Sang Pemburu Bintang

100 8 2
                                    

Thursday, June 19th 2014
Juanda International Airport

​Senangnya bisa kembali kesini. Ke tanah air tercinta yang sudah belasan tahun kutinggalkan. Bandara ini berubah jauh sekali daripada terakhir kali kukunjungi sebelas tahun lalu, saat masih terbaring lemah di ranjang putih.

"Welcome to Indonesia," sambut seorang pramugari di pintu masuk bandara.
Begitu selesai mengambil koper, aku mencari-cari seseorang yang membawa tulisan namaku di tengah hiruk pikuk pintu kedatangan Internasional.

"Miss Vega Denebola?" kata seseorang di belakangku. Sontak aku menoleh dan mendapati seorang pria berseragam agen tur menggenggam selembar kertas bertuliskan namaku.

"Iya... Saya Vega Denebola, apa anda pihak travel?"

Pria itu agak terkejut mendapati aku berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Namun ia tidak berkata apa-apa. Ia lantas mengantarkanku ke hotel yang kutuju di Surabaya.

Hanya demi Crux.
---
Thursday, December 19th 2002
Surabaya, Indonesia

​"Hei! Lihat langit tidak berawan!" Lyra menunjuk ke langit bertabur bintang. Berbaring di sebelahnya, Altair sedang mengorek-ngorek hidungnya. "Ih, jorok..." ujarnya.

​"Apa?" katanya sembari membuang 'barang-tambang'-nya ke samping. Altair menghadap ke langit, "hei! Crux! Dia muncul lagi!" Ekspresinya berubah menjadi berbinar-binar. Di sebelahnya, Lyra memberi tatapan meledek, "bukan Crux! Lihat ada Orion!"

​"Apa istimewanya Orion? Lihat aku punya konstelasiku sendiri." Lyra menoleh pada temannya yang sedang terbaring sambil menunjuk langit.

​Bocah-bocah itu larut dalam kesenangannya dalam mengamati angkasa. Bahkan para penghuni langit tersenyum dari atas sana. Termasuk Crux yang bakal dirindukan oleh Lyra dari belahan bumi utara.
---
Friday, June 20th 2014; 11.45 pm.
Bromo Tengger National Park

​Aku memarkirkan motorku di pinggir jalan kemudian menanjak ke lahan terbuka bersama kamera di dalam tas tentengku saat kaki gadis di depanku terantuk batu. Refleks, aku menangkapnya sebelum ia tersungkur.

​"Hati-hati, nona..." ujarku.

Gadis itu menoleh, wajahnya sangat familiar, "terimakasih," katanya lantas berdiri.

​"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Ia memiringkan kepalanya, berpikir. "Lebih baik kita kesana, disini banyak yang lewat," ajakku sembari berjalan menuju lahan terbuka.

​"Mungkin kau salah lihat," lanjutnya setelah menyingkir dari jalan. "Perkenalkan, aku Vega," ia memberikan tangannya. Nama itu juga terdengar tidak asing di telingaku.
​Aku menjabat tangannya, "Omong-omong, nama dan wajahmu sepertinya tidak asing bagiku,"

​Ia menggeleng, "rumahku di San Fransisco dan aku mahasiswi arsitektur UCSF. Kau tidak pernah bertemu denganku, aku baru saja tiba di Indonesia kemarin." Vega mendongak ke atas, memandang keindahan Milky Way, "Crux!" ujarnya antusias.

​Aku menoleh padanya, mengamati tiap inci wajahnya. Mata itu, berbinar indah melihat bintang. Mata itu, bersinar tulus hanya untuk langit malam. Mata itu, berkaca-kaca bahagia menatap keindahan semesta. Mata itu, manik kembar yang membuatku jatuh cinta.

​Vega? Crux? "Vega Lyra Denebola?" ucapku tanpa mengontrol mulutku.

​"Aku yakin aku tidak menyebut nama lengkapku," ia menoleh. Jadi benar, gadis cantik ini teman masa kecilku, cinta pertamaku.

​"Kau tidak ingat aku, Lyra? Ini aku, Altair." Aku menengok arlojiku, sudah berganti hari, "oh iya, Happy Birthday,"

​"Altair?!" ia menghambur memelukku. "Lama tak jumpa, bagaimana kau disini? Belasan tahun aku pergi, ya? Tak disangka kita dipertemukan lagi dibawah Via Lactea,"

Constellation Hunter [SHORT STORY VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang