Prolog

10.6K 588 30
                                    

Sebelumnya saya bener bener minta maaf jika cerita ini memiliki kekurangan. Kalau berkenan silahkan kritik karya saya :v supaya bisa dikerjakan lebih baik lagi wkwkwwk

Enjoy ^^

-------------------------------------

Malam itu, desingan peluru dari pistol para polisi menembus pekatnya malam, berusaha mengenai sosok incaran yang berlari dengan gesit padahal penerangan begitu minim mengikis jarak pandang. Gang-gang sempit mempersulit para penegak hukum untuk menangkapnya. Target mereka adalah seorang wanita dengan pakaian serba hitam, larinya sangat cepat ditambah tembakan yang sangat akurat mengenai titik vital para polisi. Rompi anti peluru tak berguna sebab mereka mengincar kepala. Penjahat kelas kakap. Black Killer.

"Shit! Dia berlari sangat cepat. Dan lagi tembakannya itu mengerikan, tidak mungkin seorang manusia bisa menembak secepat itu, seolah dia memiliki dua tubuh." Lelaki gagah berjambang berdecih, ia menyeimbangkan langkahnya dengan polisi lain. Pengejaran yang tidak ada hentinya terus berjalan.

"Dimana para snipper pemerintah?!" Teriak orang terdepan, agaknya dia adalah pemimpin pasukan itu. Terlihat dari cara dia bersikap. Orang yang sangat dihormati. Wajah coklat khas Spanyol berubah gelap, dia lelah. Pasukannya lelah. Jika mereka menyerah, apa komentar masyarakat?

"Sedang menuju tempat Sir," jawab bawahannya takut-takut.

"Kita pecah kelompok. Sebagian memutar dari jalan di depan sana, dan lainnya tetap mengikuti wanita itu dari belakang."

Ketika polisi kota sibuk menerapkan rencana pemimpin mereka, buronan yang diburu tersenyum miring. Dia menatap punggung di depannya, seseorang dengan pakaian persis seperti dia. Ya. Buronan itu tidak lah sendiri, dia memiliki seorang partner.

"Je ..." Mereka masih berlari. Jarak antara polisi sudah semakin menjauh. "Diamlah. Aku sedang berpikir, sebentar lagi pasukan pemerintah akan datang," Je berkata dingin. Dia mulai panik.

"Rencana C, Je. Aku sudah tidak sanggup lagi, luka nya terlalu parah." Suara wanita itu meringis menahan sakit. Dia terluka parah. Bibir pucatnya tersamarkan oleh kegelapan gang-gang kecil, dia sudah tidak sanggup meneruskan. Jika seperti ini, mereka berdua pasti akan tertangkap cepat atau lambat.

"Tidak. Aku tidak akan meninggalkan kakak seperti ini." Je menoleh, memperlihatkan sepasang bola mata biru langit indah. "Percaya padaku, Kak." Wajah manisnya terlihat sendu. Dia menahan air mata di pelupuk mata. Rencana mereka malam ini gagal karena musuh bebuyutan keduanya menghalangi. Nyawa mereka terancam.

"Je, tolong belok ke kanan. Kita memantau dari gedung itu saja. Kita bisa menembak jatuh para polisi itu juga." Usul wanita sekarat yang merupakan kakak Je. Sang adik menyetujui, dan lagi polisi itu sudah sangat jauh tertinggal di belakang, mereka tidak akan bisa mengejar semudah itu.

Keduanya memasuki gedung tua yang lebih mirip dengan sebuah gudang berisikan kasur-kasur usang namun tanpa atap menutupi, lantainya hanya sampai di tingkat dua. Keadaannya cukup berdebu, namun layak untuk dijadikan tempat memantau seperti yang dijelaskan.

"Kak, kurasa di sini kita akan aman."

Bruuk

Mata Je melotot, ketika berbalik karena terkejut, dia mendapati kakaknya sudah jatuh ke tanah sambil memegangi perut yang bersimbah darah. Je kalap, ia segera mendekati wanita itu, memangku kepala bersurai hitam pekat cemas.

"Kak ...Tolong bertahan." Suaranya bergetar.

"Pergilah, Je. Mereka belum mengetahui keterlibatanmu. Aku akan baik-baik saja, lagipula kau juga terluka, kan? Segeralah mengobatinya, Kakak tidak ingin kau kenapa-napa." Wanita cantik bermanik coklat melirik luka Je yang di dapat akibat pergulatan mereka sebelum dikejar polisi.

"Percuma saja. Dia pasti kan memberitahu kan keterlibatan diriku." Je menggertakan gigi penuh amarah. Dia benci dengan orang yang telah membuat mereka seperti ini. Je akan membalas dendam, dia sudah membulatkan tekadnya.

"Tidak, itu tidak mungkin." Tangan ramping berbalut sarung tangan hitam menyentuh permukaan pipi Je, sang kakak tersenyum lemah. Ia sadar bahwa keadaanya sudah sangat kritis. Tidak mungkin bisa lari lagi. Tenaganya habis. "Dia masih menyayangi dirimu, Je. Dia masih mengharapkan kau pulang. Dia akan melindungi mu. Berdamailah dengannya."

"Kak Elva! Aku lebih baik mati daripada kembali kesana," geram Je dengan air mata yang sudah mulai menetes. Elva; nama wanita itu, melepaskan sarung tangannya, menghapus aliran air mata Je pelan-pelan. Dia tidak ingin harta berharganya mati, tidak. Sudah cukup dia merasakan kehilangan.

"Je, kumohon untuk yang terakhir kalinya. Jika kau memang tidak ingin kembali kepadanya, pergilah dari sini, lobati lukamu. Aku mohon, Je. Jika kita berdua ditangkap, siapa yang akan membela nanti? Setidaknya jika aku yang tertangkap, kau sebagai adikku, bisa membelaku di pengadilan." Elva tersenyum, mencium lembut pipi adiknya. Mereka sudah hidup bersama selama tujuh tahun tanpa orangtua. Kebahagiaan memang tidak berlangsung lama.

"Kakak janji akan terus hidup sampai aku datang?"

Elva mengangguk. Matanya mengawasi pintu depan siaga, takut polisi tiba-tiba datang menyergap. Je harus lekas pergi sebelum terlambat. Setidaknya jika dia mati, adiknya bisa hidup. Tidak kah Elva begitu egois? Jika dia mati, Je pun akan kehilangan seseorang yang sangat disayangnya. Tapi Elva percaya pada Je. Dia percaya adiknya bisa hidup tanpa dirinya disisi.

"Baiklah. Aku akan menuruti permintaan Kakak." Je mencium kening Elva sayang, kemudian meletakkan kepala sang kakak ke bawah. Ia masih menggenggam tangan Elva erat, dia jelas tak rela harus pergi sendirian, meninggalkan Elva yang kritis. Namun dilain sisi, Je juga sadar, dia adalah satu-satunya harapan sang kakak. Ini adalah keputusan terberat dalam hidupnya.

"Aku tidak akan mengucapkan salam perpisahan, bahkan hanya sekedar 'sampai jumpa', karena - "

" - karena kita pasti akan bertemu lagi". Lanjut Elva lemah. Sekali lagi, Je mencium kening kakaknya. "I love you, sis. Please wait me." Je melepaskan tangannya lalu bangkit berdiri, ia menghela nafas untuk menegarkan keputusan yang diambil. Je manatap Elva sedih; yang dibalas senyuman cantik wanita itu dan gumaman 'aku akan baik-baik saja' dari bibir pucatnya. Lalu dengan berat hati, Je meninggalkan Elva disana, sedang polisi kini tengah merencanakan penyergapan di luar.

Je pergi lewat pintu lain; beruntung dia menemukan pintu itu. Disana dia disambut oleh gang sempit lagi. Namun matanya menangkap keberadaan toilet tak jauh dari sana. Tanpa banyak pikir lagi, Je melangkahkan kaki menuju Toilet untuk berganti pakaian. Ia membawa tas hitam berisikan baju ganti dan tas ransel miliknya. Tas hitam yang sekarang ini dibawa akan dimasukan kedalam ransel beserta baju hitam-hitam yang ia kenakan.

Sama sekali tidak ingin meninggalkan jejak.

END OF PROLOG

Mind to vote and comment? :v

05/07/2017

My Criminal Boy ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang