2

327 70 32
                                    

"Minggir, Bocah."

"Tidak mau."

"Aku tidak akan mengulang dua kali."

.

.

.

.

.

.

Merasa diancam, Eren naik pitam.

"Siapa cepat dia dapat. Begitu hukumnya disini, Tuan berambut klimis." Ucap Eren sarkas. Sedikit terkesima dengan penampilan om-om cebol ini. Dan tentu saja Eren tidak mau mengakuinya.

Alis Rivaille naik sebelah—lagi. Mendecih sebal karena harus buang-buang energi membacoti bocah tidak tahu diri. Kakinya mengetuk-ketuk lantai kayu beralas karpet dibawahnya sambil terus memelototi si bocah—harap-harap yang dipelototi merasa tidak nyaman dan segera enyah dari kursi favoritnya. Alih-alih angkat bokong, Eren asyik terjun kedalam novel yang tengah dibacanya.

Derit kursi tipis mengudara, Rivaille penyebabnya. Ia menarik kursi didepan Eren dan duduk disana. Karyawan yang sedari tadi menyaksikan drama telenovela Rivaille-Eren dibuat terkesiap dengan perlakuan Rivaille yang sangat amat diluar logika.

Rivaille dikenal memiliki aura mencekam saat tidak maupun sedang bersantai. Siapapun jadi enggan mendekatinya dalam radius sedikit-dikitnya 5 meter. Terlebih, ia sangat amat tidak suka berbagi kursi dengan orang lain—apalagi orang yang tidak dikenal dan tidak punya sopan santun seperti bocah didepannya. Namun entah mengapa Rivaille malah rela berbagi udara dengan Eren yang bau matahari. Apakah karena egonya mengatakan untuk tidak boleh kalah? Ataukah ia sedikit tertarik dengan bocah ini? Tiada yang tahu.

Dehaman lumayan keras dilakukan RIvaille tidak nyaman. Antara pertanda memanggil pelayan untuk segera menghidangkan tehnya atau untuk membuat bocah didepannya sadar bahwa tuan yang ia sebut berambut klimis ini sedang duduk didepannya, bersedekap.

Semenit, dua menit memperhatikan bocah dihadapannya. Sesekali secercah cahaya dari jendela memantulkan sinarnya di manik hijau bocah ini. Rivaille dibuat tak berkutik saat melihatnya. Indah. Susah dideskripsikan dengan kata-kata. Seakan hanya bisa dirasakan saat kau melihatnya langsung. Membuat gairah memuncak. Membuat tangannya gatal untuk menorehkan tinta diatas kertas jurnalnya.

Merasakan sesuatu yang anomali dalam dirinya, RIvaille kembali berdeham. Mau tak mau Eren terusik.

Jujur, sedari tadi Eren dapat melihat dari ujung matanya kalau om-om cebol didepannya ini memberi isyarat untuk mengusirnya, namun ia memilih untuk acuh karena ia merasa bahwa ini adalah tempat miliknya. Tempat yang sudah ia klaim terlebih dahulu.

Beberapa detik kemudian seorang pelayan datang membawa nampan yang berisikan teh hitam milik Rivaille.

Baru saja ingin menggapai kuping cangkir, tangan agak kecoklatan—akibat keseringan main dilapangan belakang rumah—langsung menyosor minuman yang notabene bukan miliknya.

"Heh, Bocah." Geram Rivaille menahan amarah yang sudah diujung kemaluan—maksudnya tanduk. "Itu bukan milikmu."

Meletakkan cangkir, buku ia tutup.

Menantang, "Kata siapa? Aku memesan minuman ini, tahu?!"

"Oh ya? Jadi bocah-bocah seumuranmu sekarang menyukai teh hitam yang sering diminum ayah dan kakeknya saat bercengkrama?"

Eren mengecap sisa-sisa rasa yang tertinggal dalam mulutnya. Benar juga, agak pahit. Apakah ini benar minuman paling murah? Tentu saja, pahit begini mana mungkin harganya mahal, batin Eren.

L E V ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang