Seven

516 77 15
                                    

Seminggu sudah Wonwoo melewati masa sulitnya setelah mendapat 'hadiah' dari Seulgi.

Big Bos selaku orang yang sudah berjasa dan rela membantu Wonwoo mati-matian, merasa kecewa karena kepergian Wonwoo yang tiba-tiba dari rumah sakit.

Beruntung, Big Bos dengan nama lengkap Hong Jisoo ini, bukanlah tipikal orang yang mudah marah dan menyimpan dendam. Jadilah Wonwoo tetap dipekerjakan sebagai waiters di Cafe miliknya.

Sore ini, di salah satu meja disebuah Cafe klasik, tempatnya mencari nafkah tiga kali seminggu, Wonwoo duduk disalah satu kursi berkaki besi. Masih saja terlarut pada pikirannya.

Melamunkan tentang bagaimana sang bos menghujaninya pertanyaan. Saat keesokan hari setelah ia kabur dari rumah sakit, ia malah menampakkan diri bekerja di Cafe milik bosnya itu.

Wonwoo dengan beberapa lukanya yang masih basah, terduduk lesu di kursi tanpa sandaran, mendengar omelan bosnya yang dermawan "Apa kau pikir aku akan membiarkan pelangganku melihat keadanmu yang menyedihkan ini, huh?" Bentak Jisoo dengan nada suara yang tak biasa.

Wonwoo tetap diam. Mungkin ia sadar bahwa ia salah, atau mungkin juga, ia memang tak punya kata untuk menyela. Jika dijelaskan secara rinci, Wonwoo memanglah tak punya jawaban yang tepat untuk membela diri.

Ya. Hanya karena satu alasan. Ia hanya takut pada Ayahnya. "Meskipun kita miskin, jangan biarkan mereka anggap kita miskin" kalimat itulah yang selalu terlontar dari mulut sang Ayah disaat Wonwoo sedang susah.

Bukan perbuatan yang diberikan untuk menghilangkan beban, hanya sebait perkataan yang entah bisa mengurangi atau bahkan menambah beban itu sendiri.

Setidaknya, hanya dengan sebait kata itu saja, sudah membuat Wonwoo merasa dianggap ada. Karena tak ada sepatah katapun yang pantas didengar dari mulut anggota keluarganya yang lain.

Itulah yang membuat Wonwoo tak bisa membantah apapun titah sang Ayah.

"Aku berharap Tuhan tak lagi mengirim bencana seperti ini" sambung Jisoo lagi. Kini dengan tatapan ibanya, berlalu meninggalkan Wonwoo yang membalas tatapan heran padanya.

"Apa aku sungguh merepotkanmu, bos?" Wonwoo memberanikan diri bertanya, dengan sekumpulan keberanian yang ia kumpulkan sedari tadi.

Jisoo menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menghadap Wonwoo "Aku hanya kasihan padamu, Wonwoo. Dengan keadanmu yang seperti itu, aku tak yakin kau akan sembuh dalam waktu seminggu dengan berada dirumah bak' neraka milikmu"

Sudut bibir Wonwoo terangkat, menampilkan segaris senyum miris "Itu satu-satunya tempatku pulang, bos"

Jisoo membuang nafas berat "Bukankah lebih baik kau hidup bersamaku, huh?"

Wonwoo terkekeh "Sudah tawaran ke berapa ini, bos? Apa kali ini aku akan kau janjikan menjadi pembantumu?"

"Hei, hei! Aku tidak seburuk itu!" Elaknya.

"Lalu..."

"Menjadi saudaraku mungkin lebih baik, bagaimana?"

Wonwoo menggeleng "Neraka milikku masih jauh lebih nyaman daripada istana milikmu, bos"

Lagi-lagi sang bos menghela nafasnya "Terserah kau sajalah. Berdebat denganmu hanya akan membuatku lelah"

Wonwoo tersenyum mengingat kata terakhir Jisoo, yang telah kalah beradu argumen dengannya seminggu yang lalu.

"Bagaimana keadaanmu?" Suara halus milik Jisoo, membuyarkan lamunan Wonwoo yang sedang mengerjakan salah satu tugasnya. Mengelap meja.

"Seperti yang kau lihat Bos. Aku sehat"

Stay With Me {MEANIE}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang