🍀Assalamu'alaikum...

248 48 15
                                    

Derrrrtt...derrrtt

   NOTIFIKASI yang kupasang semalam di pengaturan alarm handphone-ku menyala. Disana muncul sebuah kalimat 'Bangun yuk, takut malaikat rahmat keburu naik lagi' lengkap dengan angka 3.30 a.m. di atasnya. Aku sebenarnya bukan makhluk yang bisa segampang itu dibangunkan oleh benda pintar ini, hanya saja ada hal lain yang tiba-tiba ingin aku lakukan sekarang.
Sepertinya ucapan seseorang telah berhasil memengaruhi otakku yang keras ini, mengingat perkataannya tidak seanarkis atau bahkan sefrontal orang-orang yang biasa kuhadapi. Ah, apa mungkin jika orang ini kedepannya akan terus-terusan memengaruhi pikiranku dan bagaimana jika sebaliknya? Menjadi musuh yang selalu saling bertolak belakang dalam segala hal.

"Sa! memang mau ada kegiatan apa? Tumben banget bangun jam segini." Aku terkejut, bahkan kakakku sendiri mempertanyakannya. Kakaku ini seorang perempuan karir, baginya bangun di jam sepagi ini sudah menjadi kewajiban, ditambah statusnya sekarang yang sedang dilamar oleh seorang laki-laki membuatnya wanti-wanti dalam memilih pasangan dan meminta petunjuk dalam setiap do'a malam panjangnya.

"Hehe ini lagi mau aja, tiba-tiba, siapa tau kedepannya makin istiqamah kan?" Celotehku yang merasa malu ketika ditanyai seperti itu.
"Maa sya Allah, kakak do'ain semoga kamu bisa istiqomah. Nanti biar kakak bangunin aja ya, biar sekalian kamu ada yang nemenin ke toiletnya."
Stop it, dulu aku pernah lari dari toilet malam-malam padahal belum membersihkan diri, kakakku yang terbangun akhirnya melihat keadaanku itu. Aku yang masih panik mengatakan bahwa ada suara aneh disana, namun setelah kakakku mengeceknya, itu hanya suara kucing di atas plafon yang sedang berkelahi. Mungkin kakakku sangat mengingatnya, dan akan selalu, padahal aku sendiri terus berusaha melupakannya.
"Ish, ga gitu, aku bukan penakut. Jangan salah, waktu jurit malam disekolah juga aku selalu maju paling depan!"
"Iya deh, adeknya kaka yang paling pemberani."
Ledeknya dengan gaya melet sambil merangkul mushaf di atas meja.

Aku beranjak turun ke kamar mandi yang terhalang oleh ruang tamu beserta dapurnya. Entah kenapa rasanya sangat dingin sampai terlintas kembali pikiran untuk melanjutkan tidur. Namun aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu lagi dengan berdebat pada diri sendiri, toh kalaupun iya, pasti akan memilih tidur lagi.

"Semangat Salsa! Airnya ga dingin ko. Kamu aja yang ngerasa pengen milih diselimut lagi." Perintahku pada diri sendiri.

Hujan sepertinya turun semalaman, karena hawa dinginnya sangat terasa menusuk tulang. Aku yang baru menyelesaikan rutinitas ibadah, tak terasa sudah disambut kumandang adzan subuh.

"Asholatu khairum minannaum."

Suaranya sangat khas, sampai aku langsung bisa menebak siapa pemilik suara tersebut.

Jangan lagi berandai-andai, cukup terus perbaiki diri sendiri, Mudah-mudahan Allah masih bermurah hati jika memang perasaan ini ingin berlabuh pada hal yang telah diridhoi-Nya.

***

Derapan langkah kaki begitu tak beraturan, ada yang berjalan dengan terburu-buru, ada yang santai, bahkan ada yang temponya sangat lama.
Ibuku terus sibuk sepanjang paginya, kadang membangunkan sisa dari kami anak-anaknya yang belum bangun, menyiapkan sarapan, bahkan ini itu yang diperlukan anak-anaknya ketika akan berangkat sekolah. Sungguh aku sangat bersyukur memiliki bidadari dunia yang hadir dihadapanku sekarang, semoga saja aku bisa menghabiskan waktu lebih lama dan berbakti padanya.

"Teh Wid, jadi gimana hasil istikharahnya?" Tanya ibuku pada kak Wida dengan lembut.
"Belum yakin sepenuhnya sih bu, tapi Alhamdulillah sudah lebih tenang dari sebelum-sebelumnya."
"Kalo dari ibu pribadi, ibu menyetujui apa yang kamu setujui saja. Karena ibu yakin kamu sudah bisa menentukan pilihan yang terbaik buat kamu kedepannya." Ibu merangkul bahu kakakku seperti menguatkan keyakinannya pada kakak, selayaknya teman yang peduli pada temannya.

Friendship Is Not LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang