03

61 3 6
                                    


Tangerang, 2017

Khanza berjalan lunglai memasuki halaman rumahnya. Bagi setiap orang rumah adalah tempat peristirahatan yang nyaman, tempat singgah setelah lelah menjalani hari. Tapi, tidak untuk Khanza. Bagi Khanza tidak ada kata nyaman dirumahnya, rumah bukanlah tempat dia singgah, rumah bukanlah tempat untuk dia beristirahat. Rumah Khanza memang besar bahkan, sangat besar jika hanya dihuni oleh keluarganya​. Ayah Khanza, Andra Qeenan Kharisma adalah seorang pengusaha properti yang terkenal dikalangan nya. Bahkan, kekuasaannya sampai ke mancanegara. Tapi, bukan itu semua yang Khanza inginkan. Untuk apa mempunyai keluarga kaya tapi tidak terasa seperti memiliki keluarga. Untuk apa memiliki rumah mewah tapi tidak ada kehidupan didalamnya. Itulah yang Khanza rasakan setiap kali berada dirumahnya.

"Non Khanza sudah pulang toh" Bi Tini lari tergopoh-gopoh menghampiri Khanza yang hendak menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya.

"Abang mana bi?" Tanya Khanza pada Bi Tini yang sudah ada dihadapannya.

"Aden belum pulang non. Non mau makan sekarang?" Bi Tini balik bertanya kepada Khanza.

"Entar aja sama Abang. Khanza ke kamar dulu yah bi" jawab Khanza sambil menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.

Sesampainya di kamar Khanza tidak langsung mengganti bajunya. Khanza lebih memilih duduk di tepi ranjang sambil memikirkan semua yang terjadi di kehidupannya. Jujur saja Khanza lelah. Lelah, karena terus menerus berusaha lari dari kenyataan yang harus ia alami. Khanza rindu masa lalunya yang indah, Khanza rindu keluarganya yang dulu, dan Khanza rindu persahabatan nya dengan Reno. Tapi semuanya​ perlahan pudar, semuanya pergi meninggalkannya dan Khanza benci dengan semua yg telah ia alami di masa lalunya. Seakan tuhan membencinya hingga ia mengambil semua yang Khanza miliki. Dan Khanza benci semua itu.

"Tes" Setetes air mata meluncur mulus dipipi Khanza "Kenapa semuanya terjadi sama kita mah?" gumam Khanza sambil meraih bingkai photo yang terletak diatas nakas samping tempat tidurnya. "Khanza kangen mamah" lirih Khanza sambil terus menahan isak tangisnya yg semakin menjadi, dan Khanza kemudian membaringkan dirinya diatas tempat tidur dengan memeluk bingkai foto ditangannya dengan sesekali terisak menahan tangisannya.

***

Aldi tiba di rumahnya pukul delapan malam tadi. Sesampainya dia dirumah dia langsung menuju dapur dan mengambil sekaleng soda didalam kulkas. Aldi langsung menenggak habis minumannya karena rasa haus yang menjalar ditubuhnya.

"Astaghfirullah den. Itu muka kenapa?" Tanya bi Tini panik saat melihat wajah dari anak majikannya yg penuh dengan luka lebam dipipinya.

"Tadi Aldi ketabrak kereta Bi" jawab Aldi asal.

"Hussst ngawur. Pasti tawuran lagi kan den?" Jujur saja Bi Tini sangat khawatir dengan kondisi anak majikannya sekarang. Bi Tini tau betul bagaimana karakter dari anak majikannya ini. Karena Bi Tini memang sudah lama bekerja dengan keluarga ini. Bahkan, sebelum Aldi lahir.

"Khanza mana Bi?" Aldi tak menghiraukan pertanyaan Bi Tini barusan dan malah balik bertanya pada Bi Tini.

"Ada di kamarnya den" jawab Bi Tini.

"Udah makan?" Tanya Aldi lagi.

"Tadi katanya mau nungguin Aden aja" sahut bi Tini.

"Lain kali mah, suruh makan duluan aja Bi" ujar Aldi pada Bi Tini seraya pergi meninggalkan Bi Tini.

"Itu luka nggak mau diobatin dulu den" ujar Bi Tini sedikit berteriak karena Aldi yg terus berjalan menjauh dari dapur.

"Ntar aja Bi" sahut Aldi sambil terus berjalan menaiki anak tangga.

Tujuannya sekarang adalah kamar Khanza. Karena, pikirannya saat ini hanya tertuju pada adik satu-satunya itu. Aldi kadang selalu berfikir mengapa adik kecilnya itu harus mengalami hidup yang seperti ini. Kejadian demi kejadian yang seakan membunuh Khanza secara perlahan. Bahkan, tidak hanya membunuh Khanza. Tapi, membunuhnya juga. Hidup Aldi sekarang berantakan. Bahkan, sangat berantakan. Aldi yang sering tawuran, Aldi yang sering balapan liar, Aldi yang sering meminum-minuman keras, dan Aldi yang sibuk memanjakan dirinya dengan menghabiskan semua fasilitas yang diberikan oleh ayah nya. Karena, menurut Aldi kekayaan ayahnya tidak akan habis begitu saja kalau hanya digunakan untuk bersenang-senang. Dibalik sifatnya yang seperti itu, Aldi sangat menyayangi Khanza adik satu-satunya, adik yang menjadi alasan mengapa dia masih berada dirumah yang menurutnya adalah neraka.

Dulu, keluarganya tidak seperti ini. Sampai akhirnya semuanya terjadi dan menghancurkan semua keharmonisan yang ada didalam rumahnya. Ayahnya kini sudah tidak peduli kepada mereka berdua. Ayahnya hanya akan pulang untuk mengontrol keadaan rumahnya tanpa sedikitpun bertanya keadaannya dan adiknya. Yang ayahnya tau mereka berdua hanya membutuhkan materi tanpa harus diberi kasih sayang. Itulah sebabnya, mengapa Aldi sebisa mungkin selalu ada disamping Khanza agar adiknya itu merasa bahwa masih ada orang di dunia ini yang sangat menyayanginya bahkan lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri.

Aldi menarik knop pintu yang ada didepannya, saat pintu terbuka Aldi langsung memasuki ruangan yang didominasi dengan warna biru itu. Aldi berdiri disamping tempat tidur sambil terus memperhatikan Khanza yang tengah tertidur. Seragamnya belum dilepas itu yang membuat asumsi di diri Aldi bahwa Khanza ketiduran saat memperhatikan bingkai yang ada di dekapannya. Aldi mengambil bingkai yang ada di dekapan Khanza secara perlahan agar tidak mengganggu tidur adiknya itu. Kemudian Aldi ikut memandangi bingkai yang ia pegang dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Kemudian Aldi menarik selimut sehingga menutupi sebagian tubuh Khanza seraya terus memperhatikan wajah adiknya yang sangat damai ketika tertidur andai saja Aldi selalu melihat wajah yang seperti itu disaat Khanza terbangun. Tapi, nyatanya tidak seperti itu, tidak ada lagi wajah damai Khanza ketika ia terbangun.

"Maafin Abang karena Abang belum bisa nepatin janji Abang untuk selalu ada didekat Khanza. Tapi Abang akan selalu berusaha untuk bisa buat Khanza seneng dan Abang janji itu" gumam Aldi sambil mengecup kening adiknya seraya pergi meninggalkan Khanza di tempat tidurnya.

****

Aldi sengaja bangun lebih pagi dari Khanza karena hari ini Aldi ingin pergi mengantar adiknya itu kesekolah dan Aldi tau betul kalau Khanza adalah tipikal siswi rajin disekolah yang tidak mengenal kata terlambat berangkat kesekolah. Oleh karena itu, Aldi sengaja bangun lebih pagi agar Khanza tidak ngambek lagi seperti kemarin karena Aldi yang telat bangun dan alhasil Khanza tiba disekolah tepat saat lima menit lagi bel akan dibunyikan. Dan saat ini Aldi sudah duduk manis di meja makan sambil menyantap roti bakar cekelat kesukaannya.

"Hayy princess" sapa Aldi ketika melihat Khanza yang tengah berjalan menuju meja makan.

"Hay bang" sahut Khanza tanpa semangat.

"Lemes amat neng. Bensinnya abis" goda Aldi pada Khanza dengan senyum jahilnya.

"Apasih bang" jawab Khanza malas. "Itu muka kenapa? Tawuran lagi?" Tanya Khanza dengan tatapan mengintimidasi nya.

"Nggak, orang kejedot pintu" sahut Aldi sambil menyuapkan roti panggang miliknya ke mulut Khanza yang langsung diterima oleh Khanza.
"Bohong" ujar Khanza sambil mengunyah roti bakarnya.

"Dek, coba deh berdamai sama masa lalu" kata itu meluncur mulus dari mulut Aldi yang sukses membuat emosi Khanza kini memuncak.

"Berdamai sama masa lalu? Terus apa kabar Abang yang masih tawuran hah? Apa itu bisa disebut sama yang namanya berdamai sama masa lalu?" Jawaban Khanza telak menampar hati Aldi yang kini menatap nanar adiknya.

"Abang nggak bermaksud---" belum sempat Aldi menyelesaikan omongannya Khanza sudah bangkit dari tempat duduknya "Khanza berangkat kesekolah dulu" ucapnya seraya pergi meninggalkan Aldi yang masih duduk ditempatnya.

"Abang anterin yah" Aldi ikut bangkit dari duduknya namun perkataan Khanza selanjutnya membuatnya duduk kembali seraya merutuki kebodohannya.

"Nggak usah, Nggak perlu Khanza bisa sendiri" sahut Khanza sambil terus berlalu meninggalkan rumahnya.

Hayy apa kabar kawan wkwk. Ketemu lagi sama Khanza😍 semoga suka yah (aamiin) okay salam dari si penulis amatir stitchgirls❤

EntahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang