Rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang membangunkan Vanya dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk terbuka. Seluruh badannya terasa kaku dan sakit. Saat mencoba menggerakkan tangannya ia merasakan benda tajam menyentuh kulit terluarnya, membuatnya segera membangkitkan diri dari permukaan datar yang terasa dingin dan kaku itu. Dilihatnya dengan seksama benda yang sedari tadi menusuki kulitnya. Vanya meraih gagang kayu dari benda kecil runcing kecil itu dan meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidurnya. Kepalanya terasa sangat berat, entahlah sudah berapa lama ia tertidur di lantai. Dengan susah paya ia pindahkan tubuhnya ke atas kasurnya yang begitu empuk dan nyaman. Di tatapnya langit-langit kamarnya yang gelap. Kepalanya terasa sangat sakit. Seolah isi otaknya sedang memberontak ingin keluar. Mengingat kejadian tadi membuat air matanya kembali menetes. Vanya berusaha memejamkan matanya dan berusaha kembali ke alam mimpi, tempat dimana tidak ada manusia yang akan mengejek dan membullynya, tidak akan ada masalah keluarga, dan tidak ada orang-orang yang menatapnya dengan tatapan jijik maupun kasihan.
∞∞∞∞∞∞
Bunyi hantaman besi alarm yang sangat melengking membangunkan Vanya dari tidur lelapnya. Diraihnya segera benda bulat yang terbuat dari logam itu dan segera dimatikannya agar diam. Badannya masih terasa sakit karena tertidur cukup lama di lantai semalam. Rasanya ia tidak ingin berangkat kuliah hari ini. Terutama karena matanya yang pasti bengkak karena semalaman menangis. Toh tidak akan ada yang peduli juga Vanya masuk atau tidak. Segera dihempaskannya kembali badannya dan ditutupinya seluruh badan menggunakan bed covernya yang hangat. Saat hendak kembali menutupkan mata, Vanya teringat hari ini akan ada presentasi hasil tugas prakteknya yang akan menentukan kelulusannya dari mata kuliah ini. Segera di tendangnya jauh-jauh bedcover yang nyaman itu dan secepat mungkin bersiap untuk ke kampus.
Vanya tidak butuh waktu lama untuk bersiap. Ia tidak seperti cewek kampus pada umumnya, ia hanya akan mengenakan sepasang kaos dan celana jeans dengan kardigan abu berbahan wol yang entah sudah berapa tahun telah dipakainya. Rambutnya yang lurus dengan panjang sepinggang diurai dan dibiarkan kering dengan sendirinya. Riasan wajahnya hanya bedak dan pelembab bibir. Ya sangat tidak menarik, memang itu hal yang diinginkan Vanya. Vanya sangat benci menarik perhatian banyak orang. Bahkan Ia hanya memiliki satu teman yang telah bersamanya sejak SMP.
Ting !. Vanya segera meraih handphonenya yang berada di atas nakas dan membuka sebuah pesan baru yang masuk.
Jessica
15 menit lagi aku nyampe.
Vanya
Ok.
Vanya meraih tas ransel hitamnya dan memasukkan laptop, buku binder hitam kesukaannya serta perlengkapan tulisnya. Dipakainya kaos kaki dan sepatu kets Nike putih yang mulai terlihat kusam saking seringnya digunakan. Vanya terburu-buru menuruni tangga dan menuju ke dapur, mengambil kotak bekal yang telah disiapkan Bi Yanti. Bibi yang sudah bekerja dan mengabdi kepada orang tua Vanya sejak Vanya berusia 7 tahun.
"Pagi Bi !." Sapa Vanya.
"Pagi Non. Mau sarapan dulu non ?"
"Enggak bi, dikit lagi Jessica nyampe." Jawab Vanya sambil menungkan susu putih kedalam galas kaca.
"Non sehat ?" tanya Bi Yanti sambil membereskan dapur.
"Sehat kok bi." Jawab Vanya setelah meneguk habis satu gelas susu putih hingga tetesan terakhir. "Kenapa bi ?"
"Enggak non. Cuma kelihatan pucat aja."
"Sehat kok bi."
Tin tin.... Bunyi nyaring klakson mobil, memutuskan percakapan Vanya dengan Bi Yanti. Vanya segera berpamitan dan berlari ke luar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Pelangi Tanpa Warna
Teen Fiction"Aku tahu kamu sedih. Aku tidak meminta kamu untuk memiliki hari yang indah atau hari yang baik. Jadi, sebagai gantinya aku mau kamu memiliki satu hari. Hanya satu hari. Tetaplah hidup. Makanlah dengan baik. Pakailah pakaian yang nyaman untukmu dan...