Earvin pulang ke rumahnya dengan langkah-langkah gontai.
Sesekali, ia melampiaskan rasa geramnya dengan meninju balok kayu tebal yang tersandar di dinding. Balok kayu itu pecah dan terbelah dua. Earvin memegangi tangannya yang kesakitan, namun tak terluka sedikitpun.
Suara seorang wanita terdengar dari belakang Earvin. "Wah, rupanya kau memang kuat, nyaris setara dengan yang tertulis di sabukmu itu."
Terkejut, Earvin cepat-cepat berbalik dan melihat seorang wanita bertudung biru dan mengenakan gaun serba biru. "Nona siapa?" tegurnya dnegan cukup sopan.
"Maafkan kelancanganku." Wanita itu membuka tudungnya, memperlihatkan rambut birunya yang panjang terurai sampai ke lutut. "Namaku Galateia, aku biasa dijuluki Peri Biru."
Terpesona oleh pancaran hawa suci dan kharisma Galateia, Earvin tertunduk dan bicara lebih sopan lagi, "Aku Earvin Thatcher, mantan pemburu bayaran yang kini menjadi penjahit. Perutku yang kelaparan mendorongku untuk melawan si raksasa bernama Bobbin yang telah menteror kota ini."
"Jadi itulah latar belakangmu, Earvin Thatcher. Menarik. Amat menarik. Tapi katakanlah, apakah kalimat 'tujuh mati sekali pukul' di sabukmu itu benar-benar hasil perbuatanmu, atau hanya akal-akalan saja?"
"Aku memang telah melakukan itu, tapi yang kubunuh adalah lalat-lalat yang merubungi rotiku."
"Oh, begitu rupanya." Galateia mengangguk. "Jadi kau berniat menggerakkan semua prajurit dan pemburu bayaran di kota ini untuk melawan satu orang raksasa?"
"Ya. Roti basi itu memberiku ide untuk memerangkap si raksasa agar tak bisa bergerak menuju kota. Tapi sebelum aku sempat menyampaikan ide itu, si ketua serikat yang pengecut itu sudah mengusirku."
Galateia terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baik, kalau begitu aku akan membantumu, Earvin. Tapi karena kita hanya bergerak berdua saja, kita butuh senjata yang lebih kuat dan tepat guna. Nah, ulurkan kedua tanganmu!"
Earvin menurut. Si Peri Biru mengeluarkan tongkat ajaibnya dan mengayunkannya sambil mengucapkan mantra, "An Soulstitcher Aschi!"
Seketika, sebilah pedang yang bentuknya mirip sebuah jarum jahit raksasa tergenggam di satu tangan Earvin. Di satu tangan lai muncul sebuah bola benang berwarna putih bening, ujung benang itu terikat erat pada lubang di pangkal pedang-jarum.
Melihat ekspresi kebingungan di wajah Earvin, sang peri menjelaskan, "Senjata dewata ini dinamai Soulstitcher. Akulah yang menerimanya dari pewaris terdahulu, berdasarkan ramalan dewata bahwa akan ada seorang pendekar sakti yang berprofesi sebagai penjahit yang akan menjadi pewaris pedang ini berikutnya."
"A-apa?" Mata Earvin terbelalak. "Jadi pertemuan kita ini...!"
"Sudah diatur oleh Vadis, Sang Penentu Takdir, ya. Nah, benang dewata itu juga ajaib. Walau banyak kaugunakan dan kaupotong, benang itu tak akan habis sampai kapan pun. Bahkan dewapun tak akan bisa meloloskan diri bila diikat dengan benang ini."
"Wah, terima kasih banyak, wahai Peri Biru," kata Earvin dengan nada kembali bersemangat. "Kurasa rencanaku bisa berhasil dengan kekuatan dua orang saja."
"Katakanlah, apa rencanamu?"
==oOo==
Keesokan harinya, Earvin si penjahit menunggu hingga Bobbin si raksasa selesai makan, baru membuntutinya diam-diam ke hutan rimbun.
Di jarak yang cukup jauh dari Leddingsford, si raksasa menciduk air sungai kecil dengan tangannya yang sebesar sampan, lalu minum. Ia mengulanginya tiga kali lagi hingga bersendawa.
Bobbin lalu merebahkan tubuhnya dan hendak tidur di tempat. Melihat gelagat si raksasa, Earvin mulai mengendap-endap dengan pedang-jarum di tangan. Niatnya jelas. Dengan satu tusukan pedang di leher si raksasa, masalah utama tuntas sudah tanpa harus bersusah-payah.
YOU ARE READING
EVERNA SAGA genta.prahara
FantasíaTerra Everna, ranah berjuta prahara Tak hentinya diguncang perang, teror dan bencana Namun di balik segala malapetaka dan duka Terselip pula saat-saat damai sarat makna Terra Everna, ranah berjuta mukjizat Di sinilah lahirnya legenda yang tak terhin...