Kalimat Dea berhasil membuatku malu dengan diri sendiri. Aku yang memutuskan untuk melakukan pekerjaan ini. Seharusnya, aku fokus dengan tujuanku memilih sejak awal—menabung. Lagi pula, seharusnya aku sudah tahu apa saja yang menjadi tanggung jawabku jika mengambil keputusan itu, dan tidak mengeluh.
Maka, ketika bel pulang sekolah berbunyi hari ini, tidak seperti biasanya, aku merasa bersemangat. Kali ini, aku bertekad untuk melakukan yang terbaik supaya Raka senang denganku, sekalipun yang kudapat sebagai balasan hanyalah kata-kata pedas dari bocah itu.
"Semangat, Rin," kata Anis ketika aku pamit untuk pergi duluan kepada teman-temanku. "Gue percaya segala sesuatu ada tahapnya."
Dea tertawa. "Ini karena kata-kata gue, ya?" katanya. "Tapi, gue seneng lo enggak jadi pengin berhenti."
"Salam buat Rangga," celetuk Tata. "Bilangin, dari titisan Kendall Jenner."
Aku mendengus. "Makasih buat Anis dan Dea. Buat Tata, enggak bakal gue sampein," kataku, yang dibalas bibir manyun Tata. "Gue duluan, ya. Dah."
Setelah mendapatkan sepedaku, aku mengayuhnya dengan semangat yang membubung tinggi. Aku sudah punya rencana. Kalau biasanya aku langsung membawa Raka ke rumahnya dan membiarkan dia menonton TV sendiri, hari ini, aku akan melakukan hal lain bersama Raka.
Akhirnya, aku sampai di TK Raka. Kali ini, dia tidak ada di ayunan. Jadi, aku melangkah masuk lebih jauh ke dalam TK, dan berhenti di depan pintu dengan papan nama "Daycare". Setelah mengetuk, aku membuka pintu itu.
Aku mengangguk singkat kepada ibu guru yang menjaga tempat tersebut. Lalu, aku menghampiri Raka yang sedang bermain robot-robotan di pojok ruangan. Mainan-mainan lainnya berserakan di sekitar bocah itu.
Raka mendongak. Ketika melihatku, dia mendengus. "Kamu lagi."
Aku tertawa. "Iya, aku lagi."
Raka kembali bermain robot-robotan, seolah tidak pernah mendongak dan melihatku.
Aku tersenyum. Kulepas ranselku, lalu aku merogoh isinya. Setelah menyentuh kaleng permen, aku mengeluarkan benda itu dan mengangkatnya ke depan wajah Raka. (Ngomong-ngomong, aku mengambil kaleng itu dari rumah. Kaleng itu tidak pernah disentuh. Mending kuberikan kepada Raka saja, daripada aku harus mengeluarkan uang lagi.)
"Tada! Mau, kan?" kataku.
Raka menatapku dengan dahi berkerut. Akhirnya, dia meletakkan robot-robotannya ke atas lantai dan berdiri. "Ya udah. Ayo."
"Rapiin dulu, dong, mainannya," kataku sambil mengerling mainan yang berserakan di lantai.
"Kamu aja."
"Ya kamu, lah. Kamu, kan, yang bikin berantakan?"
Sambil menggerutu sebal, Raka mengembalikan mainan-mainan ke dalam kontainer. Aku cuma tersenyum geli melihatnya. Menurutku, Raka sebenarnya anak yang baik. Buktinya, walaupun sambil menggerutu, dia tetap bertanggung jawab atas kekacauan yang dia buat.
Setelah semuanya rapi, aku dan Raka keluar dari tempat penitipan dan menghampiri sepedaku. Seperti biasa, Raka membonceng di belakang.
Aku pun mengayuh sepedaku. Namun, alih-alih mengayuh sepeda langsung ke rumahnya, hari ini aku membawa Raka ke suatu tempat. Sudah kubilang, aku punya rencana.
Sepertinya, Raka menyadari itu, karena dia bertanya, "Kok kita belok ke sini, sih? Kamu lupa, ya, rumah aku di mana?"
Aku mengernyit. Bocah ini mulutnya tidak bisa disaring, ya? Dibanding bertanya, cara dia mengatakan itu lebih terdengar seperti menuduh. Namun, aku berusaha untuk tidak menunjukkan emosiku. Jadi aku cuma menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Aku enggak lupa. Kita emang bukan mau ke rumah kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Babysitter's Diary
Genç KurguDua alasan sederhana mengapa menjadi pengasuh anak teman Mama (ternyata) merupakan pekerjaan terkutuk: 1. Anak yang kuasuh (ternyata) adalah bocah paling kurang ajar yang pernah kutemui. 2. Dan kurasa, poin pertama tadi menular dari kakaknya--cowok...