Apa mungkin doaku begitu erat menggenggammu?
Apa mungkin doaku sangat lekat mendekapmu?
Kamu memperkenalkanku cinta jauh sebelum aku mau memikirkannya.
Tidak aku temukan cara lain untuk mencintaimu kecuali mengaminkannya dalam doa itu-itu saja yang seakan tak ada habisnya.
Tidak aku jumpai yang paling indah dalam menyentuh hatimu selain mengadukanmu kepada Yang Maha Memilikimu.
Demi Dzat yang hatimu ada dalam kuasa-Nya. Sekejap saja, sangat mudah untuk membawa langkah kakimu menuju padaku.
Jarum waktu berdenting mendekati dzuhur, ritmenya turut berdetak dalam debar dadaku. Tabir batas antara perempuan dan laki-laki terlepas, jatuh tergerai di lantai masjid. Untuk pertama kalinya mataku merekammu, semua yang ada padamu terlihat dengan jelas untuk sekali pandang. Sedetik kemudian kamu balik melempar pandang padaku. Jika kau lupa, aku akan mengingatkanmu tentang gadis berjilbab jingga yang duduk di dekat pintu masjid, yang menunduk malu dengan wajah merahnya karena hatinya yang telah kamu usik; itu adalah aku. Hingga kini setiap menit-menit pertemuan pertama denganmu masih rekat di ingatanku.
Bukan kesalahan kita jika tak bisa mengelak dari kebenaran takdir. Bahwa perasaan yang hadir, adalah ketetapan Allah. Bukan mauku dan aku pula tak punya kuasa untuk meniadakannya. Pikirku pertemuan kita terhenti sampai di sini. Tidak akan ada kata selanjutnya. Tetapi tidak, Allah merencanakan bait lain untuk kita. Yaitu sebuah pertemuan atas suara hati yang didoakan.
Di waktu dzuhur. Aku berdiri memunggungi jalan masuk Masjid Sabilul Rosyidin dengan kedua tangan yang sebentar-sebentar kugenggam, sebentar-sebentar kuusap—menautkan jari-jari—mataku tak luput risau, bergantian melirik dan mengatup. Ada dag dig dug yang tak mau berhenti; ada perasaan yang cemas karena entah.
Bunyi motor terdengar dari arah belakangku. Semakin keras saja berdebar jantungku. Apa, apa yang salah dengan diriku yang tak tenang ini? Suara motor sudah berhenti. Aku masih belum berbalik, napasku dibiarkan tertahan. Suara motor itu, siapa yang datang? Apa itu kamu, pemuda yang kutemui pagi tadi? Ah, mengapa pertanyaan konyol ini bisa muncul di pikiranku. Mana mungkin dia itu, tak ada alasan bagiku untuk sedikitpun membesitkan dia.
Tapi debaran ini, persis terbayang olehku wajah pemuda di balik tabir tadi. Yang kusebut kamu, itu pasti kamu yang datang, kan? Aku berbalik dan ... itu memang kamu, kutemukan kamu lagi setelah pertemuan sekali, sejam yang lalu. Lantas hatiku yang tergerak berharap bertemu denganmu lagi, atas kuasa siapa? Lantas pertemuan sekali lagi, atas kehendak siapa?
Di seluruh imajinasiku tentang kehidupan di masa depan, tak ada satupun tentangmu. Lalu setelah pertemuan hari ini, tak ada sebesitpun ruang untuk memikirkan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Di antara banyak manusia di muka bumi ini, aku dipertemukan kamu dan kamu ditemukan aku.
Setiap perjumpaan adalah sepenuhnya kewenangan Allah. Kamu di gurun dan aku di kutub, semua mudah saja bagi Allah untuk mempertemukan. Tanpa memerlukan izinku, Allah mengejutkan aku dengan rencana manis-Nya. Tanpa memedulikan tanggapanku, Allah mendekatkan langkah kita untuk saling menuju. Tapi sungguh, ribuan kali pun, aku tak bisa berhenti bersyukur karena dipertemukan denganmu.
Meski sebelum-sebelumnya aku tak punya alasan berharap untuk pertemuan kita. Tapi maukah kamu, jika aku memohon kepada pemilikmu agar diizinkan merasakan debar yang sama lagi saat menangkap siluetmu?
Aku suka debar ini
aku suka cemas ini
aku suka gejolak ini
aku suka perasaan ini
aku suka kamu.
Bisakah aku tidak kehilangan rasa sukaku ini?
***
Perjumpaan kita yang kedua di tepi waktu dzuhur. Aku akan berterimakasih kepada Allah karena mengabulkan permohonanku lebih cepat dari yang kuduga. Tempat istimewa itu adalah di Masjid Sabilul Rosyidin. Kala itu hanya kita berdua saja—jamaah lain sudah bubar. Kita saling terpaku. Diam. Hening. Tak bersitatap. Sebentar saja. Kemudian aku bergegas keluar meninggalkanmu seorang diri, membawa serta perasaanku yang bungkam.
Selanjutnya tinggal aku yang memperhatikan dari balik tabir, mencarimu di antara lalu lalang pemuda, mendengar suaramu mengumandangkan adzan, menemukan punggungmu di barisan sholat. Hanya ada jeda yang lama ketika melihat belakangmu, selalu bisa menemukanmu meski kamu tak berbalik padaku. Tanpa seucap kata pun. Rumah Allah telah menjadi saksi bisunya. Hingga suatu hari, aku yakin aku telah mencintaimu.
Namun, semua terhenti setelah pertemuan bisu kita. Tak meninggalkan kesan apapun. Tak ada suara yang lebih terdengar kecuali embus angin, tak ada ucap yang lebih diungkap selain mata kita yang terjaga dalam menunduk, tak ada bincang yang lebih bisa dibahas melainkan kecamuk rasa di dalam hati yang terkunci rapat-rapat. Tidak ada yang terjejak. Sesuatu darimu yang bisa dengan yakinnya kuharapkan. Sekalimat dari bibirmu yang bisa dengan percaya kutunggu. Atau sesuatu dariku semisal sinyal pengharapan yang bisa kau pahami. Tidak ada. Kalaupun ada, itu hanyalah hatiku yang terlanjur berharap tanpa sempat bicara, perasaanku yang terlanjur cinta tanpa sempat diutarakan, dan hidupku yang terlanjur bahagia tanpa sempat kuakui alasannya; kamu.
Aku tak kecewa dengan pertemuan yang tak lebih dari mengenal wajah itu. Sungguh, aku merasa cukup dengan semuanya. Karena aku seyakin-yakinnya mengerti bahwa jika kita ditakdirkan untuk kisah yang panjang, maka meskipun seluruh tinta dan kertas menolak, cerita kita akan tetap tertulis sebagai sejarah. Aku percaya itu. Jadi, meski tak sempat kutitipkan di hatimu, masih saja aku keras kepala mengumbar perasaanku dalam setiap doa-doa. Meski pertemuan kita tercukupkan sampai di sini, aku masih saja bersikeras merengek bertemu denganmu lagi dalam pintaku kepada Allah.
Bulan puas berganti, sementara cintaku begitu saja memupuk, terawat dengan baik, menjadi kokoh dan kuat. Ruas-ruas daunnya, kelopak-kelopak bunganya, ranting-ranting dahannya, ranum-ranum buahnya; semua tersulap mekar dan tumbuh dengan indah dalam penantian. Dalam masa kerinduanku yang panjang, ia akan bersemi dengan anggun dan manis. Akan berguguran satu-satu dalam lipatan menanti untuk berjumpa denganmu. Hingga sederet kalimat darimu seketika menyulap semuanya.Demikianlah sepenggal catatan tentang pertemuanku denganmu, Akhyar.
***
Jika ingin tahu kelanjutannya, novel Memilih Pergi bisa dipesan langsung kepada saya. Cuma 65 ribu. Belum ongkir. Pengiriman dari Yogyakarta dan Ternate. Segera lakukan pemesanan. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memilih Pergi
RomanceAku pergi, jauh darimu. Namun, kamu tetap dekat dalam doaku.