SANG PEMBANGUN BENTENG Andry Chang
Aku tak boleh gagal lagi kali ini, atau aku akan mati.
Atau yang lebih parah, seluruh negeriku akan hancur.
Hanji Tsurabi, seorang kepala provinsi atau daimyo yang sangat berpengaruh di Shima telah menggalang tentara berjumlah sangat besar. Tinggal negeriku, Prefektur Kamajin yang jadi penghalang antara dirinya dan Ibukota Hamatsu, serta terwujudnya ambisi Tsurabi mempersatukan seluruh wilayah di Kekaisaran Shima.
Dalam usaha untuk mempertahankan negeriku, aku dan pasukan zeni khususku telah memperkuat pertahanan di tiga benteng, dimulai dari benteng di perbatasan. Sayang, pasukan Tsurabi telah berhasil merebut ketiga benteng itu. Kini tinggal Gyoneji, kastil-benteng yang menjaga ibukota prefekturlah yang menjadi harapan terakhir kami untuk bertahan hidup.
Maka, inilah upaya terakhir dariku.
"Apa? Kau hanya butuh dua hari untuk memperkuat pertahanan kastil ini?" kata daimyo junjungan kami, Yoshihisa Oga dengan nada menyindir. "Jangan membual di hadapanku, Munetori Mujii!"
"Hamba tak berani, tuanku. Hanya itulah satu-satunya cara kita dapat mengalahkan pasukan Tsurabi yang laksana pasir di pantai itu," kataku sambil bersimpuh hingga wajahku menyentuh lantai untuk menyembunyikan raut frustrasi di wajahku. "Perang tak hanya dimenangkan dengan kekuatan tentara saja, tuanku tentu memahami itu."
"Hmh, baiklah. Tapi bagaimana jika kau gagal?"
"Tak hanya kepalaku, kepala tuanku dan para rekan senegerilah yang akan terpisah dari tubuhnya."
Yoshihisa menggeleng. "Aku tak mau mengambil resiko itu. Kita akan mengosongkan kota ini dan mengungsikan para penduduk ke tempat aman..."
"Kalau begitu, tentara Tsurabi akan memburu kita dan membantai kita di tempat seperti anjing jalanan. Aku lebih suka kehilangan kepalaku sebagai samurai-penyihir daripada mati seperti anjing."
"Baik, kau lakukanlah dengan caramu. Tapi bila kau lari seperti pengecut, aku sendiri yang akan melayangkan kepalamu dari tubuhmu."
==oOo==
Di hari itu pula, pekerjaan pembangunan dimulai. Pasukan zeniku bersama para prajurit dan warga kota sibuk memasang pertahanan tambahan di Kastil Gyoneji. Mereka bekerja secepat yang mereka bisa, mengangkut bahan-bahan bangunan dan melakukan segala pekerjaan pembangunan sesuai rencana. Tak seperti budak, justru nyawa mereka bergantung dari hasil pekerjaan mereka ini.
Para wanita juga sibuk menyiapkan masakan serta merawat para pekerja yang cedera atau luka-luka. Yah, kecelakaan memang kerap terjadi, hingga mengguratkan raut keraguan di wajah-wajah semua pekerja. Apakah 'pertahanan tambahan'-ku akan berhasil? Musuh telah menguasai ketiga bukti kegagalanku, mungkin mereka takkan jatuh dalam jebakan keempat.
Masalahnya, saat fajar menyingsing di hari kedua, kecepatan para pekerja mulai melamban. Akibatnya, segala 'pertahanan tambahan' itu tak kunjung selesai. Bayangan kepalaku yang tergeletak di piring sebagai persembahan bagi para dewa sebelum pertempuran dimulai makin nyata dalam benakku.
Saat matahari terbenam, dengan nekad aku memutuskan untuk menghentikan pekerjaan dan mengumpulkan semua pekerja di lapangan.
"Terima kasih untuk segala kerja keras kalian, saudara-saudara sebangsaku," kataku. "Aku dan pasukan zeniku akan mengambil alih pekerjaan ini mulai sekasrang. Kalian semua silakan beristirahat dan berpamitan dengan keluarga masing-masing. Besok, kita akan bertempur habis-habisan. Dengan begitu kita pasti akan memasuki nirwana sebagai para pejuang terhormat."
Anehnya, tak ada seorangpun yang pergi.
"Lho, kalian semua sudah mendapat izinku. Pulanglah!" teriakku sambil mengerutkan dahi.
Salah seorang pekerja sukarela melangkah maju. "Tapi tuan, pekerjaan ini belum selesai! Kami belum bisa pulang dulu!"
Seorang pekerja lain beseru, "Mujii-san, benarkah 'pertahanan tambahan' ini akan mampu menangkal musuh?"
Kuelus janggutku dengan raut wajah tenang. "Aku memang bilang 'mampu', tapi itu bukan jaminan. Aku tahu sejak awal bahwa ketiga benteng terdahulu itu takkan mampu menahan pasukan besar musuh. Maka, sesuai instruksiku, pasukan penjaga tiap benteng itu telah bertempur dan mundur dengan jumlah korban jatuh sesedikit mungkin. Tentu saja kami telah memasang perangkap-perangkap di benteng-benteng itu, yang telah memberi kita waktu dua hari yang kita butuhkan untuk menyelesaikan kejutan terakhir yang paling mematikan bagi pasukan Tsurabi."
Para pekerja itu diam seribu bahasa. Semua mata mereka seakan berkilatan, penuh semangat baru.
==oOo==
Saat fajar menyingsing keesokan harinya, Hanji Tsurabi dan pasukannya mulai mengepung Kastil Gyoneji. Seperti perkiraan, dalam waktu singkat mereka berhasil memporak-porandakan barisan pasukan depan Oga dan mendobrak gerbang kastil.
Dipimpin oleh samurai terganas Tsurabi, Itsuba Zenshori, pasukan berkuda pelopor Tsurabi berderap dengan kecepatan penuh menyusuri lorong-lorong kastil yang bagai labirin itu menuju bangunan menara utama kastil yang disebut donjon.
Melihat zirah hitam berkilat Zenshori dan panji-panji Klan Tsurabi, aku memberi isyarat pada pasukan penjaga kastil untuk mundur ke donjon. Para prajurit berzirah hitam dengan cepat menyusul untuk menghabisi kami, jadi aku memutuskan untuk mengeluarkan isyarat lain lagi.
Tiba-tiba, pasak-pasak besi tercurah dari dinding-dinding batu. Banyak penunggang kuda musuh tumbang, hanya para prajurit yang lebih tangguh termasuk Zenshori yang berhasil menghalau semua pasak itu. Mereka sibuk bergerak sambil mengibaskan pedang katana mereka kesana-kemari, memberi kami kesempatan untuk berlari makin jauh.
Berikutnya, saat aku menunggu di titik pertahanan kedua, Zenshori datang dengan sepasukan besar prajurit pejalan kaki. Aku mengeluarkan isyarat lagi dan lantai batu berguguran di bawah kaki para penyerang itu. Lebih banyak pasak besi runcing menyambut tubuh-tubuh para prajurit yang berjatuhan itu. Namun masih banyak musuh yang terus maju, menginjaki jenazah rekan-rekan mereka yang gugur dan berhasil melalui perangkapku itu. Bahkan setelah disiram minyak dan api, ditembaki oleh patung-patung pelontar bola api dan tergilas batu-batu raksasa, tetap saja masih banyak musuh yang berdatangan.
Saat aku bergabung dengan pasukan utama di donjon, junjunganku, Yoshihisa Oga mengeluh, "Perangkap-perangkapmu gagal lagi, Mujii! Musuh terlalu banyak, mereka akan membantai kita hingga ke orang terakhir!"
Benar saja, Zenshori tiba di halaman depan donjon dengan pasukannya yang berjumlah tiga kali lebih banyak daripada pasukan kami. "Menyerahlah sekarang, Oga dan aku akan mengizinkanmu melakukan seppuku, merenggut nyawamu sendiri dengan cara terhormat."
"Tidak sebelum jebakan terakhir dariku ini." Sambil mengatakannya, kukerahkan sihirku. Hampir seketika, seluruh pasukan musuh di luar pagar betis pasukan Oga tersapu oleh Tsunami, sihir Gelombang Gempa Laut yang mematikan. Bahkan Zenshoripun tewas, tak luput dari terjangan sihir pamungkas ini. Hampir seluruh pasukan Tsurabi tewas dan mereka yang masih bisa bergerak cepat-cepat melarikan diri.
Kehilangan sepertiga tentara memaksa Hanji Tsurabi mundur dengan pasukan yang rusak semangat juangnya. Sejak saat itu, Klan Tsurabi tak pernah bangkit untuk mempersatukan Negeri Shima lagi.
Berkat jasa-jasaku, Yoshihisa Oga memberiku penghargaan berlimpah. Oga lalu bangkit menjadi seorang penakluk besar, namun tumbang di tangan seorang pengkhianat. Aku lantas mengambil kesempatan emas ini dan akhirnya berhasil tiba di tampuk kekuasaan tertinggi. Namaku berganti menjadi Amigaharu Munetori, shogun berikutnya di Shima.
Terinspirasi dari tokoh-tokoh dan peristiwa sejarah nyata.
YOU ARE READING
EVERNA SAGA genta.prahara
FantasyTerra Everna, ranah berjuta prahara Tak hentinya diguncang perang, teror dan bencana Namun di balik segala malapetaka dan duka Terselip pula saat-saat damai sarat makna Terra Everna, ranah berjuta mukjizat Di sinilah lahirnya legenda yang tak terhin...