(tanpa) hak

4 0 0
                                    

"Apa aku tidak boleh tahu apa-apa?" Tanyamu, "sama sekali?"

"Sama sekali," dia membeo. "Kamu tidak perlu tahu di mana aku, sedang apa, dengan siapa," ia menatapmu, anehnya justru ia yang terlihat terhina, "apa yang aku rasakan atau lakukan," ia memastikan, "kamu tidak perlu tahu apa pun."

"Kenapa?" Tanyamu, "apa aneh jika perempuan ingin tahu segala hal tentang lelakinya?" Kamu mengibaskan lengan, menyisirkannya ke sekitar, "semua orang yang berpacaran tahu segalanya tentang pasangan."

"Kamu pengecualian."

Kamu terhenyak, merasa tidak adil diperlakukan. "Kenapa?" Tanyamu lagi.

"Semua keingintahuanmu itu berasal dari kecurigaan," jawabnya kesal, "semuanya bisa jadi penyebab masalah."

"Inilah tepatnya yang jadi masalah," tegasmu. "Semua yang kamu sembunyikan inilah yang membuat kecurigaan makin beralasan."

"Jangan kekanakan," desisnya tidak sabar, "kamu tidak punya izin untuk tahu dan curiga tentang segala sesuatunya," katanya, "aku tidak mengizinkanmu sama sekali."

"Dan kenapa tidak?" Itu kata 'kenapa'mu yang ketiga? Keempat? Kali. Kamu tidak menghitung lagi.

"Kamu mungkin akan cemburu," jawabnya.

"Dan bukankah itu hal yang wajar?" Cecarmu.

"Dan kamu mungkin akan cemburu berkali-kali."

"Yeah?" Kamu menelengkan kepala, hanya untuk memancingnya menatapmu, "apa ada masalah dengan itu?"

"Tidak ada kebanggaan karena dicemburui perempuan sepertimu." Desisnya. Kamu hampir saja menolak percaya ia berkata begitu sampai kamu melihatnya tersenyum. Senyuman jahatnya. Senyuman yang membuatmu paham kalau kamu tidak cocok berada di dekatnya tanpa perlu ia mengatakannya. Senyum yang menyuruhmu menjauh dan diam, menurut saja sambil menundukan pandangan. "Kamu tidak diberikan hak untuk cemburu, Mia," katanya, seperti bicara pada anak yang keterbelakangan mental. Pelan. Penuh pengertian. "Kamu hanya akan merasa lelah dan kalah."

"Ini," katamu, "lagi-lagi tentang rupa." Kamu bahkan tidak repot menyelipkan nada tanya. Kamu sudah tahu jawabnya.

"Semuanya selalu tentang rupa." Ia meyakinkan. "Kamu tahu kamu tidak cukup cantik untuk punya alasan cemburu," katanya, "itulah yang selalu terjadi pada wanita yang biasa-biasa saja."

"Ya," jawabmu, mati rasa. "Sebab sebanyak apa pun aku cemburu, aku pasti tahu kalau mereka lebih cantik dari aku," katamu, "dan mungkin aku akan berakhir dengan kalimat maklum untuk kamu, dan kasihan untuk diri sendiri."

"Tepat sekali," ia menyeringai, "maka semua yang aku sembunyikan ini baik untukmu. Untuk menyimpan tenaga." Katanya, "dan sedikit percaya diri."

"Ya," kamu mengalihkan pandangan, jika memang ada yang tersisa.

DeranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang