"Aku mimpi buruk." Leo mengulum bibirnya, mata itu diarahkan ke Lia yang hanya mengembuskan napas. "Ya, karena aku belum terbiasa tinggal di rumah ini mungkin."
"Memang mimpi apa?" tanggap Lia setelah menelan makanannya.
"Buruk, sangat buruk. Sampai aku kehilangan selera makan."
"Kau mendengarkan musik heavy metal? Membaca creepypasta di grup Line? Melihat video pembunuhan di YouTube? Atau ... terlalu menghayati jiwa psikopatmu?" Pertanyaan Lia membombardir Leo layaknya senapan yang dilesatkan secara terus menerus sampai lelaki itu harus menarik napas panjang tentang kebiasaan buruknya itu.
"Aku akui kalau aku mendengarkan musik metal, yang lainnya tidak. Toh aku adalah korban di mimpiku."
Mendengar itu Lia tertawa keras, suara tawanya memenuhi seisi ruang makan bahkan mungkin sampai terdengar di ruang sebelah, tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. "Karma. Itu karma." Gadis berambut panjang itu membereskan piringnya dan Leo dan meletakkan di tempat cuci piring. Ia segera menyambar tas selempangnya. "Aku pergi dulu, Bodoh." Lia melenggang sambil tertawa cekikikan
Leo tak menghentikan kakaknya untuk berhenti tertawa atau sekedar menanyakan tentang apa mimpi itu. Bahkan rasa khawatir kakaknya hanyalah semu di mata Leo. Lelaki itu meremas tangannya sendiri dan segera pergi dari ruang makan untuk menuju ke kamarnya. Dan menutup pintu kayu loteng.
"Gila," ungkap Leo, "Van, jangan lagi." Selangkah, dua langkah, lelaki itu mundur dan mengambil pisau lipat yang disimpan di laci mejanya.
Percuma. Mimpi buruknya menjadi nyata.
***
"Yakin nggak pindah, Pa?" tanya Anna saat suaminya menyetir satu-satunya mobil milik mereka, cherry warna hijau.
"Ngapain pindah? Buat apa? Cari rumah murah itu susah, Ma."
"Tapi kalau murah bukannya itu lebih bahaya, ya? Mama takut ada apa-apa gitu sama anak-anak. Leo kemarin udah mimpi buruk juga. Mama aja takut banget waktu Leo cerita mimpinya."
"Dia itu cuma kebanyakan baca cerita nggak berfaedah. Creepypasta lah, deep web lah, apalah itu. Lain kali Mama bilang dong biar dia stop baca gituan."
Anna hanya bisa menarik napas panjang, dia lagi yang kena. Padahal ia hanya ingin pindah dari rumah miring itu. Memang tak bisa dipungkiri bahwa mendapatkan sebuah rumah di kota ini adalah sebuah keajaiban, tetapi rumah itu bukan lagi keajaiban sejak sesak dan rasa was-was di hati Anna semakin menjadi-jadi.
Mereka tak berbicara sepatah kata pun di dalam mobil selama perjalanan menuju ke rumah. Tidak ada yang bisa didengar selain bunyi klakson dan suara kendaraan bermotor yang melintas. Sampai mereka tiba di rumah dan Anna mengucapkan keputusannya.
"Lain kali kalau ada apa-apa, kita pindah. Titik. Atau kita pisah rumah." Perkataan Anna membuat Radina tercekik. "Rumah orangtuaku di kota ini juga. Jadi nggak masalah kalau pindah."
"Ya, jangan gitu juga dong!" bentak Radina. Sebelum pria yang tak lagi muda itu kembali memarahi istrinya, teriakkan yang menggelegar dari dalam rumah saat Anna mulai membuka pintu depan.
"Leo!" pekik Anna kaget dan waspada. Wanita itu segera mencari keberadaan anak lelaki satu-satunya. Yang ada dalam otak Anna hanya kamar tidur Leo yang ada di loteng. Wanita itu berlari menaiki tangga tanpa takut terpeleset saat dia sadar bahwa anaknya lebih mencemaskan daripada keramik licin yang menjadi tumpuan kakinya. Terlebih sang suami pasti dengan sigap menangkapnya dari belakang jikalau ia terpeleset. Jadi yang perlu dikhawatirkan saat ini adalah Leo.
Wanita itu langsung membuka pintu kamar Leo ketika berada di loteng. Ia mencondongkan badan dan menyelidik sekitar. Matanya terbelalak, jantungnya terasa berhenti dan ia tak bisa bernapas untuk beberapa saat. Kaki Anna mulai lemas dan ia pun bersimpuh di lantai saat air mata mulai membasahi pipinya.
Radina yang mengikuti jejak istrinya ikut tersentak akan apa yang terjadi di kamar itu.
"Leo?" Radina membuka mulut sambil mendekat ke anak lelakinya. "K-kamu...."
"V-van.... Hen-hentikan." Saat teriakan Leo berubah menjadi rintihan pelan, Anna semakin terperosok hatinya. Sakit, tersayat. "Kumohon, jangan lagi."
***
Suasana yang canggung di antara tiga orang yang mengelilingi meja ruang tamu. Malam yang dingin menjadi semakin dingin saat ia dipaksa menerima kenyataan bahwa adik lelakinya terpaksa diserahkan kepada pihak yang bisa menangani masalah kejiwaan karena diduga menyiksa dirinya sendiri dan menyerang ayahnya dengan sebuah pisau lipat.
Ini tidak mungkin terjadi. Leo tidak mungkin gila.
Biarpun Lia mencoba meyakinkan dirinya akan hal tersebut namun tetap saja, anggapan itu tak bisa mengubah kenyataan bahwa Leo bukanlah orang yang waras lagi saat menyerang ayahnya.
"Pa, sudah terjadi apa-apa. Aku pergi." Itu yang sedari tadi dikatakan oleh Anna sambil menangis tanpa henti. "Leo sudah direnggut, aku tidak mau Lia diambil."
Radina menarik napas panjang dan mencoba bersabar. "Bukannya aku nggak mau pergi, tapi cobalah lihat keuangan kita saat ini. Jual rumah nggak semudah jual makanan. Beli rumah juga butuh uang lagi, Sayang."
"Kita ke rumah ibu-bapakku." Anna menjawab dingin.
"Nggak semudah itu tinggal di sana. Apalagi rumahnya juga sempit. Aku nggak mau ngerepotin mereka."
"Ya sudah. Biar aku sama Lia yang ke sana. Kamu di sini saja." Anna berdiri dan menggandeng tangan Lia erat-erat. "Masalahnya bukan Leo, Pa. Tapi rumah ini."
***
"Aku tidak gila," gumam Leo. "Pria itu benar-benar menyiksaku layaknya tawanan asing. Menamparku dengan keras, menyayat kulitku, bahkan memukulku sampai aku lemas. Tetapi ... kali ini bukan mimpi. Nyata. Pria rusak itu nyata."
Kemudian dia menumpahkan air mata dari pelupuk matanya. Bahkan pandangan kosong itu dapat menampung berbagai perasaan yang siap meledak kapan saja.
Aku takut. Papa, Mama, Kakak. Selamatkan aku. Tidak-tidak, mereka tidak bisa mendengarku. Mereka tidak di sini karena apa yang kulihat hanya wajah itu, wajah rusak yang memperlihatkan ulah dari pribumi.
Leo menelan ludahnya.
Dia veteran perang paling menakutkan. Tetapi aku rasa dia sekarang cukup baik. Tidak mengikat tanganku seperti babi dan malah memberiku sebuah pisau lipat kesayanganku. Dia memang tidak tersenyum, tetapi ... aku bisa melawannya dengan ini.
Biarpun sakit, ini hanya selama beberapa detik.
***
Sebab mempertimbangkan Radina, Anna mencoba untuk sedikit bersabar. Namun, usahanya menjadi benar-benar sia-sia ketika semalam dia hampir saja kehilangan putrinya, Lia.
Anna tak habis pikir mengapa begitu sulit baginya untuk membujuk Radina.
Rumah mereka aneh. Tidak seperti kebayakan kediaman lainnya.
Bahkan karena tempat tinggal iblis ini, Leo-nya harus direnggut secara paksa. Lalu, Lia jua hampir sama naasnya. Segala bukti telah di depan mata. Padahal tak semestinya suaminya itu memiliki ruang untuk meragu.
Mereka wajib meninggalkan rumah tersebut. Ya, jika mereka mau selamat menurut Anna memang tidak ada cara lain lagi.
Maka, di sinilah Anna. Berdiri di ruang tamu bersama dua koper barang-barang yang telah dia packing secara instan. Tepat, di sisi tubuhnya ada Lia yang pandangannya tak berubah sejak semalam; kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Van Larzo
HorrorDia veteran perang paling menakutkan. Tetapi aku rasa dia sekarang cukup baik. Tidak mengikat tanganku seperti babi dan malah memberiku sebuah pisau lipat kesayanganku. Dia memang tidak tersenyum, tetapi ... aku bisa melawannya dengan ini. Biarpun s...