Have you ever tried to find out how a certain person feels about you, by chanting 'he loves me, he loves me not', as you pluck the petals of a daisy? Aku melakukannya saat masih remaja dulu. Tentu saja sambil membayangkan wajah Adrien. Saat kelopak terakhir tercabut, hasil yang kudapat selalu sama: he loves me. Mau sesuai dengan kenyataan atau tidak, aku tidak peduli.
Meski terdengar menggelikan, aku pernah percaya pada mitos lain. Aku percaya jika kita melempar kelopak-kelopak bunga daisy ke udara, lalu menadahkan tangan di bawahnya, dan menghitung berapa banyak jumlah kelopak yang tertangkap, maka sebanyak itulah jumlah anak kita kelak. Masih ada lagi. Sambil memejamkan mata, aku meraup tangkai-tangkai bunga daisy sebanyak yang kubisa. Berapa banyak tangkai yang kudapat, aku percaya bahwa jumlahnya menandakan berapa tahun lagi aku akan menikah. Dengan Adrien, tentu saja.
Tapi itu dua belas tahun yang lalu. Sekarang, saat umurku 28 tahun, aku tidak menganut floromancy lagi. Sudah tidak pernah lagi mempreteli kelopak bunga daisy sambil menerka apakah dia menyukaiku atau tidak. Aku sudah bisa mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Adrien apa yang sebenarnya kurasakan.
Bagiku, lebih baik menyatakan cinta lalu ditolak daripada hanya diam dan menunggu lebih lama lagi. If getting a yes is the destination then confessing feelings is the journey. Suatu saat di masa depan, kalau aku menengok kembali ke hari ini, kenangan akan perjalanan cinta ini hanya akan sedikit menyakitkan untukku. Karena perjalanan itu tidak pernah sampai di tujuan: diterima oleh Adrien.
Sudah kuputuskan, hari ini akan kuakhiri beban di hatiku. Yang sudah bersamaku selama ini. Beban yang tidak sanggup kubawa lebih lama lagi. Satu bulan ini, aku sudah banyak berpikir dan sangat tahu kemungkinan ditolak mendekati 100%. Aku sudah sadar bahwa aku bukan tipe wanita yang akan dikencani Adrien. Meskipun malas mengakui ini, aku tidak secantik dan seseksi teman-teman wanita Adrien. Yang kerap sekali dipamerkan itu. Kelebihanku, yang membuatku cocok berteman dengannya selama ini hanya satu. Kecintaan kami terhadap sains. Kami bisa berdiskusi mengenai segala hal dari sisi ini. Hal yang jarang dimiliki oleh wanita lain.
"Aku mau ngomong...." Aku tidak turun saat mobil Adrien berhenti di depan rumah yang kutinggali. Hari ini ibu Adrien— yang kebetulan sekali dekan di Fakultas tempatku mengajar— memintaku datang karena di rumahnya ada pengajian dan santunan anak yatim.
"Apa kamu ingat ... teman dosen di kampus ... Febrian? Dia melamarku." Ada kotak berwarna merah di pangkuanku. Kado ulang tahun dari Adrien. Setiap tahun, tidak pernah absen satu kali pun, Adrien pasti memberiku kado ulang tahun.
"Iya ... ya ... kamu sudah waktunya menikah. Sepertinya dia laki-laki yang baik."
"Aku ... menyukaimu...." Meskipun sudah mengerahkan semua kekuatanku, suara yang keluar dari mulutku tetap terdengar seperti sebuah bisikan.
"Aku mencintaimu, Adrien." Kali ini aku bisa mengatakannya dengan jelas.
"Aku ... nggak minta banyak darimu, Adrien. Tapi ... apa bisa kamu mempertimbangkan ... kalau kita mungkin bisa mencoba...." Untuk bersama, aku tidak sanggup mengucapkan lanjutannya.
"Nggak harus sekarang, Adrien. Aku sudah menunggu lama, kurasa menunggu lagi nggak akan masalah buatku. Sampai kamu menyukaiku...." Cepat-cepat aku menambahkan, tidak ingin membebaninya dengan ini.
"Aku menyukaimu. Tapi aku tidak pernah memikirkan kamu ... jadi pacar atau ... istriku. Bagiku kamu dan Amia ... itu ... seperti itu ... kamu ngerti, kan, Deiz?"
Tentu saja aku sangat mengerti bahwa kedudukanku sama dengan Amia, adik perempuannya. Mengungkapkan perasaan ini hanya kulakukan demi menghapus rasa penasaran dan penantianku. Demi kebaikan diriku sendiri.
"Ah ... ya ... nggak masalah ... em ... terima kasih kadonya. Aku masuk dulu...." Selesai sudah urusanku hari ini. Aku membuka pintu mobil.
"Daisy." Adrien menahan lenganku. "Maafkan aku. Kalau aku melukai hatimu karena ini. Tapi aku...."
Aku mengangguk dan cepat-cepat memotong kalimat Adrien, "Ya, ini bukan salahmu. Hanya aku yang ... nggak papa ... ini bukan masalah besar."
Kutarik lenganku dan kututup pintu mobil Adrien. Aku berjalan cepat sambil menghapus air mata. Aku pikir penolakan adalah hal terburuk yang akan kudapat atas keputusanku malam ini. Ternyata ada yang lebih buruk lagi. Bersentuhan dengan Adrien tanpa bisa memilikinya itu lebih menyakitkan. Terlalu menyakitkan. Seumur hidup, aku belum pernah mencintai laki-laki selain Adrien. Orang yang kucintai namun tidak mencintaiku. Dengan menahan tangis kulempar hadiah Adrien ke sudut kamar.
Ini bukan hadiah yang menyenangkan. Ini mimpi buruk.
***
Amia tidak mau menyentuh undangan pernikahan berwarna biru muda di depannya.
"Undangan pernikahanku. Untuk keluargamu." Aku tersenyum. Sengaja aku mengajak Amia bertemu di Excellso sore ini, lebih dekat jaraknya dengan kampus tempatku mengajar.
"Kakak ... menikah? Kakak mencintai Adrien, kan?"
"Kami sudah bicara kemarin, Mia. Dan kami ... nggak bisa bersama." Betapa pun orang di sekitarku patah hati, akulah yang lebih sakit lagi. "Kakak sudah waktunya menikah, Mia. Ada laki-laki baik yang sudah lama Kakak kenal dan Kakak akan bisa mencintainya."
Cinta memang banyak dijadikan alasan untuk menikah. Sayangnya, hidup tidak selalu semudah itu. Ada kalanya orang yang dicintai tidak merasakan hal yang sama. Sedangkan waktu tidak mau menunggu. I live in a culture that man and woman should get married at a certain age. Kalau ada orang yang mencintaiku dan memperlakukanku dengan baik, meski aku belum mencintainya, kenapa aku harus menolaknya?
"Apa Kakak sudah kasih tahu Adrien?"
Ada satu hal yang tidak pernah bisa kupahami. Di antara lakilaki dan wanita, jika ada perasaan lebih dari sekadar teman yang mulai tumbuh, maka persahabatan itu sudah dekat pada ujungnya. Kalau salah satu pihak tidak merasakan hal yang sama, bisa dipastikan persahabatan itu sudah sampai di titik finisnya.
"Kenapa Kakak nggak mau memberi Adrien kesempatan bicara? Dia sudah diskusi dengan kami di rumah. Setelah Kakak menghindari Adrien, dia tahu kalau dia menginginkan Kakak." Amia menarik tasnya dan berlalu dari hadapanku. Tanpa menyentuh undangan yang ada di meja.
Kalimat panjang dari Amia itu membuat udara di sekitarku mendadak menghilang. Dadaku sesak sekali. Nanar kupandang undangan berwarna biru yang ditinggalkan Amia di meja. Kenapa kubiarkan semua panggilan Adrien tidak terjawab? Kenapa menghindari tempat-tempat yang memungkinkan aku bertemu dengannya? Penyesalan menyesaki kepalaku. Selama ini, setiap kali Adrien ke tempat indekosku, aku memilih tidak keluar untuk menemuinya.
Dengan gemetar kuambil ponselku dan kubaca baris-baris pesan dari Adrien. Adrien yang meminta bertemu sebentar. Adrien yang meminta maaf atas penolakannya malam itu. Adrien yang mengatakan ingin membicarakan hal yang sangat penting. Dan satu pesan yang membuat jantungku berhenti berdetak.
Adrien mencintaiku.
Bagaimana dengan udangan pernikahan yang sudah sampai kepada semua orang yang dituju? Bagaimana dengan persiapan pernikahan yang sudah mendekati final? Bagaimana dengan nama baik keluarga Febrian? Bagaimana dengan nama baik calon suamiku?
Kututup wajahku dengan telapak tangan. Tidak peduli kalau semua orang mendengar isakanku.
Apa yang harus kulakukan?
####
Lanjutan cerita Daisy bisa kamu baca di Google Playstore. Harga Rp 25.000,-
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Stories
DragosteIni kumpulan cerpen-cerpen romantis karya Ika Vihara. Baca cerita panjang/novel karya Ika Vihara yang lain; cek di daftar pekerjaan atau daftar pekerjaanku.