Part 3 - Komitmen

345 79 19
                                    

Memiliki pasangan membutuhkan komitmen, begitu juga dengan memiliki binatang peliharaan. Apalagi jika binatang peliharaan itu tidak dianggap sekedar sebagai binatang, melainkan anak kesayangan.

Memiliki Milly dalam hidupku membuat duniaku jungkir balik. Aku bukan orang yang suka bangun pagi. I’m a night owl. I'm not a morning person.

Aku biasa bangun pukul tujuh, mandi, mencuci rambut, mengeringkan rambut, lalu pergi ke kantor dengan terburu-buru. Untuk sarapan aku biasa membeli sebungkus roti yang kadang baru bisa kusantap menjelang makan siang.  Jangankan merapikan tempat tidur atau membersihkan kamar, tidak bangun kesiangan saja sudah bagus.

Tapi dengan hadirnya Milly, hidupku tak bisa lagi sesantai itu. Aku harus bangun lebih pagi, setidaknya beberapa menit sebelum pukul tujuh. Selain rutinitas harianku seperti mandi dan mencuci rambut, kini aku juga harus mengganti bak pasir Milly, memberi makan Milly, dan kadang menyuapinya makan, terutama menyuapinya roti keju merk Sari Roti yang kubelikan setiap hari.

Milly sangat manja. Ia kadang tidak mau makan jika tidak disuapi. Seringkali ia hanya diam memandangku dan tempat makannya bergantian, seolah ia ingin berkata, “Mami, Milly mau disuapi.”

Padahal apa bedanya. Aku hanya meletakkan makanan di telapak tanganku lantas menyodorkan ke mulut Milly. Rasanya tak akan berbeda dengan menyantapnya langsung dari tempat makan. Tapi mungkin hal ini memiliki arti bagi Milly. Dengan disuapi, ia merasa dicintai, ia merasa disayangi.

Tidak ada hanya itu, keberadaan Milly juga membuatku tidak lagi betah berlama-lama berada di kantor hingga larut malam seperti dulu. Aku sadar, kini ada Milly yang menunggu. Aku juga jadi tidak bisa menginap atau bepergian selama beberapa malam karena tak tega meninggalkan Milly sendirian.

Milly adalah seekor kucing dengan trauma yang cukup membekas dalam ingatannya. Entah apa yang pernah ia alami sebelum ia bertemu denganku, yang pasti ia tumbuh menjadi kucing yang penakut. Ia tak mau disentuh orang lain selain aku. Ia selalu tampak ketakutan setiap kali mendengar suara langkah kaki orang di depan kamar. Hal ini membuatku tak mau menitipkan Milly di pet shop.

Pernah sekali. Tapi tatapan dan tangisan Milly kala petugas pet shop membawanya pergi begitu mematahkan hati. Mungkin Milly bingung hendak dibawa ke mana. Mungkin juga traumanya bertambah karena merasa ia dan aku terpisah.

Yang pasti, saat ia kembali dari pet shop, selama beberapa hari ia tak mau kutinggal pergi. Milly menjadi lebih manja. Ia bahkan selalu terbangun dengan wajah terkejut setiap kali aku menggeliatkan badan di atas ranjang. Tampaknya Milly takut ditinggalkan. Milly tak mau lagi kehilangan.

Selain membuatku memiliki seekor putri cantik yang sangat manja, Milly juga membuatku memiliki jam weker hidup. Seolah mengenakan jam di tangan, Milly membangunkanku pada waktu yang sama setiap harinya. Ia mencolek tubuhku dengan kaki depan mungil miliknya lalu mengitariku sambal mengeong jika aku tak kunjung terjaga. Jika aku tak juga membuka mata, Milly akan mengigit pelan kakiku atau tanganku atau hidungku, apa saja asalkan aku mau bangun sesuai keinginannya.

Namun hal ini tak berlaku saat hari Minggu atau tanggal merah. Seolah tahu bahwa aku tak harus bekerja, Milly akan tenang dan tidur bersamaku seharian. Iya, seharian! Pekerjaanku begitu menyita pikiran dan tenaga. Hingga saat Minggu tiba, aku tak ingin ke mana-mana. Aku hanya ingin seharian beristirahat memejamkan mata dan memulihkan tenaga.

*****

Seperti layaknya hubungan antara ibu dan anak pada umumnya, hubunganku dan Milly diuji kala Milly beranjak dewasa, enam bulan.
Untuk ukuran kucing, usia enam hingga delapan bulan adalah masa puber. Mereka telah memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Masalahnya, aku tak siap menjadi nenek. Bukan hanya karena aku tidak tinggal di rumahku sendiri dan tidak mungkin aku memelihara kucing lebih dari satu ekor, tapi juga karena temanku mengatakan bahwa kucing betina akan kesakitan saat kawin dengan si jantan.

Alat kelamin kucing jantan memiliki duri yang tentunya akan menyakiti kucing betina. Ditambah lagi Milly masih tergolong berbadan kecil sementara kucing jantan yang ada di sekitar dormitory rata-rata berbadan besar. Aku tak sanggup membayangkan Milly kesakitan.

Tapi yang namanya hukum alam tak dapat dilawan. Milly sudah dewasa. Ia ingin merasakan cinta. Setiap hari Milly meraung-raung dan tak mau lagi dikurung di dalam kamar. Aku kewalahan. Tidak ada pilihan lain selain melakukan steril. Maka aku pun mulai mencari info dokter hewan yang berlokasi tak jauh dari tempatku tinggal. Bukan perkara mudah ternyata. Rata-rata dokter hewan berada di pusat kota.

Sementara maminya sibuk mencari dokter hewan, Milly rupanya telah menjatuhkan pilihan. Hati Milly tertawan pada seekor kucing jantan yang berwajah rupawan dan bertingkah laku menawan.

Kucing itu tampak sabar. Ia juga tampak gigih berusaha mendapatkan Milly meski saingannya banyak sekali. Berbeda dengan kucing lain yang mengejar-ngejar Milly, si jantan ini hanya duduk di teras sambil menatap Milly yang sedang menjilati bulunya. Tak hanya itu, ia juga gigih menaklukkan hatiku.

Pernah saking ingin aku mengusirnya, aku menyiram kucing itu dengan segelas air dan mengusirnya dengan sapu. Tapi berbeda dengan kucing lain yang menyerah begitu saja, si jantan itu tak putus asa. Ia tetap datang lagi dan lagi meski sudah kuusir berkali-kali. Ia bahkan duduk berjam-jam di depan kamarku seolah ingin meminta restu. Jika aku bertemu dengannya di pinggir jalan, ia juga menyapa seolah ingin berkata, “Halo calon ibu mertua, kapan aku dan Milly boleh bersama?”

Melihat perjuangan si jantan yang tak putus asa, akhirnya aku menyerah. Aku teringat perjuanganku dan mantan kekasihku dulu. Betapa buruk perlakuan kedua mantan calon mertua kepada diriku. Niat baik kami untuk menikah harus dikalahkan oleh ego mereka yang setinggi angkasa. Apakah aku mau menjadi orang dengan sikap jahat yang sama?

Tidak, aku bukan mereka dan aku tak mau menjadi sama seperti mereka. Bukankah kondisinya kini sama? Si jantan meminta restu dariku. Apakah hatiku harus terus sekeras batu? Aku membenci mantan calon mertuaku dan aku tidak akan menjadi orang tua yang tega menghalangi kebahagiaan anaknya sendiri seperti yang mereka lakukan.

Maka malam itu sambil mengelus kepala si jantan, aku berkata, “Ya udah, kamu boleh sama Milly.”

Pintu kamar kubuka. Milly berlari keluar kamar dengan sukacita. Si jantan menoleh kepadaku sebelum mengejar Milly seolah ingin berkata, “Terima kasih, Mami. Aku akan membahagiakan si Milly.”

Ah, anakku kini sudah dewasa. Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi seorang oma.

*****

Hari-Hari Bersama MillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang