Ekstra Chapter 1

6K 279 8
                                    

Speechless bukan lagi kata-kata yang cocok untuk menggambarkan bagaimana ekspresi Jessi sekarang.

“Brian, kamu…”

Brian memandang Jessi dengan senyum penuh cintanya.“Bagaimana ?”

“Ini….”

“Love?”

“Luar biasa.” Jessi menangkupkan kedua tangannya ke mulutnya.

“Iya kan?” Brian membusungkan dadanya bangga.

“Kalau begitu, ayo pergi.” Brian menarik tangan Jessi sehingga gadis itu terbirit-birit mengikuti langkah kaki panjang Brian.

Jessi berusaha menormalkan detak jantungnya. Dia tidak tahu lagi apa yang dipersiapkan Brian selain ini.

“Pake mobil? Tempatnya jauh?” Jessi bertanya pada Brian karena menyuruhnya masuk ke dalam mobil.

“Iya.”

Jessi menduga-duga kemana Brian akan membawanya. Namun tidak berani bertanya karena pria itu trelihat serius dengan kemudinya.

“Kita makan dulu ya, aku lapar.” Brian menepikan mobilnya disebuah warung sate pinggir jalan.

“Kamu makan sate kan?” Brian bertanya saat melihat raut muka Jessi yang berkerut bingung.

“Iya, tapi…”

Sebelum Jessi menyelesaikan perkataannya Brian sudah lebih dahulu menggenggam tanggannya memasuki warung tersebut. Jessi bertanya-tanya kenapa Brian membawanya ke sini, bukankah ditempat tadi biasanya disediakan makan malam?

“Aku berdoa semoga Kate juga suka.” Brian mengatakan itu disela-sela dia memasukkan tusukan sate ke dalam mulutnya.

“Apa maksudmu?”

“Mike mau mengungkapkan perasaannya. Dia memintaku menyiapkan kejutan tadi.”

“APA?!!” Jessi berteriak dengan suara lantang sehingga membuat dia menjadi pusat perhatian dengan segera.

“Kenapa sangat terkejut, love?” Brian masih saja melanjutkan makannya.

“Jadi semua yang kamu liatkan ke aku tadi semuanya untuk kejutan Mike buat Kate?” Jessi bertanya tidak percaya.

“Iya. Ada yang kurang, ya?”

“Kamu mau mati?! Ha?! Sudah bosan hidup?!”

“Kamu kenapa sih, wife?” Brian menarik tangan Jessi agar gadis itu kembali duduk. “Malu diliatin orang.”

“Kamu masih gak tau, aku kenapa? Demi kambing yang telah kamu kunyah dagingnya, kamu masih tidak mengerti, Brian?” Jessi mengatur nafasnya yang terpenggal-penggal karena bicaranya yang sangat cepat dan  keras.

“Aku pikir kamu mau melamar aku tadi. Tapi kamu bilang apa?! Kamu menyiapkan itu semua demi Mike?! Oh, my god. Kesialan apa yang menimpaku, sampai aku berpacaran denganmu, Nathaniel Brian Wijaya!!”

“Aku memang ingin melam... Wait? Kamu bilang apa? Kamu mau aku lamar?” Entah apa yang salah dari otak Brian, tetapi sekarang nadanya terdengar senang.

“Tidak jadi. Aku tidak pernah berharap akan dilamar olehmu.”

“Jangan berubah pikiran. Kamu tidak tahukan, aku sudah ingin melamarmu dari lama? Bahkan aku membawa cincin ini kemana-mana.” Brian berkata sambil mengeluarkan kotak kecil dari kantong jasnya.

“Will you marry me, princess.” Brian bertanya lembut kepada Jessi.

“WHAT?!” Jessi terpekik tidak percaya.

“Kamu melamarku disini?! Di warung pinggir jalan? Sementara kamu menyiapkan restoran mahal untuk kejutan Mike?”

“Jangan melihat dimana tempatnya, love. Katanya kamu cinta aku. Tempat bukan ukuran untuk melihat romantis atau tidaknya. Mahal tidak menunjukkan itu selalu berharga.”

“Katakan itu pada wanita lain.”

“Matre kamu.” Brian kembali meletakkan cincinnya ke dalam kantong jasnya.

“Katakan itu pada pria kere.”

“Jangan menghina kaumku.”

“Demi Tuhan, Brian. Aku memang wanita yang suka dengan kemewahan. Tapi bukan berarti aku matre. Aku tidak akan menuntutmu untuk melamarku direstoran mahal dan hiasan mawar serta lilin yang romantis, jika dompetmu dipenuhi sorban dan pedang. Tapi nyatanya, aku punya pacar yang memiliki si merah Soekarno-Hatta berlipat-lipat di dalam dompetnya. Apa lagi seharusnya yang kuharapkan, jika bukan dilamar seperti putri raja?”

Bukannya tersinggung, Brian malah terkekeh riang mendengar kata-kata Jessi. Gadisnya yang tidak berubah. Selalu saja berapi-api kalau berbicara dengannya.

“Aku minta maaf tidak menyiapkan sebuah kejutan untuk melamarmu. Aku minta maaf untuk kekesalanmu karena diriku. Tapi aku janji, aku akan membuatkanmu sebuah pesta pernikahan yang bahkan kamu tidak pernah bayangkan sebelumnya.”

Brian menggenggam tangan Jessi sambil melihat ke dalam mata kekasihnya tersebut.

“So, would you marry me, Jessica Nichole?, karena aku ingin surga anak-anakku berada di telapak kakimu.”

Jessi melupakan kekesalannya, kesungguhan Brian membuatnya menganggukan kepala.

“Say it, love.”

“Yes.”

Brian menyingkirkan kursinya, ia segera berdiri dan menggendong Jessi. Tidak memperdulikan kalau mereka baru saja menjadikan diri mereka sendiri seperti pemain opera sabun murahan.

Me and BrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang