"Siapa pelakunya?"
"Hey, mengapa kau tanyakan padaku? Memangnya aku tahu?"
"Santai sajalah, aku hanya bertanya bukan,"
"Tapi nada bicara-"
BRAK!
"Aku tahu siapa pelakunya! Dia adalah orang kita sendiri,"
***
Matahari mulai memunculkan dirinya, cahayanya merambat memasuki ruanganku. Mulai kudapatkan lagi kesadaranku, terbangun dari istirahat sejenakku.
Aku teringat bibi, tak biasanya jam segini bibi belum bangun atau meneriakiku dari bawah untuk mengambil sarapan dan pergi ke kampus.
Segera saja aku bangun, menyiapkan sarapanku sendiri dan berangkat kuliah. Kulihat bibi masih tertidur pulas, jadi kutinggalkan saja, mungkin dia perlu istirahat.
Sesampai di kampus, aku merasa ada yang aneh. Apakah sesuatu telah terjadi? Sesaat aku melirik ke handphoneku sebentar, betapa terkejutnya diriku, ketika melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dari Bibi Hannah, teman dan tetangga bibi. Segera saja aku pulang dan mendapati rumahku penuh dengan orang-orang.
"Sesuatu telah terjadi pada bibi," gumamku. "Tidak, tidak! Aku tak boleh berpikiran negatif," ucapku sambil mengacak mengacak-ngacak rambutku frustasi.
Kulangkahkan kakiku memasuki rumah. Terdengar isak tangis dari dalam sana. Kulihat Bibi Hannah, matanya bengkak khas orang baru menangis, hidungnya juga kemerahan. Ia menatapku dengan tatapan melasnya.
"Bi, ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di sini? Dan mengapa kau menangis?" Tanyaku pada Bibi Hannah yang masih di depan pintu rumahku.
Bibi tidak menjawabku, ia terus-menerusmenangis sambil menatapku.
"Jangan diam saja, bi! Jawab aku, ada apa ini?" Tanyaku semakin frustasi. Pikiranku berkecamuk. Dengan kasar, aku melangkah masuk ke dalam rumah, kulihat pemandangan tragis di depan mataku. Seorang pastor berdiri di depan sebua peti mati yang tak lain adalah peti mati bibiku, satu-satunya keluargaku yang kumiliki dan yang selalu menemaniku.
Aku menangis sejadi-jadinya, tidak rela bibi meninggalkanku. Sementara Bibi Hannah menenangkanku, menepuk-nepuk bahuku, berusaha membuatku rela melapas bibiku.
"Sudahlah, Cy. Jangan menangisi bibimu lagi, apa kau mau bibimu di atas sana melihat bahwa kau sedang menangisinya? Pasti bibimu ingin kau melanjutkan hidupmu. Oh ya, aku menemukan ini di bawah bantal bibimu," ucap Bibi Hannah menenangkanku, sambil memberikan secarik kertas padaku.
"Lanjutkan hidupmu, Cy. Ada tugas yang harus kau selesaikan. Selamatkan hidupmu dan keluargamu"
Dengan masih terisak, aku mengambil kertas itu dan membacanya. Meresapi setiap kata dan tulisan bibi. Ada satu hal yang aneh, keluargaku? Memangnya siapa yang kupunya selain dirinya?
"Mulai sekarang kau bisa tinggal denganku. Lagi pula aku hanya hidup dengan anak laki-lakiku saja di rumah. Aku yang akan menghidupimu sebisaku," ucap Bibi Hannah padaku.
Aku tak menjawab, hanya mengangguk-angguk saja. Anggukannku tak berarti aku setuju, namun aku tak tahu harus berkata apa, bersikap bagaimana, atau berbuat seperti apa. Siapa juga yang mau tinggal bersama pria mesum anak Bibi Hannah.
***
Misa kematian bibiku telah usai. Saatnya menidurkannya dibawah batu nisan. Tangisanku sudah berhenti, bukannya aku tidak sedih lagi, tetapi karena mataku sudah tidak mau mengeluarkan airnya lagi.
Kami berjalan menuju pemakaman. Bibi dimakamkan di pemakaman umum komplek perumahan kami.
Pastor menjalankan tugasnya di pemakaman. Memimpin misa pemakaman bibiku. Teman-temanku datang, memberi ucapan belasungkawa padaku, walaupun beberapa terlihat cari muka supaya dilihat oleh orang-orang. Masa bodoh dengan mereka, pemakaman bibiku lebih penting.
Orang-orang kini telah pergi meninggalkan makam bibi. Aku sendirian di sini sekarang. Namun rasanya seperti ada yang memperhatikanku. Kulihat kanan dan kiriku, tak ada orang. Kulihat kebelakangku, seseorang memperhatikanku. Orang yang sama dengan yang kulihat pada hari pertama kuliahku. Pria tua itu. Tatapannya seperti orang yang lama tak bertemu, memancarkan cinta dan kerinduan. Selang beberapa lama, pria tua itu memutuskan kontak matanya denganku dan pergi meninggalkanku. Aneh sekali, pikirku.
Tak baik berlama-lama disini, aku beranjak dari tempatku untuk pulang ke rumah. Aku mulai merelakan bibi. Kini semangat ada lagi dalam diriku. YOLO! Hidupmu hanya sekali bukan? Tak akan ada kesempatan kedua. Itu teoriku.
Kuputuskan hari ini untuk membereskan rumah. Setelah orang-orang tadi datang melayat bibi, rumahku jadi semakin kotor saja. Rumahku? Tentu saja, sekarang aku hanya tinggal sendiri 'kan.
Rasa lelah melandaku. Lekah bercampur aduk dengan kesedihan, bayangkan saja rasanya. Tiba-tiba kembali teringat memori tentang bibi. Semangatku yang tadi kini luntur kembali. Kepalaku mendadak pusing. Rasanya seperti dipukuli saja. Hingga yang kurasakan hanyalah GELAP.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
FantasiHampir setiap hari aku memimpikan semua itu. Semua terasa nyata. Dan, tak ada yang bisa menjelaskannya. Jika kau membaca kisahku ini, berjanjilah bahwa kau akan menyimaknya sampai habis. Harus! Copyright ©RangerKuneng 2017