Undangan

57 7 1
                                    

POV Sania Ramadani

Tidak bisa dipikirkan lagi. Sekarang gantian untuk menunggu. Berharap waktu cepat berlalu. Hal-hal begini memang terasa begitu berat. Sebagai perempuan pasti juga tahu, perempuan lain yang sedang ditunggu ini mungkin baru saja selesai mengoles bibirnya dengan merah menyala. Gincu yang bisa saja sudah berbulan tidak habis karena terlalu mewah untuk sekadar dibuang sia-sia tanpa memperlihatkan peristiwa. Sepertiku mungkin, aku akan menyimpannya rapi. Sayang kalau digunakan terus menerus dan cepat habis. Kupikir bisa saja menggunakan gincu dengan benar, semisal hanya di perjamuan tertentu yang butuh menampilkan wajah kita agar terlihat menarik.

Satu pesan masuk dari Aris. Rasanya ingin menertawakan kelakuan bodohnya saat menatapku. Tahu rasa! Semua berubah, dan aku juga berubah. Tidak melulu menjadi menyebalkan bagi orang yang sebenarnya ketika semakin dikejar, maka orang itu akan lari tanpa mau melihat lagi. Itu nasihat yang dikatakan Riss ketika aku mengeluhkan sikap lelaki menyebalkan. Riss justru menertawakanku, jika masalah lelaki saja kadang ia peka. Gadis itu sering memahami apa yang kukeluhkan masalah Aris, aku kadang curiga kenapa mereka dekat. Dan pastinya Aris juga mengeluhkan tentangku dengannya. Kenapa kami harus mencurahkan hati kepada teman yang sama? Di balik itu, aku mengaku kalau gadis bermata coklat akan menertawakan kebodohanku, dan tentunya kesialan Aris atas diriku sendiri.

Aris Gansteng
Kau di mana?

Melihatnya menatapku malam itu membuatku sakit hati. Karena aku bisa melihat diriku mengenaskan. Lebih dari dulu ketika ia menolakku mentah-mentah. Dan sekarang, setelah melihatku dua minggu yang lalu ia mulai berubah. Betapa menyedihkannya aku.

Sania
Aku akan bertemu dengan Felia, jangan mengganggu!

Aris Gansteng
Aku tidak minat mengganggumu. Lebih baik mencari gadis lain saja

Sania
Itu urasanmu? Tentunya urusanku juga! Jangan membangunkan singa di tubuhku, Ar

Aris Gansteng
Bagaimana urusanmu? Kalau kau memang singa. Dan satu lagi, aku sedang menjemput gadis lain. Ahaha, kau lucu

Sania
Aku bersumpah akan membuatmu menyesal, bodoh!

Setelah pesanku terkirim, belum sampai satu menit gadis yang kutunggu akhirnya datang. Aku mengerti kenapa Aris mengutukku, begini rasanya menunggu orang yang membuat janji terlambat begitu lama.

Felia dan aku tidak begitu akrab. Kami dulu hanya teman bersaing secara sehat. Sampai mata kami akan terpancar permusuhan yang begitu kentara. Semua pasti mempunyai kelemahan dari sikap kan? Tidak ada yang benar-benar segalanya baik.

Misalnya Aris yang egois, aku yang tempramental, Riss yang ceroboh, Felia yang memiliki senyum ditambah rancangan hal yang tak terduga. Atau ketua osis yang bernama Aga, walaupun berwibawa ia sedikit keras kepala. Ada juga yang suka mendramatiskan suasana, yaitu Meka. Lelaki cool, tapi sekali dihadapkan masalah langsung meleleh. Urusan gadis dan olahraga saja ia menang, tapi urusan masalah ia sering kali menyerah. Namanya juga manusia.

“Kau masih mengibarkan bendera permusuhan ya?” tanya Felia dengan seringaian lebar.
Aku diam saja, memicing ke arahnya agar lekas duduk. Mulai say helo kabar akhir-akhir ini karena sudah lama tak berjumpa beberapa tahun. Hingga reuni kemarin itu membuat Felia berinisiatif untuk menemuiku.

“Sekarang kau sibuk apa?” tanyaku basa-basi menyiratkan penerimaan sebagi teman.

Gadis itu tertawa, menyerutup minumannya dan membungkam tawanya dengan anggun. Ah dari dulu memang sudah kalah, selain cakap ia juga memiliki keanggunan yang tak kumiliki.

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang