Aku terbangun, masih terasa pusing di kepalaku. Kucoba mengerjapkan mataku, berusaha mengumpulkan lagi nyawaku.
Namun, aku merasakan sesuatu. Ini bukan ranjangku. Kuingat kemarin aku terjatuh di rumah bibi, karena... Kau tahu sendiri 'kan?
Ku kelilingi kamar ini, sangat indah. Ranjangnya masih terdesain kuno seperti ini, dan kamarnya sangat luas, bukan seperti kamar-kamar khas perumahan. Ini cenderung kamar seorang bangsawan jaman dulu. Hingga aku baru tersadar bahwa ini adalah kamar seperti apa yang ada di mimpiku.
Apa-apaan ini, ini bukanlah duniaku. Ini hanyalah mimpiku. Tidak mungkin! Kucubit tanganku, terasa sakit. Tandanya aku tak sedang bermimpi sekarang. Hingga seseorang membuka pintu kamar ini, aku terkejut dari lamunanku.
"Hai, Cy! Kau sudah bangun?" ucap seseorang itu.
Aku tak menjawab. Kupandangi wajahnya. Ini seperti foto yang ditunjukkan bibi waktu itu. Siapa ya? Ah! Serafine. Berarti dia nenekku.
"Hey, Cy!" Teriakannya mengagetkanku.
"Oh, ya. A-aku sudah bangun. Nenek," ucapku kikuk.
"Apa-apaan kau memanggil ibumu dengan sebutan nenek?! Memangnya aku setua itu, hah?" Katanya sedikit marah.
Ibuku? Hey, siapa aku? Anaknya Serafine?
"Hey! Cybele!" Teriak Serafine. Menyadarkanku dari lamunanku.
"Hahaha... Tidak, mom. Aku hanya bercanda saja," ucapku. Aku bingung harus berkata apa. Coba saja deh, kalau kau berada di posisiku sekarang.
"Aneh sekali anak itu, tak biasanya dia begini. Lalu apa-apaan dia memanggilku nenek, huh," gumam Serafine. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Aku perlu waktu untuk berpikir sendiri. Jadi, kuusir saja Nenek Serafine dengan halus. "Umm, mom, aku masih lelah, bisakah kau meninggalkanku sendirian? Aku masih ingin tidur," bualku.
"Tentu saja, nak. Turunlah saat jam makan malam," kata Serafine sambil meninggalkanku.
Aku mulai berpikir, ini pasti hanya mimpi. Mentok-mentok mungkin Lucy Dream. Aku mulai mengingat wajahku, seperti apa yang dikatakan : ingatlah wajahmu saat kau mengalami Lucy Dream. Kupejamkan mataku, mulai berkonsentrasi. Gagal. Berarti ini bukanlah Lucy Dream. Ini nyata.
"Kalau mengalami Lucy Dream itu kau pasti sadar, bodoh," gumamku pada diriku sendiri.
Stres, frustasi, bingung. Hanya itu yang dapat kurasakan sekarang. Mana mungkin seseorang pingsan, lalu terbangun bukan ditempatnya kalau bukan dipindahkan? Memang siapa yang memindahkanku ke jaman seperti ini?! Arghh!
"Hey, apakah kau tidak turun untuk makan? Semua orang menunggumu, tahu!" teriak seseorang dibalik pintu kamarku.
"Iya. Aku akan turun sekarang," balasku malas. Aku hanya menggerai bebas rambutku. Aku benar-benar malas sekarang.
Ketika aku membuka pintu, tampak seorang gadis, yang kuyakini itu adalah Bibi Eva. Wajahnya sama persis dengan foto yang ia tunjukkan padaku, usianya mungkin hanya terpaut dua tiga tahun dariku.
Aku dan Eva---dia adikku bukan bibiku sekarang---menuruni anak tangga demi anak tangga menuju ruang makan. Di sana sudah ada Serafine, Arthur, Asha---ah, ibu---dan seorang yang tidak kukenal. Entah siapa itu, masa bodoh.
Baru saja aku akan duduk, aku dihujani berbagai macam pertanyaan yang jawabannya maupun pertanyaannya tidak ada yang kupahami.
"Kenapa kau menggerai rambutmu? Putri bangsawan tidak sepantasnya begitu, nak"
"Ada apa denganmu hari ini? Aku tidak melihatmu seharian tadi."
"Apa kau baik-baik saja? Wajahmu begitu murung."
"Kapan pertunanganmu dengan Oliver dilangsungkan?"
Aku tidak menjawab satupun pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya sekedar senyum saja, mungkin mereka akan diam. Dan aku juga tidak tahu siapa itu 'Oliver'. Aku sungguh tidak mengerti keadaan ini.
Kami makan dengan diam. Tak ada satupun yang bicara. Tiba-tiba Arthur alias ayahku angkat bicara.
"Sabtu depan, keluarga Cassiel diundang ke acara perjamuan keluarga Percival. Dan aku ingin, Cybele dan Conor mewakili aku," ucapnya memerintah.
Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini?
"Kau paham Cy, Conor?" Tanyanya menatapku dan seseorang yang bernama Conor itu bergantian.
Aku hanya menganggukan kepala, begitu pula dengan Conor. Apa lagi yang bisa kulakukan. Jadi, kuikuti saja permainan ini.
Aku menatap Conor, matanya indah. Hijau teduh dan lebar. Rambutnya cokelat tua. Wajahnya cukup tampan menurutku. Namun, badannya sangat kurus. Sepertinya banyak kerjaan. Mengingat dia adalah tangan kanan Arthur.
"Apa kau lihat-lihat saja?" tanyanya menyadarkanku.
Aku hanya memutar bola mataku kesal, tak kujawab pertanyaannya.
Orang-orang kini sudah selesai
makan malam. Akupun beranjak dari tempat dudukku dan pergi lagi ke kamarku, tepatnya kamar Bibi Cybele. Lucu loh rasanya, memanggil namamu sendiri yang sebenarnya bukan dirimu padahal, kau sedang menjadi dirinya yang adalah dirimu. Ribet.Berpikir dan berpikir lagi. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Jika aku di sini, lalu bagaimana dengan duniaku di sana? Aku masih butuh kuliah. Siapa yang menggantikanku di sana? Apakah mungkin Bibi Cybele yang asli ada di sana dan aku ada di sini? Apa kita ini sedang bertukar posisi? Jangan-jangan aku dan Bibi Cybele satu jiwa? Argh, semua ini membuatku tambah pusing saja. Mana mungkin aku terjatuh pingsan di rumahku lalu aku terbangun di ranjang yang bukan rumahku.
Alunan gitar akustik terdengar dari bawah sana. Petikannya menenangkan. Sesaat aku bisa melupakan semua masalah ini. Semakin penasaran, kubuka tirai kamar ini, melongok ke bawah. Tampak Conor yang tadi sedang memainkan gitarnya. Tanpa sadar, aku berjalan turun menghampirinya. Lagipula aku juga butuh teman bicara.
"Hey," sapaku.
Dia hanya tersenyum kecil sambil mengangguk.
"Bolehkah aku duduk di sampingmu, tuan?" sapaku sekali lagi.
Dia hanya mengangguk dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya. "Aku lebih suka dipanggil Conor."
Hening. Tiada satupun dari kami yang membuka pembicaraan. Aku benci ini. Awkward moment. Sesaat kemudian, Conor membuka pembicaraan.
"Apa yang kau amati?" ucapnya. Masih tanpa menatapku.
"Bukan apa-apa..." Jawabku singkat. "Kau sendiri?"
"Permainan waktu," katanya. Ini membuatku bingung saja
"Umm, Conor. Apakah kau percaya keajaiban?" Tanyaku.
"Kau sendiri? Aku bisa membuatmu mempercayainya jika kau tidak percaya"
Masih belum paham, aku bertanya lagi. "Apa maksudmu?"
"Banyak orang yang datang padaku untuk bertanya tentang keajaiban, termasuk dirimu juga ayahmu. Itulah sebabnya beliau mempercayaiku sebagai tangan kanannya," ucapnya.
"Kau percaya bahwa orang bisa datang dari masa depan?" tanyaku.
"Percaya."
"Menurutmu apa tujuannya?"
"Memperbaiki kesalahan, mungkin. Lebih tepatnya untuk memperoleh kesempatan kedua," ucapnya.
***
Tbc.Part ini terinspirasi THW nya BYBcool.
Sorry for typo ;)
Leave vomments please :")
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
ФэнтезиHampir setiap hari aku memimpikan semua itu. Semua terasa nyata. Dan, tak ada yang bisa menjelaskannya. Jika kau membaca kisahku ini, berjanjilah bahwa kau akan menyimaknya sampai habis. Harus! Copyright ©RangerKuneng 2017