Pengakuan

40 5 0
                                    

POV Aris Gunawan

•••
Selama dua bulan aku hampir gila. Dadaku rasanya mau meledak. Oh ayolah, kenapa aku sedramatis ini. Seharusnya bersikap biasa saja. Layaknya lelaki bahagia dan cuek dengan keadaan yang membuatku semakin pusing.

Dan sampailah aku di sini, menjalankan misi pertama sejak jantungku berpacu cepat ketika mendengar suaranya. Sialan! Aku mendapat karma kali ini, dan tidak tanggung-tanggung. Bagaimana mungkin aku jatuh bertekuk lutut dengannya?

Ya Tuhan, mungkin kepalaku sudah miring sejak kuacak-acak rambutnya frustasi. Tidak ada tanda-tandanya di pelabuhan Ketapang. Rasanya ingin mencongkel dadaku sebentar, mengistirahatkannya agar tidak melalui masa-masa pengejaran terbodoh sepanjang hidupku. Mulai hari ini aku akan sibuk sekali. Dan semoga keberuntungan berpihak padaku. Pada kisah cinta menjengkelkan.

[Kau pergi dengan apa?]

Pesan kukirimkan untuknya, berharap ia langsung membalas. Sudah kurencanakan jauh-jauh, tentunya setelah mengetahui rencana seminar kerjanya mengenai grafis. Aku memaksa seluruh karyawan usaha kecil yang kujalankan menaikkan omset bulanan. Syukurnya mereka dapat diandalakan karena menerima iming-iming jalan-jalan ke sini. Yah, kuatur tamasya kami menurut keberangkatan gadis itu.

[Pesawat.]

Satu kata, hanya itu yang dikirimkannya. Oh ayolah, kenapa sekarang ia menjadi dingin terhadapku? Padahal dulu sering mengomel dan membuatku bosan. Tapi kini? Oh yang benar saja! Pantas ia naik pesawat, sedang aku naik kapal karena membawa rombongan.
•••
Sudah dua hari berkeliling ke sana ke mari, setelah sampai hotel kuputuskan berkeliling mencari angin. Mencari pemandangan untuk ide memajukan usaha milikku. Selama ini, ia tidak menghubungiku. Sama sekali tidak membalas pesanku. Apa ia tahu keberadanku? Rindu itu jadi serba tak punya alasan juga. Serba mendadak lalu tumbuh dengan cepat untuk menghukumku.

Bus yang kutumpangi berjalan menuju lokasi. Kuperhatikan jalanan sekitar, lebar. Sisi kiri sedang pembangunan di tebing-tebing yang sangat tinggi. Bisa saja itu bekas pertambangan, atau entah hanya memperbaiki tebing agar menarik dijadikan tempat wisata berikutnya.

Jalan menikung, kulihat keramaian dari sini. Sebelum perjalanan terhenti, kulirik patung-patung dalam dunia perwayangan itu berdiri kokoh di tempatnya masing-masing. Tebing yang dibuat sedemikian rupa untuk wadah patung-patung besar mereka. Tentunya sangat menarik, meski kutahu itu belum selesai seutuhnya. Pandawa dan Dewi Kunti sebagai ibunya rapi terpahat di sana.
•••
“Apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau menguntitku kan?”
Aku langsung terlonjak mendengar suara yang sudah kurindukan selama ini. Dasarnya jodoh, dikejar kemanapun sampai mulas menahan sakit hati ternyata gadis itu sendiri yang mendapatkanku.

“Siapa bilang mengikutimu? Aku sedang wisata,”kataku tak mau kalah. Wajahnya merah padam, entah menahan marah atau tentunya sebal terhadapku.

“Kau mengacaukanku Aris,”sungutnya marah-marah. Bergegas pergi meninggalkanku yang masih melongo lama.

Sania. Gadis itu mengenakan celana jeans, dipadu kemeja lengan panjang. Rambutnya dikuncir asal menampilkan helai-helai yang tak terikat sehingga melambai terkena angin. Wajahnya ia poles natural, walaupun ia sesunggunya lebih terlihat anggun jika menggunakan dress dan tentunya wajahnya dipermak sedikit.

Aku mengekorinya, sampai ketika Sania memakai baju pelampung warna oranye. Menyiapkan ponsel Sony Xperia Z5, dan menitipkan tas jinjingnya kepada temannya yang lebih tua darinya. Kupikir mereka patner kerja, kebetulan diberi kebebasan kemari mencari hiburan.

“Kau mau bersamaku?” tawarnya membuatku tersenyum lebar.

“Aku tahu kau tak bisa berenang,”jawabku membiarkan wajah kesalnya terpampang jelas membuatku gemas. Beginilah karma, aku hilang kendali atas diriku sendiri.

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang