03:Takdir itu Lucu, Aku Tahu

46 8 16
                                    

Matahari begitu menyengat. Pada musim kemarau seperti ini, tidaklah heran matahari seakan-akan mau memanggang siapapun. Profesor Lafa mengangkat tangannya sejajar dengan matanya, menghalau sinar matahari yang begitu menyilaukan. Bertahun-tahun terjebak di bawah tanah membuatnya asing dengan perasaan panas seperti ini.

Thania di sebelahnya menarik koper berisi perlengkapan menuju rumah barunya bersama profesor Lafa. Atas persetujuan profesor Dian mereka berdua dapat hidup di atas dengan identitas baru.

Profesor Lafa akan menjadi kakak bagi Thania, atau begitulah yang tertulis di kartu keluarga. Dua orang kakak beradik yatim piatu, itulah status mereka saat ini.

Thania tiba-tiba terdiam. Bernostalgia dengan daerah sekitar rumah barunya ini. Ini adalah daerah sekitar rumahnya. Rumah orang itu. Apakah sebuah kebetulan?

Sedari tadi profesor Lafa tiba-tiba berubah menjadi sedikit jahil. Sedikit-sedikit mempertanyakan tentang orang yang akan ditemui Thanja saat ke atas. Thania tak bisa menjawabnya. Dalam hati membatin, mengapa orang ini jadi seperti ini. Apa ia salah makan?

"Apa kau akan bertemu dengan orang yang kau sukai? Seorang pacar atau gebetan?" profesor Lafa mengangkat-angkat alisnya. Sambil mengurusi barang-barang miliknya ia masih saja menggoda Thania.

"Tentu saja tidak. Lagipula tak ada jaminan, mungkin saja ia sudah bersama perempuan lain. Bagaimanapun Thania yang ia kenal sudah mati."

"Tapi, kau masih berharap padanya, bukan?" pipi Thania memanas mendengar hal itu. Walaupun begitu apakah benar-benar ada jaminan untuknya. Jaminan bahwa ketika ia kembali, maka orang itu akan kembali menemuinya. Sudah berakhir, hubungannya dengan orang itu sudah berakhi saat kematiannya.

Thania masih tak percaya akan lingkungan yang akan ia tinggali, seakan-akan takdir benar-benar mempermainkannya. Ia pernah mati dan mengapa saat ia kembali ia harus berhubungan dengannya lagi.

Bukannya ia tak mau, tapi... Entahlah ia tak tahu apa yang ia rasakan sekarang, rumit. Ia ingin bertemu tapi sebagian dari dirinya mengatakan untuk tidak. Labil.

Mendapati adiknya melamun, profesor Lafa menyikut perut Thania. Mengingatkan bahwa mereka harus secepatnya menghuni rumah baru. Ia kepanasan, dan ia tak mau kulitnya gosong karena matahari.

Mereka berjalan menuju rumah baru mereka. Tidak besar, tapi cukup untuk dua orang. Profesor Lafa tersenyum, berterima kasih kepada profesor Dian atas pemberiannya—dan direktur atas sponsornya. Profesor Lafa mengambil kunci dan segera membuka rumah tersebut. Perabot yang ada terbungkus kain putih. Tampak juga debu menyelimuti kain tersebut.

Bukan rumah baru yang berbau cat, tapi rumah cukup lama dengan debu menggunung.

Thania di belakangnya, membawa masuk kopernya dan meletakkan segera di depan pintu.

Mungkin bangkit dari kematian tidaklah seburuk itu.

♣♣♣

Bau panggangan kue masuk ke hidung Thania. Profesor Lafa sedang mencoba membuat kue. Thania yang sedang duduk di sofa hanya bisa menonton tv sambil mencium baunya. Ia dilarang mencoba kue itu sebelum matang.

Thania menoleh ke arah dapur, menatap profesor Lafa yang sedang menyusun kue-kue buatannya di atas sebuah wadah cantik.

"Kak, aku minta kuenya, ya?" ucapnya. Meninggikan suara sehingga terdengar sampai dapur.

"Tidak boleh. Salah sendiri tak membantuku tadi."

"Emangnya siapa yang menyuruhku duduk saja dan menunggu matang," balas Thania. Menyeringai penuh kemenangan.

Profesor Lafa datang menaruh kue-kue—yang sudah diwadahi—itu di atas meja depan sofa. Mengambil satu kue dan memakannya. Mulutnya mengecap dan memberikan isyarat Thania untuk mengambil satu kue. Thania dengan senyum dibibirnya mengabil kue itu dan memakannya. Enak.

"Aku heran mengapa seorang profesor sepertimu bisa tahu cara membuat kue. Padahal selama ini kau hanya berkutat dengan penelitian ini-dan-itu," tanya Thania. Mulutnya masih penuh dengan kue-kue tadi.

"Aku mempelajarinya saat membantu bibi-bibi cafetaria. Saat itu beberapa tamu datang dari organisasi dan para peneliti dimintai tolong membantu untuk membuat kudapan."

Profesor Lafa duduk di samping Thania, menikmati kue buatan tangannya sendiri. Setelah menyelesaikan acara makan kudapannya, profesor Lafa kembali ke dapur. Thania yang merasa bosan dan kuenya sudah habis kembali menonton tv. Mengganti channel jika menurutnya ia tidak suka.

"Berikanlah ini pada tetangga. Aku akan membantu dengan memberikan ke tetangga dekat, tapi bagian sedikit jauh adalah milikmu. Kita belum pernah ke sana, jadi anggap saja sebagai pengenalan. bagaimanpun kita harus menyapa, bukan?" ucap profesor Lafa. Memberikan sekantong berisi kue tersebut yang diwadahi dengan cantik. Ia berdiri di depan Thania, menghalanginya dari menonton tv.

Merasa jengah, Thania berdiri. Menyambar kantong tersebut dan berjalan menuju pintu keluar.

Ia berjalan keluar dari rumah. Berpikir akan diberikan kepada siapa kue tersebut. Tetangga terdekat adalah bagian kakaknya. Dan satu-satunya tetangga dekat-tapi-cukup-jauh yang belum disapa adalah rumah itu.

Sebagai pengenalan? Nyatanya aku sudah mengenal penghuni rumah itu.

Thania mengetuk pintu, mengucap salam dan menunggu sang pemilik rumah membukakannya. Dalam hatinya ia berharap bahwa yang membukanya bukanlah dirinya, tapi sebagian lagi menginginkannya. Sudah lama tak bertemu dan menemuinya dengan identitas lain cukuplah aneh. Wajahnya memang sama, tapi kenyataan bahwa Thania yang dikenal orang ini sudah mati tetaplah menghantuinya.

Bagaimana jika aku malah membuatnya takut karena mengira aku bangkit dari kubur, pikirnya—walaupun kenyataanya memang seperti itu.

Seseorang membuka pintu tersebut menunjukan kepalanya. Dalam hati bersorak gembira, tapi langsung berubah setelah melihat reaksi di wajahnya.

Wajahnya ketika melihat Thania adalah kaget, matanya membelalak tapi langsung berubah sedih. Sedikit, Thania merasa bersalah.

"Kami membuat beberapa kue dan kakakku pikir akan lebih baik membaginya," ucap Thania. Tangannya menyerahkan kantongan itu kepada pemilik rumah.
Orang itu tersenyum, dan menerimanya. Badanya sudah sepenuhnya keluar dari pintu. Berhadapan dengan Thania.

"Yah, terimakasih. Kau tetangga baru, ya? Semoga betah di lingkungan ini." ia tersenyum kembali, dan demi apapun melihatnya tersenyum seperti ini membuat hati Thania berbunga-bunga. Ia rindu, mungkin seperti itu.

"Wajahmu mirip sekali dengannya," bisik orang itu. Bisikan yang ditujukan pada dirinya sendiri tapi Thania dapat mendengarnya.

"Siapa?" tanya Thania. Apakah mungkin?

"Yah, seseorang yang kukenal. Tapi sekarang ia sudah meninggal. Jadi... Yah, aku sedikit kaget melihat kemiripan kalian. Aku seperti melihatnya padamu, atau semacam itu," jawab orang itu gugup. Entah ia malu atau merasa sedih.

Ia masih mengingatku.

"Aku turut sedih akan hal itu." Thania pamit, berniat cepat-cepat pulang sebelum hal yang tak diinginkannya terjadi.

"Namaku Evan. Evan Dio Pratama. Siapa namamu?"

"Laras. Namaku, Laras."

Dan jika, takdir akan menyatukan kita. Entah itu kematian atau apa, pada akhirnya kita akan kembali bersama lagi. Takdir memang selucu itu, aku tahu.

Tamat

♣♣♣

G\N

Holla, akhirnya mas Evnya keluar setelah puluhan kata dimiringkan.

Seperti kata yang telah ditebalkan dan digaris bawahi, cerita ini tamat *mengusap peluh lalu minum spr*t sisa hari raya

Terimakasih kepada pembaca dan kak Mbers. Sasageyo, mbers\plak
Maksudnya Sarangheyo, mbers.

Disini Guri undur pamit. Jika suka berikan Vomments jika tidak kirimkan santet.
Terimakasih.

Salam Gurita
🐙🐙🐙

FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang