlengkapan makan yang kotor, Cinta pamit berangkat menuju kampus. Ia memberikan pelukan dan ciuman hangat untuk Oma sebelum pergi, sebagai ucapan terima kasih atas menu sarapannya pagi ini.

Didepan persimpangan gerbang kampus, Cinta menuntun perlahan sepeda ontel putih berkeranjang cantik diantara handle-nya. Sesaat kemudian Laksmi- sahabat setianya telah berada tepat disamping, mengiringi langkah kaki Cinta.

"Pagi!!!" sapa Laksmi penuh semangat. Cinta tersenyum dan mengangguk.

Keduanya memarkir sepeda ditempat yang tersedia. Kemudian melangkah ke koridor penghubung antar ruang perkuliahan.

"Cin, denger-denger nanti bakal ada dosen pengganti, selama Pak Hasan umroh!" ujar Laksmi, berbagi isu yang baru ia dengar pagi ini.

Jari jemari Cinta bermain diantara kertas dan bolpoin, menulis sebuah kata.

TERUS?

"Semoga dosennya masih muda, baik, ganteng, dan SINGLE!" timbal Laksmi, penuh harap.

BAGIKU ITU NGGAK PENTING

"Eh, ya harus dipenting-pentingin dong cantii...iik! Ini kesempatan sekali selama Pak Hasan nggak ada," timbal Laksmi.

TERSERAH KAMU.
OH YA, MALAM INI OMA MINTA KAMU MAIN KE RUMAH.

"Waaa..aah, bakal perbaikan gizi, nih!" sorak Laksmi. Cinta tersenyum.

Ruang kelas bergaya Eropa peradaban, ditata bak ruang teater opera dengan satu set stage lengkap dengan instrumen musik. Tempat duduk mahasiswa disusun bersusun keatas mengikuti anak tangga yang ada. Dengan deskripsi kelas demikian, jelas kedua sahabat itu mengambil kelas musik di semester ini.

Kelas pertama dimulai.

"Pagi!" sapa dosen pengganti, sambil berjalan menuju tenpatnya.

"Pagi, Paa...aak!" jawab seluruh mahasiswa kelas tersebut.

"Dosen baru ya, Pak?!" celetuk salah satu mahasiswa. Sang Dosen tersenyum.

"Perkenalan, Pak!" ujar Laksmi.

"Saya senang masuk di kelas yang penuh semangat seperti ini," tutur Dosen Pengganti.

"Nama, Pak?!" ucap mahasiswi yang tak sabar ingin segera tahu nama dosen muda dan tampan tersebut.

"Nama saya Galih Gumelar. Kalian bisa panggil saya Pak Galih," balas Galih.

"Panggil Mas Galih boleh nggak, Pak??!" celetuk salah satu mahasiswi yang kemudian diikuti riuh sorakan dari mahasiswa kelas pagi itu. Galih hanya bisa tersenyum. Ini kelas pertamanya, ia ingin meninggalkan kesan yang baik.

"Status, Pak!" celetuk mahasiswi lainnya. Galih mengabaikan.

"Sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri," tutur Galih, ramah.

Satu per satu mahasiswa dan mahasiswi memperkenalkan diri.

"Nama saya Naomi Kristy," tutur si gadis kampus. Galih mengangguk.

"Mau sekalian kontak saya, Pak??" sambung Kristy, penuh percaya diri. Galih tersenyum mendengarnya namun tak ingin menanggapi lebih jauh.

Sampai saatnya giliran Cinta memperkenalkan dirinya. Jari lentik itu mulai menggoreskan tinta diatas secarik kertas.

NAMA SAYA CINTA.

Galih tampak heran.

"Dia bisu, Pak!" ujar Kristy bernada mengejek.

"Bisa diam, nggak!!" bentak Laksmi, tak terima hinaan yang ditujukan pada sahabatnya.

"Kenyataan, sih!" timbal Kristy, "Bisu, ya bisu aja!" lanjutnya.

"Bagi saya, itulah nilai lebih dari Cinta," tutur Galih.

"Lebih darimananya, Pak?!" timbal Kristy.

"Cinta lebih baik, karena suaranya tidak digunakan untuk mencela orang lain," tutur Galih, membungkam Kristy seketika. Laksmi puas, sedang Cinta tertunduk bisu.

***

Cinta untuk Cinta [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang