Taksi

48 18 41
                                    


Dan...

Ia kembali berlari terbirit-birit meninggalkan rumah kesayangannya dengan larian khas nenek-nenek, untungnya ia sudah tidak berteriak sehingga alunan merdu yang dikeluarkan pita suaranya itu tidak mengganggu bocan dan bokep di desa ini.

"Eh, kasihan itu nenek sihirnya. Ngomong-ngomong pindahan darimana? Koper kecil itu isinya apa? Dan jangan seenaknya pakai LCD Proyektor milikku!" Tanyaku tanpa menghiraukan balasan dari dirinya, oh iya LCD itu milik Swift tetangga sebelahku yang akan masuk ke SMA yang sama denganku.

Pria itu telah menghentikan tawanya dan langsung membereskan segala sesuatu yang dikacaukannya.

"Wajahmu tampan, tapi hatimu seperti siluman yang bisa berganti wujud," kataku pelan supaya tak terdengar oleh dirinya.

"Diriku bukanlah seperti yang kau ucapkan tadi," jawabnya tegas membuat hatiku terlena, tapi aku tidak semurahan itu kalau masalah cowok.

Jadi hantu yang mengejar nenek sihir bukan'lah hantu asli, melainkan gambar di laptopnya yang ditancapkan ke LCD-nya Swift.

"Apa sih maksud kedatangan loh!" Ketusku.

"Aku hanya ingin berkelana dan aku terdampar di Desa Melati ini. Aku mengingat siapa kenalanku di desa ini dan aku hanya mengingatmu. Apakah aku salah singgah di rumahmu tepatnya di kamar pribadimu?"
Tanyanya tanpa perasaan berdosa.

"Gue nggak mau punya urusan sama lo lagi! Sekarang panjat tuh jendela keluar dari kamar pribadi gue, SEKARANG!!!"

Setelah semuanya tertata rapi, "Jika seperti itu, daah..." Koper kecil yang berisi laptop dan barang bawaannya yang tak aku ketahui dibawanya pergi menjauh dari rumah nenek sihir ini.

Jendela itu kini kututup rapat dan tak lupa ku tarik gorden hijau itu sehingga membuat ruangan kamarku gelap karena lampunya belum kunyalakan.

*****

Pria P.O.V.

(Duh kenapa aku memberikan diary kesayanganku itu ke cewek sialan itu? Kenapa aku bisa mengingat rumahnya sih? Kenapa aku bersikap baik padanya?) Gumamnya dalam hati sambil menyusuri jalan yang lumayan besar itu dengan tatapan tak sadarnya karena ia sedang berdebat dengan hatinya.

"Diiit..." Suara klakson mobil itu membuyarkan lamunannya. Ternyata ia sudah sampai di jalan besar yang diterangi berbagai lampu warna-warni.

(Jalan ke rumah apa menghentikan kendaraan yang lewat ya?) Tanyaku dalam hati.

Sebuah mobil yang terdapat tulisan 'taksi' di atasnya itu ku berhentikan.

"Maaf mas udah malam, saya juga baru perjalanan pulang," kata-katanya simple tapi membuat hatiku ingin menggaruk wajahnya.

"Emangnya ada yang bilang TAKSI?" Senyum menakutkanku kini terpasang dan membuat sopir taksi itu takut melihat wajahku.

"Dan jika aku tak kau antarkan pulang ke rumah asalku, aku akan mencekikmu." Alunan suara Mas Kunti kini ku tirukan.

"Eh, jangan mas saya masih perjaka nanti hidupku jadi hampa tanpanya. SiSilakan masuk mas." Katanya sambil gemetar membuat ku cekikikan.

"Mas em mas siapa ya?" Tanyanya sebelum taksi itu berangkat.

"Mas Kunti," ia menelan ludah mungkin perasaannya kini diselimuti bayangan Mbak Kunti.

"Em mas eh Mmas Kunti mau kemana?" tanyanya dengan wajah tak berhadapan.

"Bertemu Mbak Kunti,"

"Emang Mmbak Kunti rumahnya mana?"

"Udah jalan sana nanti kamu juga tahu sendiri."

"Tapi arahnya Mas?"

"Nanti aku pandu."

Kini perlahan ia memajukan taksinya, "Cepat dikit kenapa?" Ia langsung menancap gas. Sekarang ia kebla-blasan dan hampir menabrak seekor tiang listrik,

"Eh tiang tuhhh," jeritanku memecahkan keheningan. Dan saat si sopir mengerem dadakan kira-kira jauhnya 5 meter dari tiang,

"Eh, kenapa ini? Mas kunti kok mobilnya gak mau berhenti ya? Jangan-jangan"

"Remnya jebollll!!!" Teriakku bersamaan dengan si sopir.

Dan akhirnya...

***

Jangan lupe tinggalkan komen yaa...

Kalau suka plisss vote...

🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟🌟

Semua Karena DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang