Urrgh, ingin rasanya aku melarikan diri dari sini. Terbebas dari belenggu penjajahan para lelaki berparas boyband. Sebenarnya aku suka menatap wajah mereka yang good looking, enak dilihat. Tapi perasaan suka yang kumiliki untuk mereka harus kupupus semenjak mereka menunjukkan sikap yang kurang menyenangkan di awal pertemuan.
Kali ini adalah pelajaran mengangkat barbel. Harun keterlaluan, ia memberiku barbel seberat 50 kg yang memiliki selisih 15 kg dengan berat badanku. Napasku ngos-ngosan karena tidak sanggup mengangkat beban.
Kamu pikir kami ini sedang menyiksamu, hah! Seharusnya kamu berterima kasih kepada kami karena kami mau melatihmu menjadi lelaki sejati! Bila tidak, kamu akan tetap menjadi bencong selamanya! perkataan Yuan membuatku tertegun.
Ia benar, aku harus berubah. Aku harus menjadi lelaki sejati! Dengan demikian aku pasti bisa membalaskan dendamku pada ayahku. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, aku berusaha mengumpulkan kekuatan agar aku mampu mengangkat piringan besi berat ini.
Satu Dua Ti. aku memasang kuda-kuda agar tubuhku kuat menopangnya.
Akhirnya aku berhasil mengangkat barbel tersebut tepat di atas tubuhku. Tapi..
Aaa.. secepat kilat kakiku melangkah mundur, kedua tanganku refleks menutupi kepalaku. Tiba-tiba saja tanganku tadi merasa kram dan besi barbel yang kupegang terlepas dari
pegangan. Sontak aku menghindar.
BLUGH!
Besi barbel pun terjatuh ke tanah. Amir dan Fredy tertawa terpingkal-pingkal. Mr. Cool Guy yang sedari tadi hanya bisa melihat aksi para anak buahnya memploncoku mulai mengeluarkan suara.
Pasti tadi tuh kepikiran terus sama Mas Dony, makanya barbel terjatuh! Lain kali hati-hati bo! Yang you angkat tuh bukan pistolnya Mas Dony! cibir Mr. Cool Guy dengan gaya lebay.
Aku menoleh ke arahnya, namun Mr.Cool Guy memalingkan muka.
Huh! desisnya pelan.
***
Malam ini aku masih menjalani pelatihan keras dari ketujuh lelaki binal. Aku harus berjalan tegak dengan punggung lurus dan pandangan simetris, tepat di atas kepalaku sengaja diletakkan sebuah buku tebal 10 cm, dan aku harus menjaganya agar jangan sampai buku itu terjatuh. Sementara kedua tanganku tidak boleh sampai melambai seperti yang biasa sering kulakukan. Sebisa mungkin kedua tanganku terayun harmonis dengan langkah kedua kakiku.
Heh, Markodiaah, lu itu bisa jalan kagak sih? Bentak Herman, lelaki yang tidak pernah mencaci-makiku selama dua sesi terakhir. Baru kali ini aku mendengar suaranya yang terdengar sangat berat.
Lu jalan persis bebek mau bertelur! Sini lu! Herman menggamit lenganku. Diinjaknya kakiku dengan sepatu kulit kesayangannya.
Ya Tuhan, semoga semua ini cepat berakhir! Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini.
***
Sudah lebih dari setengah tahun Mas Dony dan Ridho meninggalkan rumah. Kutandai kalender di kamarku. Ini adalah minggu ke-27 mereka pergi meninggalkan rumah. Terkadang Mas Dony atau Ridho menghubungiku via telepon sekadar memberi kabar seperlunya. Betapa aku sangat merindukan kehadiran mereka. Juga Hendra yang sedang dijemput oleh Ridho. Bagaimanakah keadaannya kini, membuatku penuh tanya dalam benakku. Apakah mereka semua baik-baik saja selama ini? Mengapa mereka pergi begitu lama?
Aku duduk di tepi ranjang menyulut sebatang rokok, sesuatu yang sebetulnya sangat tidak kusukai. Di balik punggungku terbaring seorang wanita terbalut selimut tanpa mengenakan busana sehelai pun. Ini adalah kali kedua aku tidur melayani lawan jenis. Awalnya terasa aneh dan grogi. Bahkan hingga saat ini pun aku masih belum terbiasa melakukan hal ini. Kupandangi wajahku dalam cermin. Mana wajah cantikku yang dulu sering menggetarkan hati pria?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan Markonah
General FictionMarkoni ditinggalkan ibunya di panti asuhan ketika umurnya sembilan tahun. Ayahnya menganggap dia sebagai aib keluarga, anak dari hasil perselingkuhan sang ibu dengan pria lain. Di panti ia mendapat perlakuan kasar. Anak bernama Fauzan bersama genkn...