[4]

75 7 3
                                    

"Kamu benar nggak mau ikut?" Untuk ke sekian kalinya Anna menanyai Radina.

"Ann. Ayolah, kita mungkin bisa nemu opsi di luar dari pindah rumah, oke?" Radina masih saja keras kepala.

"Di luar dari pindah rumah? Mati maksud kamu?" Anna agak berdesis sewaktu mengatakannya.

Sungguh, wanita itu gagal memahami jalan pikiran dari Radina. Pria yang telah belasan tahun menikahinya ini memang berpendirian teguh. Namun, bagaimana bisa dia sok logis di saat apa yang tengah menimpa mereka sendiri sudah jauh dari kata waras.

"Anna?"

"Kita udah kehilangan Leo, Pa. Dan kamu masih bisa berharap kalau kita bakal baik-baik aja di sini? Jangan naif, Pa. Buka mata Papa. Kalau yang kamu masalahkan adalah uang. Apa artinya uang kita tanpa Leo dan Lia, Pa?"

"Tapi Anna—"

"Arghhhhhhh!"

Kompak menoleh dengan refleks ke sumber suara. Anna dan Radina kemudian saling berpandangan sedetik begitu tak menemukan Lia di sekitar mereka.

"Lihat! Kamu masih percaya diri buat mengusulkan soal 'cari opsi lain di luar pindah'?" Anna memandang Radina dengan sorot nanar yang begitu pekat.

"Aku menyesal, Rad. Aku beneran menyesali semua yang udah terjadi sama kita." Usai mengucapkan kalimat tersebut Anna langsung berlari menyongsong putrinya yang sejak tadi terus berteriak-teriak histeris.

Sedangkan Radina sendiri tampak memantung lama. Entah apa yang pria itu pikirkan. Namun begitu tersadar dari belenggu alam lamunannya, ia langsung memacu langkahnya.

Pria itu berlari kencang demi menyusul istri dan putrinya. Begitu tiba di ruang bawah tanah, Radina seolah kehilangan orientasinya.

Kaki kokohnya yang seharusnya mampu dengan tangguh berpijak mendadak melumer. Bagaimana tidak?

Tepat di bagian lantai pada ruangan yang teramat pengap tersebut ia menemukan tubuh Anna yang bersimbah darah, tergeletak, tak berdaya dengan mata yang melotot jua lingkaran leher yang memerah seperti baru saja dicekik.

Bergerak dengan terhuyung-huyung bersama sorot mata yang memburam akibat menahan kekecewan jua kepedihan. Radina berusaha menggiring lajunya demi mendekati Anna.

Wanita yang sangat ia sayangi. Istri yang begitu ia kasihi. Ibu dari anak-anaknya yang teramat ia cinta.

Dan belahan jiwanya itu telah ... pergi? Dan itu karena?

Radina menghunuskan pandangan super tajamnya pada sesosok makhluk yang bentuknya sangat menjijikan di sudut ruangan.

Bedebah itu ... dia yang telah merenggut segala kebahagian milik keluarga kecilnya. Beraninya makhluk itu!

Baru saja Radina berniat menghampiri iblis berwajah robek, dengan kulit mengelupas bagai korban terbakar tersebut, ekor matanya tiba-tiba menangkap sosok Lia.

Gadis itu sedang meringkuk di pojok ruangan seraya menekuk lututnya.

Lia ... dia satu-satunya harta berharga milik keluarganya yang tersisa. Apa pun yang terjadi. Demi Anna, demi Leo jua demi gadis itu sendiri. Lia harus selamat! Harus!

Maka dengan suara berat bernada menitah Radina pun berseru, "Yaya! Dengar Papa, lari! Kamu harus lari!"

Radina lantas melemparkan kunci mobil cherry-nya ke arah putrinya.

Di posisi terduduknya, Lia tampak mendongak sekilas demi saling bertukar tatapan dengan Radina. Meski tampak kacau dan hilang arah. Lia tetap bergerak secara pelan nan takut-takut guna mengamankan kunci yang baru saja disodorkan oleh ayahnya.

Terlihat beringsut, kemudian berdiri jua tergopoh. Lia melangkahkan kaki lunglainya satu-satu demi mengeluari ruangan.

Di lain pihak, Radina sudah mengepalkan tangan keras. Pria itu bersama pandangan yang sama sekali tak mengendur lantas menyamber sebalok kayu di atas lantai.

Mengayunkannya di sisi tubuh, Radina terus merangsek guna menghapus jarak di antara ia dengan si iblis.

Maafkan Radina yang sempat menganggap eksistensi makhluk sialan tersebut itu palsu.

Entah bagaimana bisa hantu bisa membunuh. Jelasnya, dia yang mampu menghilangkan jiwa seseorang pastilah juga dapat dilenyapkan jiwanya.

Oleh karena itu, dengan ayunan penuh, Radina menarik baloknya ke sisi tubuhnya, dia juga membuka kakinya. Membuat kuda-kuda.

Demi jiwanya Radina pasti akan mengirim iblis itu kembali ke asalnya. Kerak neraka!

"MUSNAHLAH KAUUUUUUU SIALANNN!"

***

Kesakitan apa yang paling hakiki?

Lia tidak tahu apa yang tengah dia rasakan. Tunggu! Mungkin bukannya tidak tahu, Lia sendiri bingung seperti apa itu yang kerap disebut orang-orang sebagai perasaan?

Hatinya telah lama mati. Raganya? Apalah artinya seonggok raga tanpa tiupan jiwa di dalamnya? Tubuh layu Lia tak lebih dari sekadar cangkang yang retaknya tinggal menunggu waktu saja.

Memilin-milin ujung lengan seragam rumah sakit berwarna oranyenya. Lia yang matanya tampak melompong sesekali terdengar mencicit, "Leo, Mama, Papa ... V ... Va ... hmmm?"

"Yaya?"

Daun telinga Lia tampak berkedut samar. Melepaskan awan kelabu yang menyusup dari jendela sempit kamar rawatnya, gadis itu patah-patah menoleh ke arah sumber suara.

Di sana dia melihat wajah tegas ayahnya. Radina tampak tersenyum simpul membuat Lia refleks berkaca-kaca.

"Papa?"

"Yaya ...."

"Pa—"

"Perkenalkan aku Van Larzo."

=e n d=

This story written by:
simbaak
ashleyarchoz
Wijous
ZahraFirdaus

Van LarzoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang