4. Idealisme

20 1 1
                                    


Hari sudah larut malam. Badan juga sudah semakin lelah. Berbaring diatas kasur lantai rasanya menjadi pilihan ternyaman saat seperti ini. Tubuh kadang memang tidak bisa dipaksakan. Ketika ia merasa letih, maka harus segera diistirahatkan. Ia bukanlah mesin yang kalau isi minyak bisa jalan. Ia juga bukan robot yang senantiasa bisa dipakai kapanpun. Sayangi tubuh selagi waktu masih muda. Begitu petuah para tetua. Mereka rata-rata banyak yang menyesal karena tidak merawat tubuhnya dengan baik. Sehingga diusia yang mulai beranjak senja, berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya. Banyak pula yang terkena komplikasi.

Alasan itu juga yang menyebabkan aku memilih merebahkan tubuh. Ingin tidur lebih cepat agar tidak terlambat seperti kuliah di hari pertama. Aku pejamkan mata sambil menarik nafas panjang, pun sembari mengumpulkan semangat yang telah redup. Mata semakin terpejam. Nafas kian tenang. Dan aku terlelap.


***

"Idealisme itu harus dimiliki oleh seorang mahasiswa," seseorang berteriak kepadaku.

"Siapa itu," tanyaku.

"Kau tidak perlu tahu aku anak muda," katanya lagi.

"Siapa kau, kenapa kau tidak ingin aku tahu siapa kau," tanyaku.

"Hahahahaha," dia tertawa. Kau tidak tahu perlu siapa aku. Tetapi aku tahu kau. Kau mahasiswa kan? Jadilah kau mahasiswa yang sejatinya mahasiswa. Jadilah kau mahasiswa yang selalu memperjuangkan apa seharusnya diperjuangkan,"

"Siapa kau? Siapa? Tunjukkan dirimu!" kataku.

"Hahahaha," dia tertawa lagi. "Selamat berjuang anak muda, kau ialah penerus masa depan bangsa. Hahahhaha," dan suara itu menghilang

Aku tersentak. Tersadar bahwa itu ternyata hanya mimpi. Bunga tidur itu darimana datangnya? Kenapa bisa seperti ini? Sontak aku teringat dengan temanku si Jayak. Waktu kemarin ia yang bercerita soal idealisme kepadaku. Rupanya kata-kata itu sampai berlanjut di alam mimpi. Kata-kata itu kuat sekali. Sampai ke alam bawah sadarku. Kenapa ia bisa sampai? Padahal aku tidak terlalu mendengarkannya. Aku kemarin malah menganggapnya sebagai guyonan belaka.

Rupanya pikiranku, lebih tepat alam bawah sadarku menangkap sempurna petuah itu. Ya, kalau kata-kata itu sampai di alam bawah sadarku maka harus aku yakini kalimat itu. Bahwa seorang mahasiswa harus punya idelalisme. Ya harus. Benar juga apa kata Jayak kemarin. Idealisme sebagai mahasiswa pertanian. Ah barangkali bukan hanya mahasiswa pertanian, pun mahasiswa di jurusan lain harus punya idelismenya sendiri yang diyakini sebagai sebuah jalan untuk mengasah diri. Apa gunanya jika mahasiswa tidak memiliki idelisme. Ia adalah roh dari jiwa mahasiswa itu sendiri. Andai saja setiap mahasiswa punya idealisme. Mahasiswa pertanian punya idelisme untuk membantu petani. Mahasiswa kedokteran punya pandangan untuk membantu orang sakit, mahasiswa teknik sipil punya cara untuk membantu orang yang rumahnya reyot. Mahasiswa hukum membantu masyarakat yang tertindas oleh hukum.

Ya mahasiswa harus bergerak. Bukan lagi menjadi apatis. Bukan lagi menjadi penonton.

Mimpi ini, mimpi tadi itu. Ia benar-benar masuk di jiwaku. Benar-benar luar biasa Jayak itu. Aku harus menemuinya lagi esok. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Pasti ia sudah banyak belajar. Ya aku harus menemuinya esok. Harus.....


***

"Jay," panggilku

"Hai, Jan, kau rupanya. Senang bertemu lagi," katanya.

"Jay, bolehkah kita makan mie ayam itu lagi?" tanyaku.

"Wah jangan bilang kau ketagihan makan mie ayam itu," tuduhnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seorang PendobrakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang