Sedan Chevrolet merah itu berhenti di ujung jalan saat mereka menarikku masuk ke dalam semak belukar. Beberapa orang dari mereka memegangi kedua tangan dan kakiku hingga aku terkulai jatuh ke tanah. Tubuhku menggelepar berusaha memberontak atas perlakuan mereka. Salah seorang di antara mereka lalu memegang seekor ular, membuat darah dalam tubuhku mendidih bergejolak. Rasa takut menyergap jiwaku.
"Ayo masukkan ular itu ke dalam celananya!" teriak salah seorang anak yang memegangi sebelah tanganku. Sedangkan anak di sebelah lainnya berusaha menarik bagian pinggang celana hawai yang kupakai.
Kupejamkan mata karena tidak ingin melihat ular itu semakin dekat padaku. Tubuhku kejang-kejang mengeluarkan keringat dingin. Meski aku berteriak meronta-ronta, memohon agar mereka bersedia melepaskanku, tak seorang pun di antara mereka yang mau mendengarku. Seakan mulut ini terbungkam dan diredam hingga tidak mengeluarkan suara. Aku hanya bisa menangis pasrah. Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga mereka memperlakukanku seperti ini. Anak berbadan besar itu berhasil memasukkan makhluk berwarna hijau yang dipegangnya ke bagian dalam bajuku, bukan celana seperti yang diperintahkan oleh anak di sebelahku. Aku menjerit histeris hingga nyaris pingsan. Sesaat aku merasa sangat geli dan dingin. Tubuhku menggelinjang karena takut ular itu akan mematukku. Mereka menertawakanku seperti sedang menyaksikan atraksi badut lucu.
Sampai akhirnya mata salah seorang di antara mereka terbelalak. Bahu anak itu berguncang. Tangannya menepuk-nepuk pundak salah seorang teman yang berada di dekatnya. Sambil menunjuk ke arahku, anak itu berteriak. "U... ular!" anak itu lalu berlari disusul oleh gerombolannya yang juga ketakutan seperti dirinya. Aku bangkit duduk dan berusaha mengeluarkan ular yang tadi dimasukkan ke balik bajuku. Aku merinding begitu ular itu berhasil kukeluarkan.
Begitu bodohnya aku dipermainkan oleh mereka. Ular yang mereka berikan padaku ternyata hanya sebuah mainan ular karet. Sejenak aku merasa lega dan segera merapikan pakaianku yang kotor. Tetapi melihat mereka berlari terbirit-birit hanya karena ular ini, aku menjadi bingung sendiri. Ada apa dengan mereka sebenarnya? Kalau saja tanganku tidak menyentuh permukaan licin itu, aku tidak akan menyadari kalau ular sesungguhnya baru saja kupegang. Ia meliuk-liuk di rerumputan persis di belakangku. Panjangnya kira-kira mencapai dua meter dengan diameter lima senti. Sontak aku langsung terkejut dan secara refleks bangkit dari dudukku untuk segera berlari menghindar. Aku keluar dari semak-semak menuju jalan tanpa sempat menoleh kalau di depanku sedan Chevrolet merah yang tadi berhenti di ujung jalan tengah melaju ke arah tempatku berada.
DUKK! Bamper mobil itu berhasil menyeruduk pantatku hingga aku terdorong jatuh ke depan. Lututku berdarah setelah berbenturan dengan aspal membuatku meringis menahan sakit. Seseorang turun keluar dari mobil dan segera menghampiriku. "Ya ampun! Maafkan saya, Dek!"
Aku terkesima melihat paras pemuda itu. Penampilannya sangat memukau seperti seorang bintang televisi. Tanpa kupinta, tiba-tiba saja tangannya sudah menggendongku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya yang bercat merah berkilap. "Saya akan membawamu ke rumah sakit, kalau-kalau kamu mengalami luka dalam!" ujarnya tanpa memedulikan reaksiku.
Aku mencengkeram lengannya yang mulai menyetir. Kugelengkan kepalaku seraya menatapnya memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Laki-laki itu membalas tatapanku ragu. Ia terlihat sangat mengkhawatirkan keadaanku. Diserahkannya beberapa helai tisu dari dalam dashboard untuk mengelap darah yang mengalir di lututku. Sungguh aku lebih takut dibawa ke rumah sakit daripada melihat ular. Aku tidak ingin dokter menyuntik bagian tubuhku atau menjahit luka bila ternyata diketahui lututku sobek akibat terjatuh tadi. Apa lagi kalau sampai aku mengetahui bahwa ada bagian tubuhku yang harus diamputasi. Hii bayangan-bayangan itu membuatku bergidik sendiri.
Laki-laki itu masih menatapku. Sama sekali tak kusadari tanganku masih menahan lengannya yang akan menyetir. Segera kubuka pintu mobil untuk turun keluar. Melihatku bergerak, ia berusaha mencegah dan kembali menyuruhku masuk ke dalam.
"Kamu tinggal di panti ini?" tanyanya kemudian dan kubalas dengan sebuah anggukan kecil. "Biar saya antar ke dalam, siapa tahu ibu pengasuh bisa segera mengobati lukamu." Aku hanya diam tak memberikan reaksi apa-apa. Tapi laki-laki itu gencar menanyaiku seperti seorang paparazi yang sedang mengulik berita selebriti. "Oya, nama kamu siapa?"
Aku menunduk sama sekali tidak tertarik untuk menjawab semua pertanyaan yang dilontarkannya. Aku baru dimasukkan ke panti asuhan sekitar tiga hari yang lalu. Hingga saat ini aku masih belum memiliki seorang teman. Tak ada satu orang pun yang mau berteman dengan anak sepertiku. Tidak ada yang mau menerima keadaanku. Meski aku bertanya kepada diriku sendiri, apa yang salah dengan diriku terlahir dalam keadaan seperti ini? Tidakkah aku dan semua makhluk yang berada di atas bumi ini merupakan ciptaan tuhan? Adilkah bila aku diperlakukan semena-mena oleh semua orang? Sadarkah mereka bahwa mereka juga makhluk-Nya yang seharusnya tidak saling mendiskriminasikan satu sama lain?
Sembilan tahun silam aku terlahir dengan nama Markoni. Kata orang aku ini seperti perempuan, baik dari penampilan maupun tingkah laku. Ya, aku mempunyai dagu yang lancip dan bulu mata yang lentik, begitu pula jari-jari tanganku. Suaraku yang lembut dan gerak-gerikku yang lemah gemulai. Semua sangat sarat perempuan. Hal inilah yang membuat ayahku menjadi benci padaku, menganggapku sebagai aib keluarga. Bahkan ayah tidak ragu-ragu menuding ibuku kalau aku ini adalah anak hasil perselingkuhan ibu dengan lelaki lain. Lalu ayah menceraikan ibuku, dan menelantarkan kami. Sampai akhirnya aku dititipkan oleh ibuku pada sebuah panti asuhan di mana aku harus tinggal sekarang karena ibuku harus berangkat bekerja menjadi TKW ke Arab Saudi, untuk menghidupi aku putra tunggalnya.
"Dek, kamu kok nangis?" laki-laki itu masih terus mengamatiku. "Nama saya Dony. Kamu boleh panggil saya Mas, Kakak, atau Abang. Asalkan jangan panggil saya Om! Saya belum setua itu kan?" senyumannya begitu menawan. Ia merangkulku begitu saja seraya menyeka air mata di kedua belah pipiku. Ah, entah mengapa ada kedamaian yang kutemukan di sana saat kepalaku berlabuh di dadanya yang bidang. Tuhan, apakah Engkau sedang mengirimkan seorang malaikat pelindung untukku?
Sejak saat itu aku mengenal seorang malaikat yang sangat baik hati kepadaku meski kami tidak dipertemukan setiap hari oleh tuhan. Sedikitnya satu kali dalam sebulan Mas Dony datang ke panti untuk memberikan sumbangan rutin. Aku tidak tahu bagaimana awal mulanya sehingga Mas Dony memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para pengurus panti. Yang kutahu hanyalah Mas Dony adalah satu-satunya orang yang sangat baik kepadaku dan senantiasa melindungiku sebelum aku mengenal seorang anak lain yang selalu diperhatikan oleh Mas Dony.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan Markonah
General FictionMarkoni ditinggalkan ibunya di panti asuhan ketika umurnya sembilan tahun. Ayahnya menganggap dia sebagai aib keluarga, anak dari hasil perselingkuhan sang ibu dengan pria lain. Di panti ia mendapat perlakuan kasar. Anak bernama Fauzan bersama genkn...