POV Aris Gunawan
•••
Aku sudah menunggunya di gerbang gedung. Katanya gadis itu akan datang sebentar lagi. Sejak tadi menghubungi untuk menunggu. Bersabar menunggu daripada ia tidak berangkat ke acara ini. Padahal kalau perlu dipikirkan, gadis itu tidak datang aku sama sekali tidak memedulikannya. Hadir atau tidak ia pasti sudah menyusahkan. Belum ketemu saja sudah mencercoki berbagai pesan. Bahkan menghubungiku lewat email, seperti orang penting saja. Entah karena apa, bujukannya membuat tak tega meninggalkannya. Mungkin malam ini akan menjadi hari tersial dalam hidupku. Ia akan mengekoriku kapanpun berada. Tapi setidaknya lebih terlihat normal ada dirinya di sisiku, daripada banyak mata memandangku sebagai lelaki menyedihkan belum juga membawa pasangan.Kalau dipikir lebih baik, di sini pertemuan rekan-rekan sekolah dulu. Mungkin terlalu berlebihan, tapi ya namanya sudah kesepakatan. Ikut tidak ikut kalau punya waktu tetap ikut. Selain mengurangi malam-malam yang suntuk, aku bisa menggaet beberapa gadis manis yang tentunya terlihat baik-baik saja.
Dulu, gadis yang sedang kutunggu ini tak berhenti mengejarku. Tindakannya bodoh, ceroboh. Selama tiga tahun di SMA, dua tahunku penuh diisi olehnya. Ia yang cepat mengetahui apapun yang kulakukan. Atau dirinya selalu ikut apapun yang tak pernah kuinginkan dia di sampingku. Sungguh muram masa itu. Bukan tidak baik dianya, hanya saja sikap slengeannya membuatku jengah. Tidak bisa diam, apalagi bergerak seperti gadis lainnya. Jangan tanya! Ia bersikap anggun pun tak bisa.
"Aris! Sudah menunggu lama ya?"
Telingaku menangkap suaranya. Suara bertahun tak kudengar kemana arahnya menghilang. Terasa jelas tangannya menyentuh lenganku. Aku bergegas menoleh, lalu membulatkan mata menatap gadis yang sudah kutunggu hampir setengah jam itu sedang menatapku dengan senyum tanpa dosa.
"Aku tahu kamu sudah hampir setengah jam menungguku. Maaf ya, kita hampir telat kan? Tadi sebenarnya sibuk menunggu jemputan teman, tapi mendadak terlambat gara-gara ponselku ketinggalan di rumah dan harus kuambil lagi,"cerocosnya santai.
Kutelusuri wajahnya saksama? Gadis ini gila? Wajahnya tak memperlihatkan rasa bersalahnya. Justru malam ini kalau bibirku boleh mengakui, ia terlihat cantik. Sungguh! Bukan melebih-lebihkan. Ia menjadi pribadi yang berbeda. Dulu saja wajahnya masih dekil, menggunakan gaun? Apa gadis di depanku pernah menyentuhnya?
Tidak! Dan lihatlah penampilannya saat ini.Aku tidak menjamin kesal dan benci tentangnya masih ada. Ia berubah, tidak terkesan liar dan menyebalkan. Terlalu manis untuk dipamerkan ke ruang publik.
"Kenapa dengan wajahmu Ar?" tanyanya sembari menarik-narik tuksedo yang kupakai.
"Wajahku kenapa?"
Kusentuh mukaku sendiri, dan terheran melihatnya menatapku bingung.
"Kau seperti tak pernah melihat orang cantik," cibirnya sinis.
Baru saja aku tersadar dengan seringaian darinya membuatku ingin menarik segala kekaguman terhadap dirinya. Jika tahun dulu ia terjatuh di pesonaku secara buruk, malam ini aku yang terjatuh dengannya sangat buruk.
Sial!
Gadis itu dulu dekil, tidak kulirik. Mengganggu ketenanganku saja, dan yang pasti tidak masuk dalam kriteriaku. Dia bukan gadis manis, bukan. Lebih ke galak. Percayalah, melihat wajahnya kali ini menghasilkan keterkejutan.Seperti ketika ia menghubungiku bertubi-tubi dengan alasan merindukan. Aku termakan diri sendiri. Selama waktu masih bergerak, pasti semua orang akan berubah. Sesuai keinginnannya, tanpa sadar aku menyesal kenapa dulu sering membencinya jika tahu malam ini, tahun ini, pertemuan ini ia begitu berubah.
Tapi, apapun tentangnya sebenarnya masih sama. Dari dulu sampai sekarang, kesal, benci, marah itu sudah menjadi kebiasaan untuknya. Sama halnya sesuatu yang begitu berarti, semirip dengan nyaman lalu suka lalu ..., ah! Apa-apan aku ini, mendadak drama.
Kami berjalan cepat. Lebih tepatnya ia menarikku sambil mengomel tidak jelas.
"Ini sudah telat. Dan kamu masih berjalan atau cuma mematung? Kamu gila Ar?"
Rasanya menjadi pengin adu mulut dengannya, lama sekali tidak mencemoohnya. Tapi malam ini, melihatnya mengenakan gaun putih sampai mata kaki, wajahnya yang tidak ada kesan galak, meskipun bibirnya masih sepedas cabe membuatku malas mengomeli dan mempertegas bahwa alasan kenapa kami telat adalah dirinya sendiri. Kadang, perempuan memang butuh dimenangkan argumentasinya sebentar. Biarkan saja senang dan merasa paling benar.
"Kamu malam ini cantik, Sania " kataku spontan.
Bukanya bersemu merah atau tersenyum malu-malu. Gadis itu semakin mengomel tak jelas. Membuatku ingin menariknya untuk diam, dan berganti aku menyeretnya ke dalam kerumunan orang-orang."Sudah kubilang dari dulu aku cantik. Dan kalau sudah besar, kau akan menerima hukuman itu. Kau terlalu sibuk memikirkan angka-angka tak penting!"
"Itu pekerjaanku," kataku mempertahankan profesi yang kutekuni saat ini.
"Merasa pintar kau sekarang?"
"Bukan begitu. Ayolah, kau harusnya anggun sebentar. Kita bicara yang baik tanpa emosi, aku bersumpah malam ini kau cantik sekali."
"Dasar otak modus. Kau pikir malam ini saja? Sadarkan otakmu itu! Memuji itu butuh aturan, aku cantik bukan malam ini saja," ketusnya cepat.
Kami hampir mencapai pintu. Keramaian dan gelak tawa orang-orang terdengar dari luar. Aku harus mempersiapkan diri nanti, terlihat gagah. Tidak buruk juga menunggu gadis ini untuk jadi gandengan. Pasti orang lain tidak akan percaya kalau malam ini, aku yang luluh dengannya.
"Sebentar," katanya pelan. Tangan mungilnya menggandengku menjauh dari pintu. Aku mengernyit, apa lagi yang akan dilakukannya?
Aku baru sadar, tangan kanannya memegang kantung plastik berwarna hitam. Isinya apa? Gadis itu merencanakan untuk membawa pulang makanan nanti sehingga bersiap membawa kantung plastik?
Ia justru menganggil kaca mungil di tas kecilnya, entah apa namanya. Dompet? Atau apa ya? Aku tidak paham dengan itu. Memoleskan lagi gincu merah mudanya. Kemudian menatapku tajam, "Aku sudah cantik kan?"
Aku terkekeh geli mendengarnya, tadi ia mengomel merasa cantik. Sekarang dirinya tidak percaya diri? Helo?
"Ya, sampai besok pun Sania akan lebih cantik,"jawabku antusias.
"Aku lebih tahu itu, Ar!"sungutnya kasar.
Kemudian tangannya merapikan gaun, lalu berjongkok.
"Ada apa?" tanyaku was-was. Bisa saja ia mendadak terkena serangan diare. Secara gadis ini tidak punya tata krama dalam melahap makanan pedas.
Baru saja aku menunduk ingin bertanya, tangan kirinya sudah melepaskan sepatu yang dipakainya. Wajahnya memerah menatapku yang sudah memelotinya sejak mengetahui hal yang dilakukannya.
Dengan senyum malu, ia berani menampilakn cengiran lebar."Jadi apa yang kau bawa di kantong hitammu?" tanyaku penuh selidik.
"Ini," tunjuknya dengan meraih sendal tinggi.
"Namanya Stilleto,"katanya lagi sambil memakai di kakinya. Lalu sepatunya yang sudah ia lepas dimasukkan ke kantong hitam. Diletakannya di dekat dinding jauh dari pintu masuk.
Aku tidak habis pikir dengan seorang di depanku.
"Sania, kamu sehat?"
Ia lalu menepuk dadaku pelan.
"Tapi cantik, kan?" tanyanya mendongakan wajah ke arahku.
"Aku butuh lenganmu sepertinya, aku tidak bisa berjalan dengan stilleto ini,"ungkapnya memelas.
Hampir saja kujitak wajahnya, tapi urung menyadari kecantikannya hari ini. Lelaki normal kalau disuguhi yang cantik pasti mau kan?
Baiklah. Aku menyerah. Sania menggandengku dengan lembut. Dan kami berjalan beriringan menuju kelompok teman-teman. Berjalan pelan, karena beberapa kali ia hampir jatuh karena keseimbangannya yang payah.
Pantas saja, tadi ia ganas menyeretku kasar tanpa takut apapun.
Pakai sepatu sih.
Dasar!
•••
#Risscoklat
Ini cuma ada beberapa bagian,ngumpulin yang berserakan dulu.
😑
KAMU SEDANG MEMBACA
EPILOG
Teen FictionAku pernah berjuang mati-matian dan bertahan untuk mencintaimu. Apa hasilnya? Aku masih bodoh mengakui kekalahan. Jadi, jika suatu hari nanti aku berhenti mengkhawatirkanmu apa kau akan baik-baik saja? [Sania] Typo di mana mana