Kebohongan

47 5 0
                                    

POV RISSTA GUNAWAN
•••
Akhirnya menyadari mata terbuka dari alam bawah sadar. Ranjang bergoyang, menampakkan ada seseorang menaikinya. Kebetulan selimut pembungkus melorot entah kemana. Mungkin jika orang lain, aku sudah memarahinya. Penampilan tak layak tampil ketika terbangun mendapati tubuh dingin karena hanya memaka icelana pendek dengan kaos kebesaran.

Itu yang kualami saat ini, dibangunkan secara paksa. Boleh saja tertidur lagi meraup mimpi sebanyak-banyaknya. Tapi, seperti ketika hampir sampai puncak Sindoro kau dilemparkan ke lautan awan yang sebentar lagi memudar sehingga kau jatuh di sebuah kota. Parahnya bisa menyangkut entah di pohon mana. Desa mana, hidup atau mati. Masih cukup bila jatuh kemudian mati dibunuh, coba samakan dengan ketika hampir mencapai puncak yang sudah menguras tenaga ekstra, lalu digelindingkan oleh seseorang lewat jalur ilalang. Sakit. Sakit sekali rasanya.

“Hey, sodara! Sebenarnya malam ini kita perlu ke pernikahan Aga.”

“Aku sudah datang kemarin, di rumahnya Felia.”

Kita diundang ke pernikahan, datang, memberi selamat, makan, berbincang, lalu berakhir kado sebagai hadiah atas kebahagiannya. Begitu sepertinya cukup. Tidak ada pengulangan, pun ada aku tidak ingin melakukannya. Meski yah, lumayan dapat makan enak semisal memang enak dan menyenangkan.

“Kau harus menjadi kekasihku malam ini.”

Sebenarnya aku malas berdiri, tapi tangan lelaki memiliki tenaga kuat untuk membopongku ke kamar mandi.

Dengan gerakan cepat mengguyur mukaku.
Kalau boleh jujur, seumpama ayahku memang vampir sudah membuntingi dua perempuan yang masing-masing memiliki anak. Satunya gadis manis, satunya lagi lelaki songong yang kadang tak ingin kuakui kebenarannya. Ia sungguh mengganggu ketentramanku.

“Aku akan memilihkan gaunmu,”ujarnya nyengir.
Dugaanku, ia melesat ke kamarku lagi. Membuka lemari, tersenyum puas dan mulai mencari apa yang diinginkannya. Seperti ketika aku keluar dari mobil, ia menuntunku bergerak cepat lalu menaiki lantai tiga. Di mana pakaian berjenis perempuan membuat mataku silau. Tentunya ia akan membuat muak dengan memaksa mencoba ini-itu sangat lama hingga menyadari bahwa aku lapar, lalu menggiringku seperti hewan peliharaan tercintanya menuju Alang-alang Cafe.
***
Dibilang sedih memang begitu, menyusuri jalanan pukul tujuh malam. Memakai dress hitam, rambut digerai, kakiku dibalut flatshoes agar lebih mudah ketika menaiki motor. Maksudku, tidak merepotkannya. Tentu saja kenapa ia sangat setuju aku memakainya.

Jalanan ramai, melihat banyaknya kendaraan keluar dari RSUD. Entah itu sebatas pergi, atau mengirim seseorang dengan alasan sakit. Di perempatan jalan, lampu merah menyala. Dilihat sekeliling, kantor Sipil sudah sepi. Sedang di kanan jalan, Kodim terlihat terang. Kadang aku berpikir, betapa lumayannya jika orang pemaksa ini berseragam dinas angkatan udara.

“Bersikaplah mesra terhadapku.”

“Apa yang perlu kulakukan? Menggandengmu saja kan?”

Ia mengangguk, sebelum itu terjadi ia menarik pinggangku mendekat ke arahnya. Tidak habis pikir, di gedung malam ini menyaksikan pestanya Felia yang tentunya pesta milik Aga. Aku harus benar-benar menjadi kekasih yang baik, nanti memikirkan imbalan apa yang kubutuhkan. Belajar memanfaatkan orang yang kaucintai kadang diperlukan ya?

Kami masuk ruangan yang cahaya lampunya tidak terlalu terang. Di dekat pintu utama, berjejer hidangan. Entah ide siapa berkonsep seperti ini. Orang-orang sibuk dengan dunianya, sebagian memilih menyempatkan menikmati apa yang ada di meja perjamuan. Lainnya jika memiliki kekasih akan dengan senang hati menyerahkan diri di lantai dansa.

“Kau datang lagi.”

Felia berbinar, aku melepaskan cengkraman di pinggang lalu mendekat dan mengecup ke dua pipinya.

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang