Hari jumat ini tak berbeda dari hari lainnya. Aku sudah duduk di sudut kedai kopi langganan, dengan secangkir espresso yang sudah mendingin. Seperti biasanya, aku hanya sendiri. Mengamati pengunjung yang datang dan pergi, mencuri dengar sedikit percakapan diantaranya, dan menanti senja bergati malam. Ada sesuatu yang menyenangkan dari rutinitas ini, sesuatu yang terasa begitu sama setiap harinya selama hampir satu tahun terakhir ini: menunggumu. Walau kau tak akan pernah datang lagi. Namun, aku tetap menyukai ini, suasana yang terasa saat menunggumu. Meski aku memupuk sakit hati dengan menunggumu, menunggu yang pasti tak pernah kembali.
"Kak Dinda, ada pesan buat kakak!" Seruan tertahan dari Mina–waitress kedai ini–membuyarkan lamunanku. "Secreet admirer!" Dia menyerahkan lipatan kertas sebesar kartu pos dengan tingkah kelewat semangat, dan menatapku penuh permohonan agar segera membukanya.
Aku menatap bingung pada kertas itu dan Mina. Waitress energik itu masih saja menatapku dengan tatapan penuh harap. Akhirnya, ragu kubuka lipatan kertas itu dan aku mendapati sebaris tulisan yang tidak bisa dikatakan rapi. Sometimes, greentea is fine to drink. Keningku berkerut membaca tulisan ini.
"Apa katanya, Kak?" Mina sedikit melongok untuk melihat tulisan dalam kertas ini.
"Rahasia." Sahutku sambil melipat kertas itu kembali. "Dari siapa?"
Mina tampak kecewa, namun ia tetap memberitahuku siapa yang memberikan pesan ini. Menunjuk sudut lain dari kedai ini, ia berujar "Cowok yang sering duduk disana," katanya, "ganteng, putih, tinggi, biasa pesan vanilla latte."
Aku hanya mengangguk sekilas, berusaha menggali ingatanku tentang seorang pria yang duduk di sudut seberang. Namun, tak ada satupun ingatan yang dapat membantuku untuk mengetahui sosok itu. Sedikitpun tidak. Menyerah, aku menatap Mina, berharap ia dapat memberitahu lebih. Dan benar saja, ia kembaki berujar.
"Dia sering kesini dari siang sampai sore, setelah kak Dinda duduk dan minum biasanya dia baru pergi," kayanya, "tapi aku nggak tahu namanya siapa. Kupikir dia nggak punya kerjaan karena disini dari siang." Tambahnya. "Tapi nggak masalah, yang penting dia ganteng. Lumayan buat cuci mata."
"Oke, thanks, Mina." Kurasa cukup menggali informasi dari gadis remaja ini sebelum berubah menjadi sesi curhat.
"Oke kak, aku kebelakang dulu ya." Sahutnya sambil mengangkat namapn berisi gelas kosong, sepertinya dari pria yang tadi. "Selamat menikmati surat dari pengagum baru!" Ya, dia masih saja menggodaku.
Aku membuka lagi kertas itu sepeninggal Mina. Mengamati tulisan khas anak sekolah dasar dan membacanya sekali lagi. Apa maksud pria ini? Apa dia mengenalku? Atau mungkin, apakah aku mengenalnya? Apakah dia selalu mengawasiku? Tapi, untuk apa? Apa dia tahu sesuatu tentangku? Normalkah dia? Harusnya aku merasa was-was, tapi anehnya ini terasa wajar.
Hari sudah gelap saat pikiranku terputus oleh bunyi lonceng di pintu–tanda ada pengunjung yang datang. Memberekas barang bawaan, aku beranjak dan melangkahkan kaki menuju rumah kontrakan yang sudah kutempati selama dua tahun ini. Benar-benar berjalan kaki, karena hanya berjarak dua ratus meter dari kedai.
"Aku pulang, Jo!" seruku pada Jo, barista sekaligus pemilik kedai kopi ini.
"Sampai besok!" balasnya sambil melambaikan tangan.
Hari ini, penantianku teralihkan. Entah ini pertanda baik atau buruk. Namun, yang kutahu esok aku akan tetap melalui soreku dengan penantian yang sama. Penantian kepastian tanpa harapan.
YOU ARE READING
Penantian Diujung Senja
RomanceHampir seluruh hidupku kuhabiskan dengan penantian. Penantian tak berujung, tanpa harapan. Menanti sesuatu yang akupun tak yakin terhadapnya. Namun nyatanya aku tak berhenti untuk menanti.