Dua sosok berkelebat menyusuri pedalaman Vairylana. Kegelapan yang berkuasa tak menghalangi langkah mereka untuk bergegas. Lentera yang mereka bawa terayun bersama langkah yang terburu-buru. Sudah banyak waktu yang mereka habiskan untuk menjelajah rimba Vairylana. Tak banyak waktu yang mereka miliki.
Dingin, sunyi dan gelap. Begitulah keadaan negeri itu sejak seratus tahun yang lalu. Hanya ada malam dan malam di negeri itu. Sama sekali tak terdapat siang, sedetik pun. Jangan kira malam di sana sama halnya dengan malam yang biasanya. Malam di sana tak terdapat bulan, bahkan bintang satu pun. Vairylana tak ubahnya dunia penuh kesuraman.
Kedua pengelana terus menyeruak, melewati semak-semak yang tumbuh liar di hutan Vairylana. Akar-akar dan sulur menjalar di segala penjuru hutan, menyulitkan mereka yang melewati jalan. Lumut-lumut licin melapisi kulit-kulit pohon yang lembab dan juga akar-akar yang mencuat ke permukaan tanah.
"Tuan Puteri, hati-hati," terdengar suara peringatan dari seorang pria dewasa satu-satunya dalam perjalanan itu. Suaranya berat dan sangat tegas.
"Tenanglah, Kentago, aku akan baik-baik saja," balas suara lembut yang juga tegas. Suara tuan puteri.
Puteri Sooroya menyorongkan lenteranya. Mengamati jalan yang bisa dia tembus. Banyak dedaunan rimbun yang menyeruak di kiri kanannya.
Mereka melewati sekumpulan pohon yang tumbuh rapat di arah kanan. Beberapa cabangnya melintang tak beraturan, hingga setinggi kepala Kentago. Dedaunan runcing sempat terkena sorotan lentera mereka.
Puteri Sooroya melangkah dengan waspada.
"Awas, dahan-dahan pohon di sini tumbuh sangat tak beraturan!" ucap Kentago lagi.
Pada saat bersamaan Puteri Sooroya hampir saja menabrak dahan yang setinggi wajahnya.
"Fuuuh...." helanya lega.
Mereka berjalan perlahan, melewati sela-sela pohon yang tumbuh rapat.
"Di depan sana ada sungai. Hati-hati," kata Kentago lagi.
Kali ini Kentago menghentikan langkahnya, lalu menyorongkan lenteranya ke depan.
Tampak sebuah jembatan dari akar-akar yang bertautan.
Kentago menghentak-hentakan kakinya di atas akar-akar itu, memastikan apakah cukup kuat untuk mereka lalui.
"Hati-hati. Permukaan akar ini sangat licin," katanya sambil berjalan perlahan di atas jembatan akar.
Puteri Sooroya mengikutinya. Dia sempat bergidik ngeri saat menengok aliran sungai di bawah jembatan.
"Sepertinya sudah tak jauh lagi, Tuan Puteri," kata Kentago begitu tiba di ujung jembatan.
Kentago kembali memimpin perjalanan.
Sekilas dari arah depan ada secercah cahaya berwarna hijau yang memecah kegelapan.
"ITU!" pekik Puteri Sooroya girang.
Kedua berjalan lebih cepat ke arah cahaya yang berasal dari pondok mungil.
"Apa mungkin dia akan menerima kita?" bisik Puteri Sooroya ragu. Mendadak dia menghentikan langkahnya.
"Semoga saja, Tuan Puteri. Aku yakin Kakek Razkobal akan mengenali kita."
"Kapan terakhir kali dia datang ke istana?"
"Lima belas tahun yang lalu. Di hari kelahiran Tuan Puteri."
Raut keraguan semakin kental menghiasi wajah Puteri Sooroya.
Mereka memperlambat langkah saat pondok mungil di hadapan mereka sudah sangat dekat. Pintu pondok itu terbuka, memancarkan penerangan berwarna hijau dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIREFLIES WISHES
Fantasy(Update tiap Senin/Selasa) Ini tentang penggila dongeng yang meninggalkan tokoh-tokoh khayalannya Ini tentang pelantun nyanyian yang kehilangan kepercayaannya Dan tentang seorang putri yang kehilangan cahaya abadi negerinya Tiga makhluk malang ini b...