Dompetku Tak Setebal Mukamu

14 0 0
                                    


"Dasar lelaki tak berguna! Dompet tak pernah tebal."

"Dompetku memang tak setebal mukamu! Selingkuh, curhatnya ke aku!"

Pagi-pagi sekali istriku marah-marah. Aku diumpatnya berulang kali. "Asu" kubalas "guk-guk". Tak kuhiraukan perkataannya yang membuat mood selingkuhku hilang hari ini. Kustarter motor dan kubleyer-bleyerkan keras keras. Istriku makin muntab(er). Aku dilempar segala peralatan memasak. Tak peduli kepalaku benjol seketika, makin kukeraskan tarikan gasku. Istriku kemudian menangis. Aku tak peduli, kubleyer terus, lalu kumasukkan gigi satu. Kususuri tembok-tembok rumah, sesekali melintasi tembok, semakin naik ke atas dan motorku nyangkut di plafon. Istriku makin nangis histeris. Meronta-ronta dengan sangat sangarnya, bisa anda bayangkan sendiri. Latahnya kumat, dia salto ke sana ke mari sambil nyanyi "sudahi kerih ini". Salah satu hitsnya D'nasib, karena melihat dasiku nyangkut di fittingan lampu.

Dengan keadaan leherku tercekik, aku ingin nulis puisi romantis untuk yang terakhir kalinya. Kuambil smartphone andalanku. Mulai kutulis larik demi larik. Bait demi bait dan jadilah "toko keran".

Kurang lebih isinya begini;

Toko Keran

Sayang, jika kumati nanti, tolong
Bayarkan kurangnya cicil yang kecil
sepentil. Di toko keran
Aku masih ingat, ketika pertama
Jatuh cinta padamu, aku sadar, hanya ingin melihat
Kutil
(2016)

Lalu, istriku yang kritikus sastra itu mengkritik pedas tulisanku. Katanya, puisiku gak ada nilai estetiknya sama sekali. Hambar, seperti ketidakadanya keharmonisan lagi dalam hubungan kami. Padahal Dia dulu yang pertama mencari masalah. Aku dituduh selingkuh sama tetangga. Padahal aku selingkuh sama adiknya. Bisa terbayangkan sendiri bagaimana rasanya hatiku. Sakit bukan kepalang. Hatiku sakit dan nyeri. Sampai-sampai disarankan minum Oskadon sejam sekali sama dokter spesialis retak hati (iku lo, omahe cedak omahe yuk Ngatemi ngarepe kantor Kades, jarene akeh sing cocok cuk).
Kemudian tetangga berdatangan minta tanda tangan. Rame. Sangat rame sekali sampai-sampai malaikat yang mau mencabut nyawaku grogi dan mundur teratur. Kemudian menurunkanku dan menggeletakkan tubuhku pada keranda mayat yang sudah sengaja disiapkan istriku seminggu yang lalu. Ternyata aku tak jadi mati. Antara senang dan sedih, istriku naik keranda, memelukku sambil berbisik "lihat 'ndasmu".
Aku tidak mengerti maksudnya, tapi kucoba memahami perkataanya dengan bijaksana. Memang, terkadang susah sekali memahami perkataan penyair seperti dia. Kupikir berulangkali dan kuteliti ternyata oh ternyata, di ndasku masih ada kamu. Halah wedus.

***

"Sayang, maafkan aku ya. Aku juga sudah memaafkanmu kok."
Kemudian terdengar riuh suara tetangga menyambut gembira sambil mengangkat dan mengantar keranda yang kami tiduri bersama menuju rumah sakit gila.

Nganjuk, 2016

KontrasWhere stories live. Discover now