RT 3 (Daryl)

8.4K 398 27
                                    

SIAL, cewek itu pasti sudah lupa padaku.

"Dar, kenapa lo?"

Aku baru sadar aku sedang melongo—kemungkinan besar dengan muka tidak rela—ke arah cewek yang tadinya kulirik diam-diam. Cewek cantik yang sempat kukenal tiga tahun lalu dan suka mengenakan kemeja putih di luar kaus atau tanktop berwarna-warni—membuatku senang mengenakan kemeja putih juga di luar kaus tanpa lengan yang kukenakan. Buat orang-orang yang tidak tahu perasaanku—dan kurasa memang tidak ada yang tahu—barangkali aku mirip cowok melankolis yang sedang memandangi plaza yang sedang dihujani daun-daun kering yang berguguran.

"Biasa," ucapku sambil menyunggingkan senyum lebar yang konyol sekaligus praktis. Setiap kali aku mengeluarkan jurusku, tidak akan ada yang menganggap serius ucapanku. "Hati lagi resah dan gelisah."

"Kenapa gitu?" tanya Josh. Dia sobatku paling pendek, tapi malah bersandar di bahuku seolah dia lebih tinggi daripada aku. Aku melirik kakinya, dan melihat dia mengenakan sepatu bersol tinggi. Pantas saja dia berani bertingkah begitu. "Ada yang perlu dibicarakan sama Suhu?"

Entah kenapa Josh selalu menyebut dirinya suhu yang merupakan sebutan guru dalam dunia persilatan. Dipikir-pikir lagi, semua ini bermula sejak dia ikut tim boxing universitas kami. Padahal kalau dia tidak kelayapan di kampus begini, orang-orang pasti bakalan bertanya, "Dek, orangtuanya hilang ya? Mau dianter ke kantor polisi?" Yap, tampangnya mirip banget dengan anak SD! Waktu kami baru kuliah, kami sering ditegur dosen lantaran dikira membawa adik ke kampus. Intinya Josh selalu bikin repot. Titik.

"Begini, Suhu," ucapku sambil ikut merapat padanya dengan muka serius. "Ada orang nih, bilang mau traktir gue, tapi kenyataannya dia mangkir mulu..."

"Lo sindir gue?"

Kami berdua menoleh dan melihat sobat kami yang lain, Justin, menatapku dengan tampang supersensi. Bukannya aku halusinasi, tapi setiap Justin sudah mulai serius, bibir bawahnya langsung maju duluan seperti hendak mengajak bertengkar. Padahal apa sih yang bisa dilakukan bibir bawah begitu? Disentil sekali pakai tenaga dalam, pasti langsung kempes lagi!

Justin temanku paling rapi, selalu mengenakan kemeja yang kancingnya rapat semua seperti takut dadanya diintip orang, dengan kacamata berbingkai emas yang kucurigai kacamata aksesoris.

Tapi tentu saja aku tidak berani berbuat begitu. Soalnya dia, seperti yang sempat kusinggung tadi, memang sensi banget. Bayangkan kalau sampai aku membuat kempes bibirnya. Bisa-bisa dia menangis melolong-lolong sementara tangannya terjulur meminta uang untuk operasi suntik silikon ke bibir.

"Eh, Dar, gue kan udah bilang waktu itu," muka si Justin makin sengit, sementara volume suaranya makin rendah lantaran serius, "kapan-kapan lo mau ditraktir, gue oke. Tapi nggak usah ngomongin gue, baik di belakang maupun di depan gue..."

"Bro, yang bener aja!" teriak sobatku yang paling cablak, centil, childish—Grey yang hobi menyebut dirinya Ace. Secara psikologis, mungkin Grey bisa dikategorikan sebagai penderita ADHD alias Attention Deficit Hyperactivity Disorder, atau singkatnya hiperaktif. Sehari-hari dia tampak normal seperti cowok kebanyakan, tapi kalau kalian sudah bergaul dengannya, seperti diriku yang malang ini, kalian akan menyadari cowok itu lebih suka berteriak, terbahak-bahak, lari-lari, loncat-loncat, dan sederet kelakuan cemen lainnya.

Akibatnya, meski punya tampang ganteng yang menjurus ke arah cantik—yang membuatnya layak disebut pretty boy—Grey sama sekali tidak cool seperti yang selayaknya disandang para flower boys. Sobatku ini selalu cengengesan. Tapi aku mengakui—meski hanya dalam hati—bahwa sobatku yang hiperaktif ini juga cerdas dan cerdik banget. "Kalo mereka nggak ngomong depan lo, gimana caranya minta traktir? Masa mesti BBM atau lewat Twitter? Tulis surat terus difoto terus pasang di Instagram?"

RAHASIA TERGELAP - Lexie XuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang