"Wah, belajar lagi." Aku mengintip dari balik bahu Bulan. Seperti biasa, begitu pulang dari rumah Raka, aku mengunjungi kamar Bulan untuk mengisi baterai ponsel.
Bulan, yang sedang duduk di hadapan meja belajarnya dengan buku tulis terbuka di depannya, menoleh dengan sebal, terganggu dengan kehadiranku. "Gue enggak belajar. Ini PR latihan soal UN."
Aku tidak memedulikannya dan meneliti buku tulis itu. Kemudian, aku mengerutkan dahi. "Kok belum ada tulisan selain pertanyaan-pertanyaannya?"
"Ini ada. Bulan Catur P. / 9-3. Sana, dong. Gue lagi mikir apa yang harus gue tulis selanjutnya," katanya.
Aku mendengus dan membaca soal pertama. "2 tahun yang lalu, seorang ayah umurnya 6 kali umur anaknya. 18 tahun kemudian, umurnya akan menjadi 2 kali umur anaknya. Tentukan umur mereka sekarang .... Ya ampun, ini gampang banget!"
Bulan menatapku selama beberapa saat dengan tatapan terluka. Lalu, dia membuang muka dan menatap buku tulis di mejanya. "Lo boleh bawa charger-nya ke kamar lo."
Aku segera tersadar. Bulan tidak pernah mengizinkanku membawa charger-nya ke kamarku. Aku pasti benar-benar membuatnya tersinggung.
"Sori," kataku cepat-cepat, merasa bersalah. "Lo enggak bisa yang mana?"
"Semuanya," jawabnya setelah mendesah panjang.
"Semuanya?!"
Sedetik kemudian, aku baru sadar bahwa aku telah menyinggungnya lagi. Tetapi, Bulan tidak mengatakan apa-apa dan menatap buku tulisnya dengan tatapan kosong, jadi aku juga tidak mengatakan apa-apa dan hanya berdiri di sebelahnya dengan kikuk.
"Lo tahu, enggak?" Tahu-tahu, Bulan bertanya. Dia memutar kursinya sehingga dia berhadapan denganku.
Aku ingin menjawab, "Yeah, tentu aja gue tahu," namun aku tidak mau memperburuk situasi. Maka aku hanya mengatakan, "Apa?"
"Kadang, gue iri sama lo," katanya. "Tapi bukan iri yang ... lo tahu, yang berharap lo ketimpa sial atau semacamnya. Enggak. Gue cuma iri yang bikin gue mikir, 'Kenapa gue enggak bisa kayak lo? Kalau lo bisa, kenapa gue enggak?'"
Aku agak terkejut. Aku tidak menduga kata-kata itulah yang akan keluar dari mulut Bulan. Aku bahkan tidak menduga Bulan pernah berpikir seperti itu. Tetapi, aku tetap mendengarkan.
"Lo paling pinter di antara kita berempat. Bintang yang kedua," lanjut Bulan. "Kalian itu tipe orang yang enggak perlu belajar berat-berat buat ngerti materi. Beberapa temen gue juga ada yang kayak gitu, dan gue sedih aja, kenapa gue enggak bisa kayak mereka, kenapa gue tetap enggak ngerti pelajaran walaupun udah belajar mati-matian. Yah, mungkin enggak mati-matian, tapi yang jelas enggak sesantai lo. Dari yang pernah gue liat, lo nyantai banget kalo belajar. Buka buku, dibaca sebentar, terus udah, langsung ngerti.
"Gue juga iri karena lo yang bakal wujudin mimpi Mama Papa buat punya anak yang masuk kedokteran. Mereka pasti bangga punya anak kayak lo. Enggak kayak gue—selain enggak mampu, gue juga enggak pengin."
Mendengar kalimat-kalimat terakhir Bulan, aku membalas, "Gue belum tentu diterima. Lagian, setiap orangtua pasti bangga sama semua anak mereka, Lan. Enggak cuma satu."
Bulan memutar bola matanya. "Gue tahu," ucapnya. "Tapi, ya, lo ngerti, lah. Pasti ada satu anak yang lebih sering disebut namanya ke orang-orang ketimbang anak-anak lainnya."
Aku terdiam dengan banyak hal di pikiranku. Mereka tidak tahu. Orangtuaku tidak tahu saja, bahwa besarnya keinginanku untuk mewujudkan mimpi mereka sama seperti besarnya keinginan Bulan. Namun, seandainya aku memberi tahu mereka yang sebenarnya, apa mereka akan tetap bangga denganku? Apa aku tetap menjadi anak yang lebih sering disebut namanya? Maksudku, bukannya aku ingin menjadi anak itu—aku cuma bertanya-tanya, apa alasannya hanya karena akulah yang akan mewujudkan mimpi mereka? Padahal, aku belum tentu berhasil.
Rasanya, aku ingin menyuarakan isi kepalaku kepada siapa pun yang mendengar. Aku butuh memberi tahu seseorang kenyataannya—hanya untuk menghilangkan bebanku. Kepada Bulan sekalipun. Tetapi mana mungkin, kan? Memberi tahu Bulan sama saja dengan memberi tahu seluruh keluargaku.
"Lo mau tahu, enggak, cara gampang ngerti materi tanpa perlu belajar mati-matian?" tanyaku, setelah berusaha keras untuk tidak mengatakan apa yang ingin kukatakan.
Mata Bulan berbinar. "Gimana?"
Aku tersenyum. "Lo cuma perlu perhatiin baik-baik saat guru ngejelasin di depan. Perhatiin, dan catet semua yang penting."
Bulan segera cemberut. "Yah, itu doang? Gue kira ada trik belajarnya atau apa, gitu," keluhnya.
"Itu doang," kataku sambil mengangguk. "Tapi, 'itu doang' ngaruh banget, Bulan. Kalau lo udah ngerti dan nyatet materi saat guru ngejelasin, besok-besoknya, lo cuma perlu baca ulang catetan lo."
"Tapi susah. Temen-temen gue ngajak gue ngobrol melulu." Bulan menghela napas.
Aku terkekeh. "Ya, lo tanya lagi aja ke diri lo. Mau belajar susah-susah, atau mau nyantai?"
Bulan memandangi buku tulis di depannya sebentar dengan bibir manyun. "Ya udah, deh," katanya akhirnya. "Tapi kemarin-kemarin kan gue enggak dengerin gurunya. Gue tetep enggak tahu gimana cara ngerjain ini semua."
"Kenapa lo enggak minta dibantuin Bintang?" Aku bertanya. "Biasanya kan gitu."
Bulan mendengus. "Capek. Gue sadar Bintang cuma bikin kolom jawaban gue terisi, bukan otak."
Aku mengangguk-angguk. Bagus. Berarti adikku sudah mengerti, percuma kolom jawaban terisi kalau otak tetap kosong. Kemudian aku meminta Bulan untuk menggeser pantatnya, supaya aku bisa duduk di kursi yang sama. "Ya udah, gue bakal ajarin lo. Tapi lo harus dengerin gue baik-baik, ya."
Bulan menatapku sebentar. Dia tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya berkata, "Thanks, Rin." Dia cepat-cepat memalingkan wajahnya yang memerah.
Aku ingin menangis terharu dan tertawa di saat yang sama, tetapi aku hanya mengangguk. "Siap-siap aja. Lo harus ngejar materi sampai mampus."
Akhirnya, aku menjelaskan ulang materi yang barangkali pernah dijelaskan guru Bulan setahun yang lalu. Mengajari adikku lumayan asyik, dan saat itu aku sempat melupakan pertanyaan dan segala hal yang tadinya berkecamuk di pikiranku. Namun, setelah aku menutup pintu kamar Bulan, berbaring di kasurku, dan menatap langit-langit kamar, aku mengingatnya lagi.[]
25 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
A Babysitter's Diary
Teen FictionDua alasan sederhana mengapa menjadi pengasuh anak teman Mama (ternyata) merupakan pekerjaan terkutuk: 1. Anak yang kuasuh (ternyata) adalah bocah paling kurang ajar yang pernah kutemui. 2. Dan kurasa, poin pertama tadi menular dari kakaknya--cowok...