1

495 74 10
                                    

Eren bukanlah tipe anak kutu buku. Jika diberi pilihan buku atau burger keju, sudah jelas mana yang akan dia pilih. Oke. Perumpamaannya terlalu domplang. Jika Eren diberi pilihan; buku atau belanja baju, sudah jelas Eren akan memilih buku karena belanja bersama Ibu dan Mikasa betul-betul menguras tenaga.

Namun suatu hari, disaat Eren diajak (baca: diseret paksa) Armin untuk menemaninya ke toko buku langganan, manik hijau zamrud itu berbinar menatapi satu-satunya buku di rak best seller. Bukan buku novel roman picisan. Bukan pula komik aksi. Melainkan sebuah biografi bertema fiksi. Seingat Eren, biografi termasuk kedalam kelas non-fiksi, namun buku ini sendirian menentang hukum alam.

Buku berjudul ‚L E V I' dengan kover hitam-putih ilustrasi lelaki tampan tengah berkutat pada pena dan jurnalnya menarik perhatian. Buku itu diambil, tanpa basa-basi digiring ke kasir. Armin yang melihat kawannya membeli sebuah buku tersenyum bangga.

Diperjalanan, Armin kepo. Ia berceletuk, "Buku apa yang kau beli, Eren?"

Eren menatapnya sekilas, kemudian kembali lurus kedepan. "Ada deh,"

Armin menyikut pelan sang kawan.

Mengaduh, Eren tekekeh. "Iya-iya. Buku berjudul ‚L E V I' apa kau pernah membacanya?"

"AH! Itukan karya terbaru sir Erwin! Buku itu sold out dimana-mana! Bahkan di online shop! Aku mencari-cari buku itu keliling toko! Kok kau bisa dapat?"

"Err... sebegitu laku-kah buku ini? Memangnya bagus, ya?" alis tebal Eren bertaut.

"Review orang-orang, sih, mengatakan buku ini karya terbaik sir Erwin. Namun menurutku, semua karya sir Erwin adalah yang terbaik!" Armin mengacungkan jempolnya.

Mendengar komentar kawannya yang begitu antusias, Eren jadi tidak sabar sampai rumah untuk mulai membaca halaman pertama.

"Uh, Armin, bisa kau jelaskan lagi siapa itu sir Erwin?"

Si rambut pirang menghela nafas panjang—pasrah—dan mulai bercerita dari awal.

.

.

.

.

.

.

Selembar. Dua lembar. Tiga lembar. Menjadi setengah buku, dan akhirnya tertuju pada penghujung buku. Eren tidak bisa berkutik. Jemarinya terus membalik halaman dari depan sampai belakang. Eren hatam lima kali dalam waktu sehari. Daya ingatnya juga bertambah. Jika kau tanya dihalaman berapa Levi kehilangan hasrat menulisnya, Eren bersedia menjawab kurang dari dua detik.

Didalam buku terdapat beberapa ilustrasi tiga dimensi. Eren tak berkedip tiap melihat gambar tersebut. Dada Eren berdegup tak wajar.

Apa mungkin... Eren jatuh cinta pada seorang karakter fiksi?

Jika kau menuduhnya seperti itu, sikap in denial-nya akan keluar dan cepat-cepat menjawab, "Ini hanya rasa kagum! Mana mungkin jatuh cinta! Meski memang pendalaman karakternya terasa amat nyata, tak berarti aku jatuh cinta! Tidak!"

Semenjak hari itu, kemanapun Eren berada buku L E V I selalu hadir dalam dekapannya—atau tasnya.

.

.

.

.

.

.

Rivaille adalah satu dari jutaan orang yang menyukai bahasa. Namun ia tak bisa merangkai kata, apalagi menjabarkan perasaannya. Ia tipe orang yang lebih ke tindakan dibanding verbal. Plot twist yang amat terasa. Namun isu tersebut tidak membuat semangat menulisnya surut.

L E V ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang