Sepertinya, membaca (atau bisa dibilang mendengarkan seseorang membaca) menjadi kegiatan favorit Raka selain menonton Phineas dan Ferb. Selama hari-hari berikutnya, kegiatanku dan Raka masih sama. Aku melanjutkan membacakan The Witches, sementara Raka mendengarkan. Raka tidak pernah memprotes. Dia justru sangat antusias mengikuti cerita.
Kurasa, Raka hanya butuh membiasakan diri denganku. Mulutnya masih tidak bisa disaring, tetapi seperti yang penah kukatakan, menurutku Raka sebenarnya anak yang baik. Buktinya, akhir-akhir ini dia tidak begitu sulit menurutiku. Yah, aku memang masih perlu memancingnya dengan permen supaya mudah diajak pulang, namun yang menakjubkan, aku tidak perlu lagi memerintahnya untuk melepas sepatu sebanyak (paling sedikit) lima kali ketika tiba di rumah. Perkembangan hubunganku dan Raka memang belum seberapa, tetapi setidaknya, aku sangat senang bisa mencapai titik ini.
Malam ini, aku sedang mengerjakan PR di meja belajar kamarku, ketika tiba-tiba ada yang membuka pintu kamar.
Kudapati Bulan berdiri di ambang pintu. "Apa?" tanyaku sambil mengangkat alis. Ketika aku melihat bantal dan guling di tangannya, aku bertanya lagi, "Lo mau tidur di sini?"
Bulang mengangguk sambil melangkah masuk. "AC gue udah tewas. Kalo gue tetap tidur di kamar gue, bakal ada dua yang tewas di sana." Dia meletakkan bantal dan guling di atas lantai, lalu menarik kasur sorong. Setelahnya, dia mengambil kembali bantal dan gulingnya dan melempar dua benda itu ke atas kasurnya.
"Kenapa enggak di kamar Embun aja, sih?" protesku.
"Kata Papa, di kamar lo aja. Embun lagi banyak tugas. Nanti gue malah ganggu," jawab Bulan sambil mengempaskan dirinya di kasur. "Gila, dingin banget kamar lo."
Aku memutar kursi belajarku agar menghadap Bulan dan mendengus. "Terus, lo enggak ngerasa ngeganggu gue yang lagi ngerjain PR?"
"Enggak." Bulan menjulurkan lidahnya dengan menyebalkan.
Kutatap Bulan sambil menyipitkan mata. Dasar adik tidak pengertian.
Setelah tidur-tiduran di kasur selama beberapa menit, Bulan bangkit berdiri. Dia berjalan keluar dari kamarku, lalu kembali sambil menenteng ransel sekolahnya.
Adikku itu duduk di atas kasur sebelum membuka ritsleting ransel. Kukira dia mau mengeluarkan buku pelajaran atau apa, tetapi rupanya, dia hanya mengeluarkan sebuah majalah ABG norak. Padahal, berdasarkan percakapan saat makan malam tadi, besok dia dan Bintang akan menjalani try out.
Bulan mendongak ketika sadar aku sedang mengamatinya. "Ada apa sih di muka gue? Ada muka Taylor Swift?" Dia segera bangkit dan melangkah ke depan cermin. Setelah memasang kira-kira 99 variasi senyuman sambil menatap pantulan dirinya sendiri, dia berkata, "Emang."
Aku memutar bola mata. "Apa sih bagusnya majalah itu?"
Dengan sigap, Bulan kembali ke kasur dan mengambil majalahnya. "Eh, ini bagus banget, tau!" katanya antusias sambil membalik halaman majalah. Dia terus melakukan itu, sampai akhirnya, dia menemukan halaman yang dicari. Diperlihatkannya halaman itu kepadaku. "Gue nitip beli ini sama temen gue. Nih, ada artikel bagus banget! Judulnya Cara Membuat Cowok Tergila-gila Sama Kamu. Gue enggak sabar banget bacanya."
"Emang siapa yang mau lo bikin tergila-gila sama lo? Atar? Sori, ya, dia cuma bakal tergila-gila sama gue." Sambil memikirkan kemungkinan itu (Atar tergila-gila kepadaku), aku terkekeh sendiri seperti orang gila.
Bulan mengibaskan tangannya. "Atar, mah, gebetan gue yang kesepuluh. Ketemu dia kan cuma kadang-kadang, jadi dia enggak begitu gue pentingin. Ada, lah, sembilan cowok lainnya yang lebih pengin gue bikin tergila-gila sama gue. Mereka sejenis Atar gitu. Yang jelas, lo enggak kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Babysitter's Diary
Ficção AdolescenteDua alasan sederhana mengapa menjadi pengasuh anak teman Mama (ternyata) merupakan pekerjaan terkutuk: 1. Anak yang kuasuh (ternyata) adalah bocah paling kurang ajar yang pernah kutemui. 2. Dan kurasa, poin pertama tadi menular dari kakaknya--cowok...