2. Perjalanan Awal

26 0 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ini bertanda harus segera berjalan ke kampus. Perjalanan akan memakan waktu sekitar tiga jam. Aku berangkat dari kampung halaman, sebuah desa yang terletak di tengah-tengah Pulau Bali.

Perjalanan dari kampung halaman aku lalui menggunakan sebuah sepeda motor. Jujur saja, ini sepeda motor baru. Beberapa bulan sebelumnya ketika memutuskan akan mengarungi perguruan tinggi, sepeda motor menjadi hadiah dari orang tua. Hadiah ini hasil dari jerih payah mereka. Hasil dari ternak sapi yang mereka pelihara.

Investasi para petani di kampung halamanku berada pada hewan ternak. Terutama sapi dan babi. Termasuk ayah-ibuku. Jika ingin mendapat uang relatif cepat, biasanya petani memilih ternak babi. Begitu sebaliknya.

Setelah dinyatakan diterima di salah satu perguruan tinggi, aku takkan berpikir ke mana lagi. Sebelumnya punya niat akan bekerja saja selepas dari sekolah SMA. Tidak kuliah. Kebetulan ada sebuah lembaga keuangan terdekat di kampung yang sedang mencari karyawan baru. Namun keinginan itu aku urungkan setelah resmi diterima di kampus ini. Keinginan itu juga sudah mendapat persetujuan kedua orang tua.

Oh ya, sebelum aku bercerita tentang perjalananku ini. Tentang kehidupan menuju dunia beradab yang aku inginkan. Aku kenalkan diriku ini.


Namaku Jana, lengkapnya Wayan Surjana. Orang-orang lebih memilih memanggil aku dengan empat huruf terakhir pada namaku. Ya aku biasa Jana. Tidak salah memang. Akupun membenarkannya. Tetapi ada beberapa orang yang memanggilku dengan sebutan "Sur". Ah agak asing di telinga kalau dipanggil dengan sebutan itu. Jika dipanggil demikian, aku biasanya tak menoleh. Jika mereka bertanya kenapa tidak menoleh. Aku bisanya menjawab: ada banyak orang dengan panggilan Sur dimuka bumi ini. Padahal sebutan Jana juga tidak kalah banyak.

Di mata wanita, mungkin aku salah satu laki-laki yang tidak menarik perhatian mereka. Bagaimana tidak, kulitku hitam dan kurang tinggi. Aku hanya mempunyai tinggi 160 cm. Kalah maco dibandingkan laki-laki lain seusiaku. Berat badan 55 kg, cukup ideal jika dibandingan dengan tinggi tubuh.

Seperti yang aku ceritakan di awal, aku adalah anak pertama. Laki-laki. Aku dua bersaudara. Adikku, juga laki-laki. Saudaraku namanya Laksmana. Keren bukan? Seperti nama patih kerajaan. Sebuah nama yang terdengar begitu berwibawa. Adikku itu jika digambarkan hampir mempunyai ciri-ciri yang sama denganku. Bedanya hanya satu: ia lebih putih dariku. Jelas saja, orang-orang suka membandingkan itu. Tentang warna kulit. Bagi orang Indonesia, kulit putih jelas lebih menarik. Lebih indah dipandang. Yang punya kulit gelap pasti akan merasa tidak percaya diri. Malu. Apalagi jika orang sering membandingkan, sering dihina, dicaci. Semuanya berawal pada satu hal: warna kulit. Ah padahal hanya soal warna.

Lahir sebagai anak yang berkulit lebih gelap dari saudara kandung, orang-orang sering menyebutku sebagai anak yang lahir dengan percobaan. Istilah lainnya: produk gagal. Aku lahir dari pasangan suami-istri di sebuah desa nun jauh disana. Desa di tengah pulau dewata.


Ibuku, biasa dipanggil Mirah, seorang wanita dengan tiga saudara. Semuanya perempuan. Ia anak pertama dari tiga bersaudara itu. Saat masih remaja-menurut ceritanya-mendapat sebutan "tiga gadis segubuk" dari para lelaki remaja kala itu. Tiga gadis ini, juga menurut cerita orang-orang yang aku dengar, semuanya menjadi primadona, barang tentu termasuk ibuku.


Aku jadi berpikir alangkah bahagianya kakek dan nenekku waktu itu, punya tiga anak yang menjadi dambaan semua orang. Tetapi aku tahu pasti yang mereka takutkan waktu anaknya menginjak remaja. Mereka harus mencari lelaki yang mau "nyentana".

Ah terlepas dari itu, satu dari tiga anak itu sudah menjadi ibuku. Dan yang berhasil menaklukan gadis itu tidak lain adalah bapakku.

Bapakku sendiri biasa dipanggil Jantra. Nama sebenarnya, Jayantara. Entah mengapa orang-orang lebih akrab menyapanya dengan Jantra. Bapakku tercatat sebagai anak lelaki yang lahir entah nomor berapa di keluarganya. Mungkin karena itu dia bersedia untuk "nyentana". Orang tuanya lupa punya anak berapa banyak. Yang hidup saja jumlahnya sebelas orang. Belum lagi yang meninggal, tak terhitung. Aku tak habis pikir bagaimana jika bersaudara sebanyak itu.

Seorang PendobrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang