1

86 5 2
                                    

Namanya Walid.

Meski sudah sangat dekat, aku tak cukup berani mengatakan apapun tentang perasaan. Setiap waktu, selalu kutegaskan bahwa harusnya dia kuanggap seperti kawan akrabku. Tanpa terbawa perasaan oleh kenyataan bahwa kita punya banyak cerita di tiap-tiap hari, punya menit-menit untuk mengucapkan selamat pagi dan selamat malam, punya saat-saat untuk saling mencemaskan satu sama lain, punya banyak kesempatan untuk bersama. Tanpa segan-segan, tanpa sungkan-sungkan. Kita melakukan itu terus-menerus, menjalar begitu saja, mengalir apa adanya. Tanpa kita mengatakan satu kata apapun. Memilih mengendapkan semua harapan dalam-dalam di lubuk hati.

Aku adalah wanita yang berusaha sekuat tenaga ada di sisinya, menjaga agar dia tetap bahagia, dengan sabar mengobati lukanya di masa lalu. Tanpa pernah kubertanya atas ketidakpahamanku, tanpa pernah kutuntut jawaban atas tanya besar di kepalaku. Aku merasa sudah bahagia dengan menjadi paragraf di kisahnya, meski aku tak juga mengerti seperti apa aku tertulis di sana.

Kata orang setiap manusia menginginkan pengakuan status sosial, setiap wanita menginginkan kepastian. Tapi aku berbeda. Begini saja. Aku merasa cukup. Menjadi yang bisa melihatnya dari kejauhan, diam-diam mendoakannya, memerhatikan segala sesuatu tentangnya, memahami apapun darinya, ada di setiap waktu miliknya, dan menantinya dalam sebuah harap yang tak pernah memudar. Itu aku. 

Dia yang selalu hanya bersikap manis, membinar-binarkan cinta di matanya, memenuhkan dadanya dengan kasih, kepadaku dia seperti sedang mencintai pula. Jika saja, ada seseorang yang menjadi saksi hidupku dengannya, mungkin seseorang itu akan berpikir sama denganku bahwa kita yang telah saling menaruh hati terlanjur terjebak dalam zona nyaman sebagai sahabat. Selama dua tahun itu, kurasa tak tepat jika mengatakan kita hanya sebatas sahabat. Sepenuhnya aku percaya diri bahwa dia juga telah mencintaiku. Hanya masalah ketidakberdayaan kita dalam mengungkapkan.

Tapi waktu terus saja melaju dan aku juga begitu saja dengan perasaanku yang semakin sulit untuk dijelaskan. Semakin sering bersama, semakin sulit bagi kita untuk menyibak diam ini satu-satu. Aku berusaha keras menjaga agar tetap mampu untuk tidak goyah oleh keinginan mengakui isi hatiku. Di sisi terkecil lain hatiku, ada pertarungan sengit antara bungkam saja atau ungkapkan saja, yang ingin segera aku usaikan tanyanya. Ada cinta yang aku ingin dilihat olehnya. 
Suatu malam, lampu masjid padam, tapi aku sungguh bisa mengenali siluet Walid yang berdiri di luar jendela. Aku menatap bayangan itu lamat-lamat sambil menggumamkan doa agar dia mengerti juga tentang semua diam ini. Aku takut tak mampu lagi menahan perasaan. Tidakkah selama tiga tahun tanpa diketahui, itu menyesakkan? 

Ya, aku sampai pada batasku dalam menahan semua rasa ini. Lalu mengumpulkan keberanian selangkah. Mari kita perjelas semua ini. Tidakkah kita terlalu nyaman tanpa ada kemajuan apapun? Kita memang bergerak, tapi hanya jalan di tempat. Jika ini memang cinta, harusnya kita perjuangkan. 

Aku berpikir untuk mengatakan ini pada ayah. Saat itu adalah momen yang pas. Ayah datang dari Makassar untuk mengunjungiku di Ternate. Saat berdua saja di taman dengan segelas teh hangat yang mengepul-ngepul di udara, aku memberanikan diri.

“Ayah, Hurrin ingin mengatakan sesuatu.”

“Putri ayah mau mengatakan apa? Sangat tumben serius.” Ayah melepas kacamatanya dan menutup buku yang dibacanya. Tubuh dan matanya kini telah menghadap padaku.

“Begini, Ayah. Sebenarnya Hurrin menyenangi seorang pria.” Aku langsung saja mengatakan intinya. Kening ayah mengerut, pupil matanya mengecil.

“Maafkan Hurrin, Ayah. Jangan marah ya. Hurrin cuma mau kasih tahu kepada ayah saja. Tidak bermaksud apa-apa.” Wajahku memelas lalu tertunduk, aku takut salah bicara.

Spontan saja tangan ayah menepuk-nepuk lembut kepalaku.
“Ayah kenapa tidak sadar, putri ayah satu-satunya sudah tumbuh menjadi gadis yang dewasa dan cantik. Ayah selalu merasa Hurrin akan selalu menjadi putri kecil ayah, selamanya.” Ayah tertawa keras-keras hingga air bening keluar dari ujung matanya.

Memilih PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang