PROLOG

66 19 35
                                    

Ya, Tuhan!

Langkah seorang cewek mundur teratur begitu suara klakson mobil dari arah kanan meraung-raung memperingatkan. Hampir saja tubuhnya menyerempet kap depan mobil mengkilap itu jika saja ia telat mundur sedetik bersamaan dengannya yang menghempaskan diri ke belakang, tak terelakkan bokongnya mencium kasar aspal jalanan.

Alih-alih ber-euforia karna hampir kecelakaan Rara justru berlari setelah sebelumnya menepuk-nepuk celana jins-nya membersihkan debu jalanan sekali pun langkahnya sesekali tertatih. Beberapa orang melongo menatap Rara tak percaya padahal masing-masing sudah berniat untuk menolong mahasiswi yang dalam tahap akan memasuki semester ganjil ketiga itu.

Kampus Rara yang strategis dihadapkan pada jalanan besar ibukota membuat Rara kewalahan tiap harinya harus menyeberang untuk sampai ke kampus. Angkot yang Rara tumpangi setiap pagi selalu menurunkan penumpang disisi kiri sedang kampus Rara berada di sisi satunya. Bukan, Rara bukan menyalahkan kebiasaan angkot. Seumur hidupnya yang hampir genap dua puluh tahun, Rara tak pernah tau cara menjadi penyeberang jalan yang baik.

Seakan kesialan terus menghampiri,  Rara kesandung batu segede upil membuat tubuhnya oleng ke depan. Memang  benar adanya kita selalu terperangkap oleh hal kecil karna terlalu fokus dengan hal besar tanpa tau sesuatu yang tidak terpikirkan itu bisa menjebak.

Beruntung Rara sigap berpegangan dengan tiang besi, hingga mungkin-mungkin yang ada padanya tidak terjadi. Sedang pandangan Rara yang sedari tadi terfokus pada ujung kiri lobi lantai dasar fakultas, tepatnya pada segerombolan mahasiswa yang berkumpul di kantin jurusan.

"Ra!"

Salah seorang diantara mereka menyadari keberadaan Rara melambaikan tangan pertanda untuk mengajak cewek itu yang masih dalam posisinya berpegangan pada tiang besi. Rara mengerjap, lantas mendengus.

"Kalian bolos?"

Itu adalah pertanyaan pertama sekaligus kalimat pertama yang keluar dari mulut Rara sepagian ini saking terburu dikejar deadline  tugas dari dosennya. Bahkan bu kos yang tumbenan mengajaknya jogging pagi ini Rara abaikan. 

"Iya, bolos berjamaah."

Seorang cewek bersurai coklat yang dikuncir kuda menimpali. Lantas mendapat geplakan dari samping kiri setelahnya.

"Bolos kata lo!" ujar Randra si pelaku. Kemudian menoleh pada Rara. "Jangan percaya, Ra! Bu Erni gak tiba, ya udah kami bawa makan aja kesini mumpung jamkos."

"Emang kata gue 'kan, ya kata siapa lagi?" Yale bersungut kesal, dibalasnya menabok Randra dari samping.

Rara menghela nafasnya yang putus-putus dipadu dengan rasa cemas karna sehabis berlari dan merosot dibangku kantin layaknya sehelai kertas. Ia mendesah dengan tangan menangkup menutupi wajah.

"Sabar, Ra. Pasti gedekin banget ya udah buru-buru kesini taunya dosen seenak bokong gak dateng tanpa kabar." Diena mengelus punggung Rara. "Dosen mah bebas."

Rara menengadah seakan teringat suatu hal. "Terus, tugas kita gak disuruh kumpul? Diletak di meja ruangan bu Erni gitu?"

Semua pasang mata saling tatap melempar pertanyaan Rara. Mereka memang tidak tau perihal itu. Begitu ada kabar bu Erni tidak datang, semuanya langsung bersorak pergi ke kantin tanpa tau kebenarannya.

"Udahlah, Ra. Sekalipun iya kita bisa bilang ke bu Erni dia gak dateng tanpa kabar. Perjanjiannya kan kalo lebih dari lima belas menit dia telat kita diperbolehkan keluar kelas." Sara berkata meyakinkan. Agak susah kiranya bersekongkol dengan orang pintar. "Lagian gitu-gitu bu Erni orangnya baik, kok."

Rara tau-tau bangkit dari kursi sambil merapikan letak tas sandangnya. "Gue ke toilet," kata Rara menjawab tatapan ingin tahu yang lain.

"Ikut, Ra!"

Rara In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang