Written By allynscarleta
------------------------------------------------
Arin suka hujan. Hujan adalah surga duniawinya, sekaligus manifestasi rasa kehampaan Arin sendiri. Arin selalu sendiri, tidak punya teman atau keluarga. Arin hanya gadis berumur duabelas tahun yang sebatang kara. Barusan, gadis manis itu diusir dari panti asuhannya yang ke-3 kalinya lagi. Hanya karena gadis itu sering membuat onar.
Biarlah, cukup berdiam di panti asuhan lain, dengan tatapan lusuh yang ditunjukan pada ibu panti akan sukses membawa Arin ke panti asuhan. Lalu tak lama, membuat ulah, bandel, kemudian dikeluarkan. Siklus itu akan berulang kali terjadi.
Arin berjalan di tengah hujan dengan santai, tak memedulikan rasa dingin yang begitu menusuk indra. Orang berlalu-lalang, tetapi apatis dengan eksistensi gadis malang itu, seolah tiada eksistensi yang dipancarkan gadis itu.
Arin tetap berjalan tanpa acuh pada orang-orang. Berjalan lurus tanpa arah. Hujan semakin deras dan manusia-manusia di malam ini sesegera mungkin pulang ke hunian.
Tidak. Ada satu manusia.
Seorang pemuda menghampiri Arin, tangan ia memegang payung mekar berwarna hitam kelabu, payung itu ia sedikit arahkan ke atas Arin, membagi perlindungan dari air yang menitik dari langit.
Arin tergeming, menatap pemuda itu rumit. Siapa ia? Kenapa mau menolong sampah macam Arin?
"Kamu ... kenapa menolong aku?" tanya Arin, bibir ranumnya mengatup di antara gigi. Pemuda itu tersenyum tipis, pemuda itu tampak dewasa dengan mantel cokelat dan sepatu hitam, serta syal hitamnya. Ia melepas syal dari jenjang lehernya dan menyodorkan syal pada Arin.
"Kau kedinginan, pakailah ini sementara," kata pemuda itu tak menghiraukan pertanyaan Arin.
Sudut mata Arin memandang syal yang disodorkan ragu-ragu. Kemudian ia menggeleng dan menjauhkan syal itu dari hadapannya. "Tidak. Itu milik Anda, kalau dipakai saya, nanti syal itu akan dekil seperti saya."
Namun pemuda itu malah tertawa. "Kau itu manis, bukan dekil. Jangan cerewet dan pakai saja! Lagipula, umurmu pasti jauh dariku, 'kan? Kau tidak boleh menolak permintaan yang lebih tua darimu. Maka dari itu turuti saja."
Memang, kalau dilihat-lihat pemuda itu lebih tua dari Arin. Buktinya saja, suara dan tinggi mereka berbeda jauh. Suara Arin sedikit cempreng khas anak-anak, sementara pemuda itu suaranya berat seperti orang dewasa.
Arin tidak melontarkan jawaban. Bukannya menuruti perintah pemuda itu, gadis itu malah berjalan melewati pemuda itu, keluar dari jangkauan payung dan membiarkan air mata langit membasahinya kembali.
"Hey, anak muda, malah tidak nurut!" Pemuda itu mendengus kecil. Ia mendekati Arin dan menahan lengannya. "Jangan pergi. Kau membuat dosa, lho, tidak acuh pada perintah orang yang lebih tua darimu."
Arin memberontak namun naas. Saat ini tubuhnya berada di kondisi tidak fit. Geez, apalagi tenaga anak kecil dan orang dewasa berbeda skala.
Arin membuang napas. "Oke, oke, Kakak Tua, aku akan pakai syalnya dan pergi."
"Tidak. Kau ikut aku ke rumahku. Aku akan mengadopsimu," sergah pemuda itu. "Kau tampaknya habis diusir. Aku tidak mau membiarkan seorang gadis kecil yang manis ini berkeliaran di kota seperti gembel."
Entah mengapa kedua pipi Arin tiba-tiba merona mendengar perkataan si Kakak Tua. "B-bodoh. Aku bukan gembel!"
"Nah, makanya kau ikut aku, oke? Omong-omong, pakai syalnya," ucap pemuda itu.
Arin mengangguk kecil, dikalungkannya syal milik si pemuda di lehernya. Setidaknya tubuhnya merasa sedikit hangat.
"Tapi ... kata Nyonya Marra, tidak boleh ikut orang asing," kata Arin saat tiba-tiba mengingat nasihat dari mantan ibu pantinya dulu.
"Aku bukan orang asing, tahu. Kau bawel sekali sih, ikut saja 'napa? Aku ini bukan lelaki senonoh di luar sana," ujar pemuda itu meyakinkan Arin.
"Aku akan ikut denganmu kalau kau menjelaskan kenapa aku harus ikut denganmu."
Pemuda itu mendesah kesal. Gadis macam Arin ini keras kepala dan susah dibujuk.
"Kau begitu rapuh nan hampa. Aku ingin membuatmu tegar dan berwarna, apa alasan itu cukup?"
... benar-benar, Kakak Tua ini. Arin terkekeh spontan, tidak tahu dia merasa senang dengan alasan sederhana seperti itu. Baiklah, sepertinya dia akan memutuskan memercayai pemuda itu.
"Kau tertawa," ucap pemuda itu seraya tersenyum simpul, "menambah kesan imut di mukamu."
Arin mengulum senyum. "'Makasih. Jadi ... kapan kita ke rumahmu?"
Pemuda itu tergelak tak percaya. "Whoah! Akhirnya kaumau! Oke, ayo! Tapi ... sebelumnya kita berkenalan dulu. Aku tak tahu namamu."
"Kau dulu."
Pemuda itu berdeham. "Zin Fiyolette, 21 tahun."
Kini Arin memperkenalkan diri, "Arin, 12 tahun." Arin memandang langit. "J-jadi ... ayo ke rumah, A-ayah."
"Haha, belum diadopsi secara resmi kau langsung memanggilku ayah. Oke, ayo ke mobilku!" Zin menarik lengan mungil Arin ke mobilnya yang berada di seberang trotoar.
Langit masih menangis tak henti, tetapi membuat aroma petrikor yang unik. Seunik pertemuan kedua insan tersebut.
FIN.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ FIRST ] Event Book
Non-FictionBerisi hasil kerja keras member untuk event. Kepo? Silahkan dicek~ Jangan lupa krisarnya...