UGO

1.1K 89 55
                                    


Setelah mengucapkan terima kasih, saya beranjak dari kursi yang lebih dari setengah jam lalu saya tempati, dan dengan santai, berjalan meninggalkan area restoran. Dikenal sebagian besar staf tempat ini adalah salah satu alasan saya tidak pernah tergoda menginap di tempat lain. Hotel ini dan saya sudah saling mengenal dengan baik. Bahkan sebelum saya meminta, staf restoran tahu menu favorit yang saya santap setiap pagi: telur dadar dengan banyak irisan jamur, satu sendok garam, tanpa merica, dan irisan cabai; croissant mereka juga selalu berhasil membuat saya melanggar aturan makan. Seusai makan malam, saya tidak pernah alpa mengingatkan mereka agar mengantar tiga croissant ke kamar saya. Selain itu, susu almond yang mereka sediakan khusus untuk saya—bukan karena saya bersikap sok dengan tidak mau memimum produk olahan sapi, tapi perut saya sangat sensitif—juga selalu tersedia kapan pun saya menginginkannya. Para pramusaji pun cukup sering menebak keinginan saya dengan tepat jika saya memutuskan untuk makan siang atau makan malam di hotel. Di tempat lain, tidak ada jaminan saya akan diperlakukan dengan baik.

Meletakkan kedua tangan di pinggang, pandangan saya menyusuri setiap sudut kolam renang dibalik kacamata hitam yang langsung saya kenakan begitu berada di teras restoran. Tubuh saya langsung bereaksi dengan panas yang begitu menyengat, sekalipun angin pantai berembus cukup kencang. Lengan saya beberapa kali terangkat untuk menyeka peluh yang mengaliri pelipis, sementara punggung saya pun mulai basah. Meski kerinduan saya akan Indonesia begitu besar, panas seperti ini jelas meluruhkan rasa kangen akan tempat kelahiran saya. Walaupun sudah tidak sering terpapar matahari seperti dulu, kulit saya terlihat masih cukup gelap, sesuatu yang tidak pernah menghentikan Ryan—partner kerja saya yang masih dan akan terlelap seharian—bersungut karena menginginkan warna kulit seperti ini. Tidak peduli berapa lama dia berjemur, yang didapatnya justru merah sekujur tubuh. Kulit sawo matang ini seperti menjadi identitas yang menempel pada saya dan dengan bangga saya kenakan.

Saya mendesah pelan. Tidak bijak rasanya jika harus menghabiskan waktu di pantai, tetapi pikiran untuk berdiam di dalam kamar dengan mesin pendingin yang terus-menerus menyala jauh lebih mengenaskan. Senyum saya mengembang begitu melihat deretan sun chair yang sebagian besar tidak terisi. Bersantai di pinggir kolam renang jelas pilihan terbaik yang saya miliki. Mungkin juga, kantuk akan menyerang dengan debur ombak serta gesekan ranting dan dedaunan sebagai pengantar tidur.

Setelah dua malam beranjak ke tempat tidur selepas tengah malam, waktu istirahat saya tentu berkurang. Sebagian besar orang yang sedang menghuni tempat ini punya satu tujuan, berlibur. Tujuan saya pun hanya satu, tapi jauh dari kata bersantai menikmati semilir angin pantai. Saya ada di sini untuk bekerja. Menjadi salah satu partner di sebuah travel consultant, saya harus sering bepergian dan memastikan tempat-tempat yang menjalin kerja sama dengan kami masih memiliki standar sama. Saya harus melakukannya sebelum kontrak di antara kami habis. Saya juga wajib membuat laporan sampai detail terkecil dan membahasnya sekembalinya ke kantor nanti. Bersantai menjadi tujuan sekunder, apalagi ini bukan pertama saya ke sini.

Oh ya, tentang alasan saya tidur melampaui kebiasaan dua malam sejak check-in. Malam pertama saya harus terjaga hingga pukul 2 dini hari demi mengoreksi—sekaligus merapikan—beberapa laporan dari kantor yang berantakan. Memperbaiki kesalahan mereka justru membutuhkan waktu yang lebih lama daripada mengerjakannya dari awal. Sementara tadi malam, Ryan menggeret saya ke sebuah bar dan mendengarkan ocehannya tentang Stefi. Yang saya lakukan memang duduk diam, menikmati dua gelas wine—hanya dua gelas yang mampu saya minum—dan mengizinkan Ryan memenuhi telinga saya dengan semua uneg-unegnya mengenai Stefi. Ketakutan menjalin rumah tangga menjadi porsi utama curahan hatinya. Menyebut dirinya tolol karena mau saja menyerah pada tuntutan Stefi agar mereka bertunangan dan melepaskan masa lajangnya 6 bulan lagi. Saya tidak perlu menimpalinya karena tahu, dia sedang diliputi kepanikan yang belakangan semakin sering menyergapnya. Nanti jika dia bangun dan mencari saya, topik pembicaraannya tidak akan jauh dari semua kelebihan Stefi dan betapa keberuntungan ada di pihaknya memiliki wanita seperti itu. Dia akan lupa semua yang ditumpahkannya kepada saya malam sebelumnya. Semalam, dia melupakan janjinya agar tidak mabuk jika kami sedang dalam perjalanan dinas. Membawanya kembali ke hotel dan memastikan dia tidak akan mengotori karpet di kamar tidurnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Walaupun belum lama kami menjadi rekan kerja, tetapi banyaknya tugas di luar kantor yang sudah kami jalani, menjadikan saya hafal dengan kebiasaannya. Tidak mengejutkan jika saya baru kembali ke kamar satu jam kemudian, ketika jarum menunjukkan hampir mendekati pukul setengah 4 pagi.

HEARTWORMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang