Pagi ini aku melakukan sebuah perjalanan besar. Setidaknya perjalanan besar bagi aku dan keluargaku. Orang lain boleh menganggapnya biasa, tetapi bagiku perjalanan ini adalah buah menuju peradaban.
Peradaban yang aku maksud adalah sebuah perbaikan kehidupan. Perbaikan pada diri sendiri, keluarga, kampung kelahiran juga negeri dan bangsaku. Siapa yang hidup di dunia ini yang tidak ingin menuai peradaban? Pasti semua berkeinginan. Hanya saja tidak setiap orang merasa layak untuk mendapatkannya. Karena merasa tidak layak, jadinya enggan untuk berusaha.
Kali ini aku begitu yakin akan peradaban dalam kehidupanku. Suatu nanti, entah kapan, aku akan sampai pada titik itu. Akan sampai pada masanya dimana aku menjadi orang: menjadi terpandang. Bukan dipandang dengan sinisme, tapi dipandang sebagai orang yang telah melakukan perubahan untuk semesta dan segala isinya.
Pertanyaannya, kemanakah aku mencari peradaban? Jawabannya: kampus. Ya, pagi ini aku pergi ke kampus untuk menuai peradaban itu. Aku begitu yakin akan tempat ini. Telah seberapa banyak orang yang berhasil karena telah menuai peradaban melalui kampus. Mengapa aku menyebutnya jalan menuju peradaban? Karena baru aku-yang menjadi bagian dari keluargaku-untuk pertama kalinya menyelami dunia kaum intelektual itu. Sebelumnya, jangankan dunia kampus, sekolah menengah atas saja, kedua orang tuaku, tak sampai. Mereka hanya mampu ke tingkat sekolah menengah pertama. Itu pun karena sekolahnya cukup dekat dengan rumah. Bayangkan saja jika sekolahnya harus menempuh kiloan meter, pasti tidak akan sampai pada jenjang itu.
Lewat dunia perguruan tinggi yang akan aku tempuh ini, semuanya menitipkan harapan di pundakku. Bukan saja orang tua, melainkan tetangga, sepupu, keponakan, paman, bibi, kakek dan nenek. Semuanya. Mereka menginginkan aku untuk menjadi penyokong demi kehidupan bersama yang lebih baik. Bukan hanya perbaikan ekonomi keluarga, tetapi soal harkat dan martabat. Disinilah pertaruhan sesungguhnya. Setelah lulus nanti harkat dan martabat bisa saja naik dimata orang, tetapi bisa juga semakin rendah. Itu tergantung pada apa yang akan terjadi nanti setelah aku lulus. Apakah akan menjadi seseorang yang berhasil atau malah sebaliknya. Semua itu bergantung pada diriku sendiri.
Perjalanan besar ini tentu aku mulai dengan penuh semangat. Penuh kebanggaan. Aku harus bersyukur dapat menginjakkan kaki disini, di ranah pendidikan tinggi. Sering aku bandingkan kehidupanku dengan orang lain. Jika terus saja aku melihat mereka yang diatas, seolah-olah aku orang paling sial dimuka bumi ini. Namun aku melihat melihat pula betapa teman-teman setingkatku, yang juga anak desa itu, yang juga seumuran denganku, tak mendapat kesempatan yang sama. Mereka dengan terpaksa harus mulai membanting tulang, demi penghidupan mereka sendiri dan keluarganya. Beberapa diantaranya ada yang menjadi buruh harian, menjadi tukang gali pasir, tukang semen, dan tukang bangunan. Berpeluh-peluh melakukan pekerjaan itu hampir setiap hari.
Sekali lagi aku harus bersyukur. Terutama kepada kedua orang tuaku. Meskipun mereka hanya sampai duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tetapi, soal pendidikan mereka tidak gentar sedikitpun. Mereka percaya sekolah akan menjadikan anak-anaknya sebagai manusia yang lebih dari manusia lain. Seperti kata HAR Tilaar dalam bukunya Manifesto, pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia. Jika si manusia itu tidak dapat memiliki rasa kemanusiaan, maka gagal sudah pendidikan itu. Memang paling susah mendidik si manusia. Ia punya akal yang luar biasa. Akal yang justru dipakai bertindak lebih ke jalan yang salah.
Bagi orang tuaku: jika tidak mampu membekali anak-anak dengan warisan, minimal bekali mereka dengan pendidikan. Begitu celetuknya pada suatu hari. Kata-kata itu sudah menjadi filosofi hidup bagi mereka. Filosofi itu amat dalam. Diciptakan oleh mereka sendiri. Oleh pengalamannya selama hidup. Jelas mereka bukanlah filsuf. Tetapi pengalaman membuat mereka dapat menciptakan filosofi itu. Pengalaman karena kurang keterdidikan di bangku sekolah. Pengalamanlah yang menjadi guru mereka, guru kehidupannya.Kini anak-anaknya tidak dibiarkan berhenti pada seragam putih-biru atau putih-abu apalagi putih-merah. Cita-citanya adalah punya anak seorang sarjana. Lulus dengan toga di kepala. Dan aku-anak laki-laki pertama dari mereka-yang mendapat kesempatan itu.
Kesempatan ini sungguh luar biasa. Kesempatan yang tidak bisa didapatkan oleh banyak orang. Kesempatan yang biasanya dimiliki oleh mereka yang bermodal. Aku juga bermodal, modalku hanya soal niat dan nekat. Lebih dari itu aku belum punya. Oh iya, aku ada modal lain, yaitu keberanian. Keberanian yang membawaku kesini. Soal keberanian itu tidak boleh disepelekan. Jika adapun niat dan nekat, tapi kalau tidak ada keberanian maka tidk jadi juga akhirnya. Seperti kata Pram, penulis revolusioner itu, kalau tidak punya keberanian apa artinya hidup kita ini. Keberanian adalah modal. Modal untuk menjalankan modal-modal lainnya. Ia adalah pendobrak dari segalanya.
Lantas mengapa aku punya keberanian itu? Aku pun tidak mengerti mengapa keberanian itu ada. Ia datang begitu saja tanpa aku undang dan melekat begitu saja dalam di jiwa ini. Semoga ia tak lekas pergi, dan tidak akan pernah pergi.
Keberanian sesungguhnya ada dalam setiap jiwa manusia. Keberanian itu ada jika si manusia ada kemauan. Jika si manusia ada kemauan, keberanian biasanya muncul begitu saja. Kemauan ini bukan hanya sekadar mau, tapi harus benar-benar mau. Mau menjadi manusia yang manusia dan memanusiakan manusia lain.
Rasrat untuk memanusiakan diri dan memanusiakan manusia lain itu tumbuh pada diriku. Maka sebelum aku berusaha memanusiakan mereka maka jalanku harus memanusiakan diriku. Karena aku masih belum menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah ia yang tidak lagi memakan manusia lain. Ia yang tidak lagi merampas hak-hak orang lain.
Lewat jalan ini aku mendapat kesempatan untuk belajar. Belajar menjadi manusia tanpa merampas hak yang lain. Semoga jalanku nanti tidak salah. Semoga aku bertemu dengan orang-orang yang mau meluruskan jalanku ketika bengkok.
Mari kita mulai perjalanan kita masing-masing untuk memanusiakan manusia lain dengan jalan kita masing-masing...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seorang Pendobrak
ActionJana, seorang mahasiswa yang berasal dari pelosok kampung. Ia mengambil jurusan pertanian dengan alasan ingin membangun kampung kelahirannya. Di kampus ia bertemu dengan Jayak, mahasiswa seangkatannya. Jayak juga berasal dari keluarga petani. Ternya...