KLOSSER NOIR Andry Chang - Bagian 1

18 7 0
                                    

"Wah, konser tadi keren sekali, ya!" seru Pia Ljubicic pada Radec Ergovic sambil berjalan menyusuri gemerlapnya kehidupan malam Klosser, ibukota Edel.

"Ya, walau hanya kebagian hologramnya saja, kita beruntung sekali bisa ikut menyaksikan konser live global serempak. Kita tak harus menyeberangi samudera ke Archelia untuk menonton versi real life-nya," jawab Radec, wajah tampan tirusnya tampak berseri-seri.

"Lagipula, Chandler's Flare tak harus tur ke setiap kota di dunia dan mendapat hujatan dari netizen nyinyir yang kotanya tak kebagian dikunjungi."

"Yang penting kau mendapatkan pengalaman yang bisa kauceritakan pada anak-cucu kita nanti."

Pia menyenggol pinggang Radec. "'Kita', katamu? Tunggu dulu ya, kita 'kan masih pacaran..."

Gemerlap warna-warni di sekitar pasangan kekasih itu mendadak berganti gelap-gulita.

"Bagaimana ini, Rad?" Gemetar, Pia merangkul lengan kekasihnya.

Dengan sigap Radec mengulurkan smartphone gulung yang tampak melingkari pergelangan tangannya dan menyorotkan layarnya ke depan. Seperti lampu senter, cahaya dari layar itu menerangi jalan di depan. Beberapa pejalan kaki lain juga melakukan hal yang sama.

"Jangan panik, mungkin ini gangguan listrik sementara. Begitu kita masuk stasiun, semua akan baik-baik saja karena pasti ada daya listrik cadangan di sana," hibur Radec.

Di zaman ini, diesel pembangkit listrik sudah jarang digunakan demi menghemat bahan bakar minyak. Gantinya, daya listrik dikumpulkan lewat panel surya atau semacamnya, lalu disimpan dalam baterai-baterai berkapasitas ultra besar atau pelbagai cara mutakhir lainnya.

Pia dan Radec menuruni tangga dari trotoar menuju stasiun kereta bawah tanah.

Parahnya, keduanya dipaksa terperangah. Stasiun itu gelap-gulita, bahkan lebih gelap daripada daerah permukaan tanah yang masih agak remang berkat penerangan sinar bulan.

Sayangnya, belum ada kereta tabung layang di Klosser. Apa boleh buat, sebagai negara yang belum cukup maju di Benua Aurelia, Edel hanya bisa menatap iri ke gemerlapnya negeri-negeri tetangga yaitu Borgia, Bastenmar dan Halethia.

Karena sudah larut malam, stasiun terlihat lengang dan makin gelap. "Astaga, apakah daya cadangan listriknya tak berfungsi?" tanya Pia.

"Mungkin semua cadangan itu untuk kereta dan relnya saja," tanggap sang pacar. "Yang pasti, mau tak mau kita butuh kereta bawah tanah. Biaya taksi mobil layang jauh lebih mahal daripada ini. Lagipula, rumah kita jauh sekali dari tempat konser. Perlu semalaman jalan kaki sampai subuh. Apalagi saat gelap sekali, akan berbahaya sekali!"

"Hotelpun takkan mau menerima tamu saat mati listrik, karena sistemnya pasti off-line."

Radec berdecak kesal. "Mau tak mau kita naik kereta bawah tanah. Harap saja masih ada yang beroperasi dan melewati stasiun ini."

Tanpa terlalu banyak pikir lagi, Radec dan Pia bergegas ke kereta, tapi saat hendak melewati gerbang bayar, mereka dipaksa tercekat lagi. Alat yang seharusnya memindai gelang smartphone di gerbang pembayaran juga mendadak off-line.

"Ya sudah, terobos saja." Radec melompati palang penhalang dan Pia lewat dari bawahnya. Toh kamera pantau alias CCTV pasti juga tak berfungsi.

Tak lama kemudian, kereta bawah tanah tiba di stasiun. Radec dan Pia memasuki kereta itu tanpa pikir panjang.

Pia menghela napas lega. "Fiuh, akhirnya... Kini kita tinggal ikut sampai stasiun dekat rumah."

Namun ekspresi wajah Radec masih tegang. Apalagi saat pandangan matanya tertuju pada satu-satunya penumpang selain ia dan Pia di gerbong remang-remang itu.

EVERNA SAGA genta.praharaWhere stories live. Discover now