Tepat pukul 13.30 murid murid berhamburan keluar kelas. Tapi gadis kita pulang paling akhir, dia
sibuk merapikan isi tas yang berantakan, memastikan tidak ada yang tertinggal, mengingat jarak yang tidak dekat itu.Diana keluar kelas saat sekolah sudah sepi, jadi ia buru buru berjalan melangkah keluar kelas. Langkah Diana terhenti ketika hampir keluar dari gerbang sekolah. Tetes air hujan yang jatuh menghambat perjalanan pulang gadis itu. Seperti yang kita tahu, Diana gadis pecinta hujan. Walau sekarang ia berteduh di bawah atap parkir sepeda, telapak tangannya menengadah seakan menyapa. Sekilas senyum tertera di bibirnya.
Entah sudah berapa lama gadis itu berdiri mengamati hujan, seorang lelaki kemudian melangkah ke arahnya. Langkah cepat lelaki itu beradu dengan setiap genangan kecil yang ia pijaki. Bisa kalian tebak siapa lelaki itu? Dia Reynald. Reynald kemudian sibuk menepuk nepuk seragamnya yang lucut terkena air, seakan bisa membuat seragam itu kembali kering. Pria itu sadar, Disampingnya berdiri seorang gadis. Gadis yang selalu gugup tiap kali dia berdiri di dekat gadis itu. Tetapi gadis kita ini, masih sibuk meratapi hujan. Ia terlalu sibuk untuk bisa mengalihkan perhatiannya.
Semakin lama mereka menunggu, semakin deras hujan turun dihadapkan mereka. Hujan kini jatuh semakin ramai, semakin ribut, tetapi suasana diantara mereka berdua semakin hening. Hujan membuat mereka terperangkap dan menguncinya dibawah atap parkir sepeda yang berwarna hijau tua. Beberapa menit berlalu, Diana kemudian tertegun melihat sosok lelaki jangkung disamping nya.
Ia menatap Reynald cukup lama, itu otomatis membuat si sosok jangkung sadar akan tatapan yang sedari tadi tertuju kepadanya. Sekilas , pandangan mereka bertemu. Lalu Diana sibuk mencari objek lain untuk diamati. Seperti pagi tadi -saat bersama Dimas, Diana kali ini juga berusaha memulai pembicaraan.
"Sejak kapan lo disini?" Tanyanya kepada Reynald, tanpa melesetkan tatapannya dari Hujan.
"Emang dari kapan hujan turun?" Kata lelaki itu membalikkan pertanyaan."Ah iya"Diana kemudian hanya manggut manggut. Ia lupa pria ini selalu menjawab dengan logika. Pembicaraan mereka terhenti disana. Keduanya saling memikirkan sesuatu, tapi tak berlangsung lama. Sebuah mobil terhenti di depan gerbang, klakson nyaringnya menyadarkan kedua orang itu dari pikirannya masing-masing. Reynald tersenyum tipis kepada gadis itu.
"Gue duluan ya" kata lelaki jangkung itu dengan senyumnya yang masih mengembang lebar. Tapi Diana tak menjawab. Ia melihat Reynald menyusuri gerbang dengan lari kecil, hingga punggung lelaki itu menghilang termakan jarak. Gadis kita ini tersenyum simpul, wajahnya kembali memerah. Reynald selalu membuatnya seperti itu selama 2 tahun terakhir.
***
Pukul 10.30 PM ketika Diana merapikan semua buku yang berserakan diatas meja. Diana bukan gadis kutu buku, ia hanya baru selesai dari acara kebut semalam untuk PR sejarah yang harus segera dikumpulkan. Ia lalu bangun dari tempat duduknya, kemudian melempar diri ke kasur dengan bebas. Tangan gadis itu ditentang kan seakan menguasai tiap sisi kasur dengan rakus. Pandangannya tertuju pada plafon cokelat yang terbentang diatasnya. Perlahan, ia memejamkan matanya, membiarkan ratusan wajah Reynald memenuhi isi kepalanya. Ia tersenyum, juga tersipu beberapa menit kemudian. Pipinya merona memikirkan kejadian siang tadi. Dibawah atap berukuran 2 x 3. Ia dan Rey. Berdua. Ah itu membuatnya tak berhenti tersenyum selama setengah jam.
.
.
Gadis itu tiba tiba bangkit. Menghela nafas panjang. Ia kembali duduk dihadapkan meja belajar nya, menghidupkan laptop hitam yang kini sudah menyala terang. Ia menulis deret kalimat dalam puluhan detik. Ia menulis isi hatinya, tapi dia tidak sedang menulis rentetan kegiatan, diary, atau semacamnya. Ia tidak sedang membuat puisi, ia hanya membuat sepenggal karya. Dengan rentetan kata, ia bisa bicara tanpa suara.15 September.
Kali pertama suara itu ditujukan kepadaku. Kali pertama senyum itu memang ditakdirkan untukku. Aku tidak tinggi hati untuk bisa mendapatkanmu. Hanya berikanlah kembali serpihan senyummu
di lain waktu. Agar aku bisa ingat, setidaknya aku tidak mencintai sebuah batu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A CUP OF LOVE TASTE
Teen Fictioncerita tentang sejuta rasa dari cinta. Soal gadis yang teguh mengejar cinta pertamanya. gadis itu percaya akan harapan, percaya bahwa ia hanya perlu menunggu sedikit lagi. Tapi Pemuda dingin yang ia cintai malah percaya, bahwa gadis itu, sanggup men...